Dimuat di Minggu Pagi, Jumat 13 Januari 2017
- Ratnani Latifah
Raisa
menatap takjub tanpa berkedip. Selalu seperti itu ... setiap kali melihat
cerpen karya Fina—teman satu kelasnya dimuat di media.
“Semoga
setelah ini, cerpen aku.” Begitulah kata yang selalu dirapalkan Raisa. Selalu. Dan setelah itu dia akan menjadi si tukang
tanya. Begitulah julukan Raisa. Karena di kepalanya selalu ada banyak
pertanyaan-pertanyaan yang akan dilontarkan.
~*~
“Selamat,
ya, Fin. Dimuat lagi. Itu berapa lama masa tunggunya?” cerocos Raisa tanpa
jeda.
Fina
mengerutkan kening sebentar. Tangannya nampak menghitung. “Kalau nggak salah,
hampir satu bulan, Rai. Kenapa?”
“Nggak,
sih. Tanya aja. Lumayan lama, ya,” Raisa menatap Fina meminta persetujuan.
“Yah,
memang begitu prosedurnya, Rai. Kita kan tidak bisa buat aturan sendiri. Bahkan
ada yang masa tunggunya sampai enam
bulan.” Raisa mengangguk paham mendengar penjelasan Fina.
Setelah itu, Raisa kembali berkutat dengan
cerpen Fina. Dia membaca cerpen yang berjudul ‘Laki-laki Bermata Cokelat’ dengan saksama. Setelah selesai senyum
mengembang nampak di bibir Raisa.
“Ini,
keren sekali, Fin. Asli. Aku selalu suka cerpen-cerpenmu. Bagus banget,” puji
Raisa bertubi-tubi.
“Terima kasih,” jawab Fina kalem.
“Emm
..., kok kamu bisa buat kayak, gini, sih,
Fin? Caranya gimana? Aku penasaran banget.”
Fina
menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia agak bingung juga kalau Raisa mulai
melancarkan aski pertanyaan yang selalu bertubi-tubi.
“Kalau aku,
sih, Rai ..., biasanya suka mengamati apa yang ada di sekeliling aku ...,” Fina
berhenti sejenak. “trus kalau ada yang menarik, langsung aku tulis. Diendapkan
sebentar, editing. Lalu dikirim dan tinggal nunggu. Itu aja.”
“Ah, tidak
ketinggalan selalu banyak baca buku buat
nambah kosa kata, dan amunisi otak.” Fina tertawa renyah.
“Nggak ...
nggak gitu, Fin.” Raisa menggelengkan kepalanya.
“I mean
... bagaimana kamu bisa membuat cerpenmu selalu ada ruhnya? Serasa hidup gitu,
deh, Fin. Dan lagi setting kami juga detail
banget, lokalitasnya kerasa banget. Nah itu bagaimana kamu bisa membuatnya?”
Fina menatap
lama teman satu kelasnya itu. Lalu dengan
sabar mulai menjelaskan pertanyaan yang diajukan Raisa.
“Kapan-kapan
aku diajari, ya.” Raisa menunjukkan wajah memelas.
“Boleh saja,
Rai. Yang penting kamu mau belajar dengan sungguh-sungguh.” Raisa langsung
kegirangan.
“Siap, aku
selalu bersungguh-sungguh, Rai, makanya aku banyak bertanya biar dapat ilmu.”
Fina hanya bisa menatap Raisa dengan pandangan
yang tidak bisa diartikan. Raisa memang
selalu seperti itu jika berhubungan dengan dunia kepenulisan. Raisa akan terus bertanya padanya lagi dan lagi soal
tips menulis dan bagaimana cara mengirim naskah. Karena memang itu-lah hobinya. Sesuatu yang
bagus memang, tapi kadang kurang disukai Fina, karena cukup membuat tidak
nyaman. Bukannya Fina pelit berbagi ilmu. Ada alasan sendiri kenapa Fina agak
tidak menyukai pertanyaan Raisa.
~*~
Keesokan
harinya, Raisa sudah duduk manis di depan bangku Fina.
“Fin, aku mau
tanya lagi, nih, soal dunia literasi.” Raisa memamerkan senyum super ceria.
“Boleh, Rai.
Nanti kalau bisa insya Alllah aku jawab.” Fina lalu melepas tas yang sedari
digendong dan duduk berhadapan dengan
Raisa.
“Asyik!” pekik
Raisa dengan suara agak kencang. “Oh
iya, untuk tugas yang kemarin lusa, maaf aku belum sempat menulisnya. Aku banyak kerjaan di rumah.” Raisa tersenyum
penuh sesal.
“Aku akan
menulisnya nanti, janji, deh.” Beberapa hari lalu, Raisa memang sempat belajar menulis bersama
Fina di perpustakaan. Selain Raisa ada juga teman-temaan yang lain.
“Segera ditulis
Rai. Sayang idenya kalau tidak dieksekusi. Teman-teman yang lain katanya sudah mulai menulis.” Fina
mengingatkan.
“Tenang, aku
pasti menulisnya. Makanya itu aku mau bertanya lagi padamu, Fin.” Raisa
berhentik sejenak. “Jadi gini ...,” Raisa menunjukkan majalah yang dia bawa.
“Kamu tahu, kan
... aku pengen banget bisa nulis kayak kamu, Fin. Apalagi sampai dimuat di
media. Itu adalah mimpi aku. Tapi ...,” Raisa menggantung ucapannya sebentar.
“Tapi apa,
Rai?” Fina menatap tidak paham.
Raisa menarik
napas sebentar. Lalu mulai berkicau dengan pertanyaan-pertanyaan yang ada di
kepalanya.
“Bagaimana biar
tulisan itu bagus dan dilirik media? Ayo dong bagi tips biar tembus media,
gitu. Trus, apa penulis harus punya nama pena?
Penting nggak sih, nama pena itu? Trus
... trus gimana cara mengatasi writer’s block? Aku suka gitu
soalnya. Dan kapan waktu yang tepat buat nulis? Oh, iya, lupa. Media mana yang
menerima cerpen genre remaja? Boleh
minta alamatnya? Kemarin aku lupa belum menyimpannya setelah tanya kamu.”
Fina hanya bisa
menarik napas mendengar pertanyaan Raisa yang runtut itu. Temannya itu memang
sangat pandai kalau disuruh mengajukan pertanyaan. Selalu. Setiap hari, tanpa henti. Raisa kalau
bertanya sudah seperti radio rusak.
Semua orang mengetahuinya.
“Pertanyaanmu
banyak banget, Rai. Sampai bingung.” Fina berusaha bersikap tenang menghadapi
temannya yang satu ini. “Aku jawab
satu-satu, ya,”
“Siap, aku akan
mendengarkan dengan baik.” Raisa mengacungkan ibu jarinya.
“Tapi sebelum
itu aku boleh tanya sesuatu?” Fina menatap manik mata Raisa yang terlihat
bingung.
“Em ... tentu
saja boleh. Santai saja, Fin.”
“Itu ...,” Fina
agak tidak enak. Dia agak ragu menanyakannya. Tapi mungkin ini adalah saat yang
tepat. Dia harus mengatakan apa yang dirasakannya pada sikap Raisa selama ini. Setidaknya
itu bisa membuat Raisa sadar.
“Ayolah,
katakan saja. Ngaak apa-apa, kok?” Raisa tetap terlihat ceria.
“Maaf, kamu
bilang selama ini ingin menjadi penulis, kamu juga selalu aktif bertanya dan ikut
berbagai diskusi kepenulisan bareng aku dan teman yang laian.” Fina berhenti
sejenak.
“Iya, aku
memang melakukannya. Kan buat dapat ilmu, Fin. Seperti yang kamu bilang.”
“Jujur ..., aku
sangat salut akan antusiasmu. Tapi, kenapa kamu tidak pernah mencoba menulis,
Rai? Setiap aku beri tugas, ada saja alasan yang kamu kemukakan. Selama ini kamu
hanya bertanya ini dan itu. Padahal modal utama menjadi penulis adalah menulis.
Lalu dibantu dengan mau membaca dan mulai mengirim agar tulisanmu. Pelajari media
yang dituju biar tahu tulisan yang disukai.
“Kalau kamu
hanya bertanya dan no action, itu akan percuma, Rai. Bukannya semua
pertanyaan itu sudah sangat sering kamu tanyakan padaku?”
Raisa menelan
ludah. Seketika wajahnya memerah.
Srobyong, 24 Oktober – 15 Desember 2016.
Ini naskah asli ketika mengirim, versi aslinya bisa dibaca pada picture atau di Kliping Sastra
Ini naskah asli ketika mengirim, versi aslinya bisa dibaca pada picture atau di Kliping Sastra
dulu di kelas saya juga ada anak seperti ini nih, selalu tanya mulu saat aku presentasi... sebel banget
ReplyDeleteHhhe, mungkin dia belum paham, jadi suka bertanya, hhehh :)
DeleteWakaka 😂 aku pernah ngerasa terlalu banyak bertanya kayak Raisa ini. Tapi bener, daripada bertanya mending langsung kerjain aja ya mbak :D
ReplyDeletehhehh, boleh bertanya Fitra, tapi juga dikerjkn juga, jadi ada hasilnya kalau tanya doang dan nggak action kan percuma, ciicii :D :v
DeleteNah iya mbak, hasil pertanyaan dan kerjaan sebanding ya :D *kesindir wkwk
DeleteBtw cerpennya fakta banget ya. Suka :D
Hhhe, begitulah. tiba-tiba ingat soal ginian jadi coba tak tuangin jadi cerpen. hheh :) Nggak bermaksud nyindir kamu,ya. Kadang aku pun kesindiri sendiri hehhh :)
Delete