Judul : Starlight
Penulis : Dya Ragil
Editor : Abduraafi Andrian
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, April 2016
Halaman : 264 hlm
ISBN :
978-602-03-2753-2
Peresensi : Ratnani Latifah, Penikmat buku dan
penyuka literasi. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara
Setiap anak punya potensi dan tugas
orangtua adalah mendukung dan mengarahkannnya. Bukan malah mengendurkan
semangat, bahkan membeda-bedakan
kemampuan satu anak dengan anak lainnya. Orangtua itu harus bersikap
adil dalam memberikan kasih sayang. Adil memberikan kesempatan pada setiap anak
untuk memilih mimpi apa yang harus dikejar.
Novel ini menceritakan tentang Wulan
yang merasa kasih sayang ayahnya hanya terpaut pada kembarannya—Lintang. Di
mata sang ayah, hanya ada Lintang yang memang lebih pintar dari pada
Wulan—selalu saja Lintang yang diutamakan. Tapi meski Wulan merasa tersisih,
dia selalu berusaha tegar.
Sampai pada suatu hari, sekolah
memberi pengumuman akan melakukan seleksi pemilihan olimpiade sains, yang di
mana salah satu pilihannya adalah bidang astronomi. (hal. 49) Wulan yang sejak
kecil memang sangat suka dengan bintang dan memang bermimpi menjadi astronom,
tentu saja sangat tertarik ingin ikut. Apalagi kali ini cara pemilihannya lebih
terbuka bukan melalui nilai rapor yang akan membuat Wulan merasa rendah
diri. Dia berpikir mungkin dengan
mengikuti lomba olimpiade, sang ayah akan mengakui kemampuannya.
Tapi ternyata dia salah. Ayahnya
tidak begitu peduli dengan keinginannya. Ayahnya mungkin tidak tahu bahwa dia
akan ikut seleksi, karena sang ayah hanya fokus mendukung Lintang agar
saudaranya itu maju untuk ikut seleski. “Ayah
tahu, kamu punya kemampuan buat tembus tingkat kabupaten, bahkan nasional kalau
perlu. Jangan sia-siakan kemampuanmu itu, oke?” (hal. 69)
Lintang pun pada akhirnya ikut,
meski dengan setengah hati. Karena Lintang memang tidak terlalu suka Astronomi
dan tidak ingin bersaing dengan Wulan. Selain Lintang ada juga Nindi dan Bagas
yang akan ikut seleksi olimpiade astromoni. Ketiganya adalah siswa paling
berprestasi yang sedikit banyak tentu membuat Wulan pesimis. Tapi dia terus
bertekad untuk maju. Dan alhamdulillah di putaran pertama, Wulan bisa lolos.
Dia senang namun juga marah karena Lintang tidak sunguh-sunguh dan sengaja mengalah
dengan dirinya. (hal. 102)
Namun karena sudah lolos, Wulan pun
bertekad untuk belajar lebih rajin bersama Nindi dan Bagas dalam pengawasan Pak
Hadi. Ini adalah kesempatannya untuk membuktikan pada sang ayah bahwa dia mampu
bukan hanya Lintang. Apalagi mengingat memang sejak kecil, dia mengenal
perbintangan dari sang ayah. Belajar
tentang teori Big Bang, mengenalkan Proxima Centauri, bintang
yang paling dekat dengan bumi setelah matahari, atau tentang Sirius—bintang
kembar dan Pleiades—kumpulan ratusan, mungkin ribuan bintang.
Dan itu terbukti pada seleksi
tingkat kabupaten, Wulan bahkan bisa mengalahkan Nindi. Dia lolos bersama
Bagas. Impian Wulan semakin dekat. Dia sangat semangat belajar. Bahkan dia
mengesampingkan rasa malu dan meminta bantuan Bagas yang selama ini selalu
menjadi musuh bebuyutannya. Tapi betapa sedihnya Wulan, ketika sang ayah malah
terkesan tidak mendukungnya. “Kalau gagal di olimpiade, jangan merasa
terbebani.” Begitulah kira-kira yang
diucapkan ayah Wulan. (hal. 181) Seolah
ucapan itu menunjukkan dia tidak diharapkan ayahnya menang. Dan pasti akan berbeda jika Lintang yang
ikut, ayahnya pasti akan memberi semangat. “Semangat kamu pasti bisa.” Entah
bagaimana kelanjutan usaha Wulan. Apakah nantinya dia bisa memperoleh pengakuan
dari sang ayah dan lolos dari olimpiade astronomi apa tidak.
Selain membahas tentang usaha Wulan
yang ingin mendapat pengakuan sang ayah, olimpiade atronomi, novel ini juga
menceritakan tentang arti persahabatan juga cinta. Penulis meramunya dengan
sangat baik dan dengan porsi yang pas. Diceritakan dengan gaya bahasa yang
renyah, sehingga membuat kisah ini mudah dinikmati. Tidak ketinggalan,
pengetahuan tentang ilmu astronomi juga banyak bertebaran dalam buku ini.
Sebuah novel yang sarat makna.
Mengingatkan pada orangtua bahwa dalam memberikan kasih sayang pada anak itu
tidak boleh dibeda-bedakan. Juga mengajarkan agar tidak mudah menyerah dan
terus berusaha. Meski harus berusaha dari nol, ada kemungkinan untuk menjadi
luar biasa. Karena setiap manusia diciptakan dengan potensi masing-masing.
Sebagaimana yang termaktub dalam teori Big Bang—Dulunya alam semesta itu
nol, nggak ada apa-apa. Terus ada ledakan besar kemudian lahir materi-materi
benda langit, pelan-pelan mengembang sampai jadi alam semesta yang luas sekali.
(hal. 10-11)
Srobyong, 5 Juli 2016
No comments:
Post a Comment