Wednesday, 18 January 2017

[Cerma] Si Tukang Tanya

Dimuat di Minggu Pagi, Jumat 13 Januari 2017 

  • Ratnani Latifah

            Raisa menatap takjub tanpa berkedip. Selalu seperti itu ... setiap kali melihat cerpen karya Fina—teman satu kelasnya  dimuat di media.

            “Semoga setelah ini, cerpen aku.” Begitulah kata yang selalu dirapalkan Raisa. Selalu.  Dan setelah itu dia akan menjadi si tukang tanya. Begitulah julukan Raisa. Karena di kepalanya selalu ada banyak pertanyaan-pertanyaan yang akan dilontarkan.

~*~

            “Selamat, ya, Fin. Dimuat lagi. Itu berapa lama masa tunggunya?” cerocos Raisa tanpa jeda.
         
Fina mengerutkan kening sebentar. Tangannya nampak menghitung. “Kalau nggak salah, hampir satu bulan, Rai. Kenapa?”

            “Nggak, sih. Tanya aja. Lumayan lama, ya,” Raisa menatap Fina meminta persetujuan.

            “Yah, memang begitu prosedurnya, Rai. Kita kan tidak bisa buat aturan sendiri. Bahkan ada yang  masa tunggunya sampai enam bulan.” Raisa mengangguk paham mendengar penjelasan Fina.

             Setelah itu, Raisa kembali berkutat dengan cerpen Fina. Dia membaca cerpen yang berjudul ‘Laki-laki Bermata Cokelat’  dengan saksama. Setelah selesai senyum mengembang nampak di bibir Raisa.

            “Ini, keren sekali, Fin. Asli. Aku selalu suka cerpen-cerpenmu. Bagus banget,” puji Raisa bertubi-tubi.

 “Terima kasih,” jawab Fina kalem.

           “Emm ..., kok  kamu bisa buat kayak, gini, sih, Fin? Caranya gimana? Aku penasaran banget.”

            Fina menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia agak bingung juga kalau Raisa mulai melancarkan aski pertanyaan yang selalu bertubi-tubi.

“Kalau aku, sih, Rai ..., biasanya suka mengamati apa yang ada di sekeliling aku ...,” Fina berhenti sejenak. “trus kalau ada yang menarik, langsung aku tulis. Diendapkan sebentar, editing. Lalu dikirim dan tinggal nunggu. Itu aja.”

“Ah, tidak ketinggalan selalu banyak  baca buku buat nambah kosa kata, dan amunisi otak.” Fina tertawa renyah.

“Nggak ... nggak gitu, Fin.” Raisa menggelengkan kepalanya.

I mean ... bagaimana kamu bisa membuat cerpenmu selalu ada ruhnya? Serasa hidup gitu, deh,  Fin.  Dan lagi setting kami juga detail banget, lokalitasnya kerasa banget. Nah itu bagaimana kamu bisa membuatnya?”

Fina menatap lama teman satu kelasnya itu.  Lalu dengan sabar mulai menjelaskan pertanyaan yang diajukan Raisa.

“Kapan-kapan aku diajari, ya.” Raisa menunjukkan wajah memelas.

“Boleh saja, Rai. Yang penting kamu mau belajar dengan sungguh-sungguh.” Raisa langsung kegirangan.

“Siap, aku selalu bersungguh-sungguh, Rai, makanya aku banyak bertanya biar dapat ilmu.”

 Fina hanya bisa menatap Raisa dengan pandangan yang tidak bisa diartikan. Raisa memang  selalu seperti itu jika berhubungan dengan dunia kepenulisan.  Raisa  akan terus bertanya padanya lagi dan lagi soal tips menulis dan bagaimana cara mengirim naskah.  Karena memang itu-lah hobinya. Sesuatu yang bagus memang, tapi kadang kurang disukai Fina, karena cukup membuat tidak nyaman. Bukannya Fina pelit berbagi ilmu. Ada alasan sendiri kenapa Fina agak tidak menyukai pertanyaan Raisa.  

~*~

Keesokan harinya, Raisa sudah duduk manis di depan bangku Fina.

“Fin, aku mau tanya lagi, nih, soal dunia literasi.” Raisa memamerkan senyum super ceria.

“Boleh, Rai. Nanti kalau bisa insya Alllah aku jawab.” Fina lalu melepas tas yang sedari digendong dan duduk  berhadapan dengan Raisa.

“Asyik!” pekik Raisa dengan suara agak kencang.  “Oh iya, untuk tugas yang kemarin lusa, maaf aku belum sempat menulisnya.  Aku banyak kerjaan di rumah.” Raisa tersenyum penuh sesal.

“Aku akan menulisnya nanti, janji, deh.” Beberapa hari lalu,  Raisa memang sempat belajar menulis bersama Fina di perpustakaan. Selain Raisa ada juga teman-temaan yang lain. 

“Segera ditulis Rai. Sayang idenya kalau tidak dieksekusi. Teman-teman  yang lain katanya sudah mulai menulis.” Fina mengingatkan.  

“Tenang, aku pasti menulisnya. Makanya itu aku mau bertanya lagi padamu, Fin.” Raisa berhentik sejenak. “Jadi gini ...,” Raisa menunjukkan majalah yang dia bawa.

“Kamu tahu, kan ... aku pengen banget bisa nulis kayak kamu, Fin. Apalagi sampai dimuat di media. Itu adalah mimpi aku. Tapi ...,” Raisa menggantung ucapannya sebentar.

“Tapi apa, Rai?” Fina menatap tidak paham.

Raisa menarik napas sebentar. Lalu mulai berkicau dengan pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepalanya.

“Bagaimana biar tulisan itu bagus dan dilirik media? Ayo dong bagi tips biar tembus media, gitu. Trus, apa penulis harus punya nama pena?  Penting nggak sih, nama pena itu? Trus  ... trus gimana cara mengatasi writer’s block? Aku suka gitu soalnya. Dan kapan waktu yang tepat buat nulis? Oh, iya, lupa. Media mana yang menerima cerpen genre remaja?  Boleh minta alamatnya? Kemarin aku lupa belum menyimpannya setelah tanya kamu.”

Fina hanya bisa menarik napas mendengar pertanyaan Raisa yang runtut itu. Temannya itu memang sangat pandai kalau disuruh mengajukan pertanyaan.  Selalu. Setiap hari, tanpa henti. Raisa kalau bertanya sudah seperti radio rusak.  Semua orang mengetahuinya.

“Pertanyaanmu banyak banget, Rai. Sampai bingung.” Fina berusaha bersikap tenang menghadapi temannya yang satu ini.  “Aku jawab satu-satu, ya,”

“Siap, aku akan mendengarkan dengan baik.” Raisa mengacungkan ibu jarinya.

“Tapi sebelum itu aku boleh tanya sesuatu?” Fina menatap manik mata Raisa yang terlihat bingung.

“Em ... tentu saja boleh. Santai saja, Fin.”

“Itu ...,” Fina agak tidak enak. Dia agak ragu menanyakannya. Tapi mungkin ini adalah saat yang tepat. Dia harus mengatakan apa yang dirasakannya pada sikap Raisa selama ini. Setidaknya itu bisa membuat Raisa sadar.

“Ayolah, katakan saja. Ngaak apa-apa, kok?” Raisa tetap terlihat ceria.

“Maaf, kamu bilang selama ini ingin menjadi penulis, kamu juga selalu aktif bertanya dan ikut berbagai diskusi kepenulisan bareng aku dan teman yang laian.” Fina berhenti sejenak.

“Iya, aku memang melakukannya. Kan buat dapat ilmu, Fin. Seperti yang kamu bilang.”

“Jujur ..., aku sangat salut akan antusiasmu. Tapi, kenapa kamu tidak pernah mencoba menulis, Rai? Setiap aku beri tugas, ada saja alasan yang kamu kemukakan. Selama ini kamu hanya bertanya ini dan itu. Padahal modal utama menjadi penulis adalah menulis.  Lalu dibantu  dengan mau  membaca dan  mulai mengirim agar tulisanmu. Pelajari media yang dituju biar tahu tulisan yang disukai.

“Kalau kamu hanya bertanya dan no action, itu akan percuma, Rai. Bukannya semua pertanyaan itu sudah sangat sering kamu tanyakan padaku?”  

Raisa menelan ludah. Seketika wajahnya memerah. 

Srobyong, 24 Oktober – 15 Desember 2016.

Ini naskah asli ketika mengirim, versi aslinya bisa dibaca pada picture atau di Kliping Sastra

6 comments:

  1. dulu di kelas saya juga ada anak seperti ini nih, selalu tanya mulu saat aku presentasi... sebel banget

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hhhe, mungkin dia belum paham, jadi suka bertanya, hhehh :)

      Delete
  2. Wakaka 😂 aku pernah ngerasa terlalu banyak bertanya kayak Raisa ini. Tapi bener, daripada bertanya mending langsung kerjain aja ya mbak :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. hhehh, boleh bertanya Fitra, tapi juga dikerjkn juga, jadi ada hasilnya kalau tanya doang dan nggak action kan percuma, ciicii :D :v

      Delete
    2. Nah iya mbak, hasil pertanyaan dan kerjaan sebanding ya :D *kesindir wkwk
      Btw cerpennya fakta banget ya. Suka :D

      Delete
    3. Hhhe, begitulah. tiba-tiba ingat soal ginian jadi coba tak tuangin jadi cerpen. hheh :) Nggak bermaksud nyindir kamu,ya. Kadang aku pun kesindiri sendiri hehhh :)

      Delete