Wednesday 4 January 2017

[Resensi] Novel Pembangun Jiwa

Dimuat di Kabar Madura, Jumat 30 Desember 2016 

Judul               : Ayat-Ayat Cinta 2
Penulis             : Habiburrahman El Shirazy
Penerbit           : Republika Penerbit
Tahun terbit     : November 2015
Cetakan           : Empat, Desember 2015
Halaman          : vi + 690 halaman
ISBN               : 978-602-0822-15-0
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.


Keunggulan dalam novel religi adalah tentang pesan-pesan yang cukup banyak bisa diambil sebagai pembelajaran. Sebagaimana dalam novel ayat-ayat cinta 2 karya Kang Abik.   Dalam novel ini pesan yang tersirat atau pun tersurat benar-benar bisa menjadi pembangun jiwa-jiwa yang gersang.  Sebuah novel yang sangat inspiratif dan memikat. Tidak hanya mengungkap kisah cinta yang manis, tapi juga menyisipkan nilai-nilai moral dalam perjalanan  dakwah.

Kisah  dibuka  dengan kehidupan Fahri yang mulai berubah sejak menikah dengan Aisha.  Dia tinggal di   Edinburgh, Scotlandia dan mengajar  di University of Edinburgh. Dia tinggal bersama Paman Hulusi, asisten rumah tangganya. Sebuah kejadian yang tidak terduga, harus membuat Fahri kehilangan Aisha.

Tanggal 2 November 2007 Aisha dan Alice pergi ke Palestina. Tapi setelah tanggal 4 November Aisha hilang seperti ditelan bumi. Fahri sudah melakukan berbagai cara untuk menelusuri jejak istrinya. Namun hasilnya nihil. Dan  pada tanggal  29 Januari 2008 jasad Alicia ditemukan dengan kondisi yang mengenaskan di daerah Hebron, Israel (hal 118-119).  Kenyataan ini semakin membuat Fahri sedih, memikirkan nasib Aisha.

Untuk melupakan kesedihannya, Fahri mencoba menenggelamkan diri pada penelitian, mengajar dan mengurusi bisnis yang dulu dibangun dengan Aisha.  Selain itu Fahri juga berusaha untuk memulihkan citra Islam.

[Resensi Rasa Sakit Masa Lalu dan Usaha untuk Memeluknya Novel Tentang Kamu]

Dia tidak ingin Islam dianggap sebagai setan, moster atau teroris. Sebagaimana pendapat Keira tetangganya—Keira yang entah kenapa sangat membenci Fahri. Tidak cukup Keira, bahkan Fahri juga disebut sebagai amalek—orang-orang bodoh seperti keledai—oleh Baruch dan teman-teman Yahudinya. (hal 293). Untuk memulihkan anggapan sepihak itu, Fahri melakukan diskusi terbuka membahas tentang amalek  (hal 421). Fahri juga menerima undangan debat tentang permasalah agama dari Oxford. Dia adalah pakar studi Islam sebagai wakil University of Edinburgh (hal 421).

Karir Fahri sangat gemilang kala itu. Hanya saja untuk masalah rumah tangga, dia belum bisa move on dari Aisha. Beberapa kali dia mendapat tawaran untuk menikah lagi. Namun berkali-kali pula dia menolak tawaran itu. Apalagi ada seseorang yang entah kenapa mengingatkan Fahri pada soso Aisha—Sabina, seorang tuna wisma yang pernah ditolongnya. Hanya saja Sabina itu berwajah buruk dan memiliki suara yang serak. Tentu saja sangat bertolak belakang dengan Aisha.

Sampai pada suatu ketika kehadiran Hulya berhasil mlomencairkan hati Fahri.  Di sini kesetiaan Fahri diuji. Antara tetap setiap menunggu Aisha yang tidak berkabar atau melupakan Aisha dan membuka lembaran baru.

Novel setebal  690 cukup membuat saya merasakan pergolakan batin. Antara marah, sedih, kecewa juga bahagia. Gaya bahasa, setting sangat menarik. Kecuali untuk plot yang bagi saya sudah bisa ditebak sejak awal dan karakter Fahri yang terlalu sempurna jika memang ada di dunia nyata. Ditambah novel ini cukup banyak kesalahan penulisan.

Namun lepas dari kekurangnya, novel ini memiliki sisi lain yang pastinya sangat recomended untuk dibaca.  Penulis pandai menggiring pembaca untuk menyelesaikan novel sampai tamat untuk mengungkap kebenaran yang tersamarkan.

Sebagaimana khas karya Kang Abik, novel ini  banyak bertaburan quote inspiratif. Ada banyak renungan yang pastinya bisa menjadi pembangun jiwa.  Sebagaimana pendapat yang dipaparkan Fahri.

“Kita tidak perlu memerkosa agama-agama itu untuk disama-samakan. Tidak perlu. Yang penting dan perlu, adalah membangun kedewasaan dalam beragama. Para pemeluk-pemeluk agama harus menghayati ajaran agamanya dengan sungguh-sungguh, sereligus-religiusnya dan sedekat-dekatnya mereka dengan Tuhannya, sehingga jiwa mereka menjadi bersih. Lalu hendaknya mereka beragama secara dewasa! Dari situ akan tercipta toleransi yang hakiki, toleransi yang anggun. Adanya agama adalah untuk menjadi pedoman hidup  bagi manusia. Menjadi aturan, hukum dan norma bagi kehidupan manusia.” (hal 574 - 580).

Beberapa pembelajaran yang bisa dipetik setelah membaca novel ini adalah,  penulis mengingatkan pembaca tentang masalah toleransi antar umat beragam, dan selalu berbuat baik pada tetangga.  “Kita tetangga, harus saling membantu.” (hal 38). Selain itu anjuran untuk mengemban dakwah—menegakkan agama Allah. Selamat membaca.

Srobyong, 22 November 2016 

No comments:

Post a Comment