Dimuat di Kabar Madura, Jumat 30 Desember 2016
Judul
: Ayat-Ayat Cinta 2
Penulis
: Habiburrahman El Shirazy
Penerbit
: Republika Penerbit
Tahun terbit : November 2015
Cetakan
: Empat, Desember 2015
Halaman :
vi + 690 halaman
ISBN
: 978-602-0822-15-0
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama,
Jepara.
Keunggulan dalam novel religi adalah
tentang pesan-pesan yang cukup banyak bisa diambil sebagai pembelajaran.
Sebagaimana dalam novel ayat-ayat cinta 2 karya Kang Abik. Dalam novel ini pesan yang tersirat atau pun
tersurat benar-benar bisa menjadi pembangun jiwa-jiwa yang gersang. Sebuah novel yang sangat inspiratif dan
memikat. Tidak hanya mengungkap kisah cinta yang manis, tapi juga menyisipkan
nilai-nilai moral dalam perjalanan
dakwah.
Kisah dibuka
dengan kehidupan Fahri yang mulai berubah sejak menikah dengan
Aisha. Dia tinggal di Edinburgh, Scotlandia dan mengajar di
University of Edinburgh. Dia tinggal bersama Paman Hulusi, asisten rumah
tangganya. Sebuah kejadian yang tidak terduga, harus membuat Fahri kehilangan
Aisha.
Tanggal 2 November
2007 Aisha dan Alice pergi ke Palestina. Tapi setelah tanggal 4 November Aisha
hilang seperti ditelan bumi. Fahri sudah melakukan berbagai cara untuk
menelusuri jejak istrinya. Namun hasilnya nihil. Dan pada tanggal 29 Januari 2008 jasad
Alicia ditemukan dengan kondisi yang mengenaskan di daerah Hebron, Israel (hal
118-119).
Kenyataan ini semakin membuat Fahri sedih, memikirkan nasib Aisha.
Untuk melupakan kesedihannya, Fahri mencoba menenggelamkan
diri pada penelitian, mengajar dan mengurusi bisnis yang dulu dibangun dengan
Aisha. Selain itu Fahri juga berusaha untuk memulihkan
citra Islam.
[Resensi Rasa Sakit Masa Lalu dan Usaha untuk Memeluknya Novel Tentang Kamu]
Dia
tidak ingin Islam dianggap sebagai setan, moster atau teroris. Sebagaimana
pendapat Keira tetangganya—Keira yang entah kenapa sangat membenci Fahri. Tidak
cukup Keira, bahkan Fahri juga disebut sebagai amalek—orang-orang bodoh
seperti keledai—oleh Baruch dan teman-teman Yahudinya. (hal 293). Untuk memulihkan
anggapan sepihak itu, Fahri melakukan diskusi terbuka membahas tentang amalek (hal 421). Fahri
juga menerima undangan debat tentang permasalah agama dari Oxford. Dia adalah
pakar studi Islam sebagai wakil University of Edinburgh (hal 421).
Karir Fahri sangat gemilang kala
itu. Hanya saja untuk masalah rumah tangga, dia belum bisa move on dari
Aisha. Beberapa kali dia mendapat tawaran untuk menikah lagi. Namun berkali-kali
pula dia menolak tawaran itu. Apalagi ada seseorang yang entah kenapa
mengingatkan Fahri pada soso Aisha—Sabina, seorang tuna wisma yang pernah ditolongnya. Hanya saja Sabina itu
berwajah buruk dan memiliki suara yang serak. Tentu saja sangat bertolak
belakang dengan Aisha.
Sampai
pada suatu ketika kehadiran Hulya berhasil mlomencairkan hati Fahri. Di
sini kesetiaan Fahri diuji. Antara tetap setiap menunggu Aisha yang tidak
berkabar atau melupakan Aisha dan membuka lembaran baru.
Novel
setebal 690 cukup membuat saya merasakan pergolakan
batin. Antara marah, sedih, kecewa juga bahagia. Gaya bahasa, setting sangat
menarik. Kecuali untuk plot yang bagi saya sudah bisa ditebak sejak awal dan
karakter Fahri yang terlalu sempurna jika memang ada di dunia nyata. Ditambah
novel ini cukup banyak kesalahan penulisan.
Namun
lepas dari kekurangnya, novel ini memiliki sisi lain yang pastinya sangat
recomended untuk dibaca. Penulis
pandai menggiring pembaca untuk menyelesaikan novel sampai tamat untuk
mengungkap kebenaran yang tersamarkan.
Sebagaimana khas karya Kang Abik, novel ini banyak bertaburan quote inspiratif. Ada
banyak renungan yang pastinya bisa menjadi pembangun jiwa. Sebagaimana pendapat yang dipaparkan Fahri.
“Kita tidak perlu memerkosa agama-agama itu untuk
disama-samakan. Tidak perlu. Yang penting dan perlu, adalah membangun
kedewasaan dalam beragama. Para pemeluk-pemeluk agama harus menghayati ajaran
agamanya dengan sungguh-sungguh, sereligus-religiusnya dan sedekat-dekatnya
mereka dengan Tuhannya, sehingga jiwa mereka menjadi bersih. Lalu hendaknya
mereka beragama secara dewasa! Dari situ akan tercipta toleransi yang hakiki,
toleransi yang anggun. Adanya agama adalah untuk menjadi
pedoman hidup bagi manusia. Menjadi aturan, hukum dan norma bagi
kehidupan manusia.” (hal 574 - 580).
Beberapa pembelajaran yang bisa dipetik setelah membaca novel
ini adalah, penulis mengingatkan pembaca
tentang masalah toleransi antar umat beragam, dan selalu berbuat baik pada
tetangga. “Kita tetangga, harus saling
membantu.” (hal 38). Selain itu anjuran untuk mengemban dakwah—menegakkan agama
Allah. Selamat membaca.
Srobyong, 22 November 2016
No comments:
Post a Comment