Saturday, 12 November 2016

[Resensi] Adat, Cinta, dan Perjodohan

Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 6 November 2016 


Judul               : Jodoh Terakhir
Penulis             : Netty Virgiantini
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Kedua, April 2016
Halaman          : 208 hlm
ISBN               : 978-602-03-2716-7
Peresensi         : Ratnani Latifah

Setiap tempat sudah pasti memiliki adat tersendiri. Memiliki cara pandangan berbeda dalam menilai berbagai masalah yang ada di masyarakat. Salah satunya adalah tentang pandangan masyarakat pada wanita yang belum berkeluarga di usia yang sudah matang.  Dan saat ini di beberapa daerah masih ada  yang  menganggap hal itu adalah aib kelurga. Karena membiarkan putrinya menjadi perawan tua.

Novel ini mencoba mengulas fenomena yang kebanyakan terjadi di masyarat pedesaan. Di mana para wanita dituntut untuk segera menikah di usia muda, agar tidak mempermalukan keluarga dan diri sendiri.  Padahal masalah jodoh siapa yang tahu kapan ada datang? Mengingat jodoh adalah  rahasia Tuhan.

Menceritakan tentang Neyna yang sudah berusia 40 tahun, tapi masih singgle. Sehari-hari dia bekerja di kios persewaan buku miliknya.  Melihat kenyataan yang terjadi pada Neyna, sudah pasti membuat kedua orangtuanya khawatir.  Sampai kemudian seorang laki-laki datang meminang Neyna. Tanpa pikir panjang, orangtua Neyna pun menyetujui pinangan itu dan memaksa Neyna untuk setuju.  “Tidak ada orangtua yang mau mencelakakan anaknya sendiri. Ibu percaya kamu bakal bahagia hidup bersamanya.” (hal 17)

Di sinilah masalahnya, Neyna merasa tidak terima. Bagaimana mungkin dia harus menerima pinangan dari orang yang belum dia kenal? Tapi ancaman bapaknya membuat Nenya bernyali ciut. Karena bapaknya mengancam jika dia menolak, maka dia harus angkat kaki dari rumah dan tidak dianggap sebagai anak lagi (hal 21-22).  Neyna merasa berdiri di persimpangan jurang yang dalam.

Sebenarnya ada alasan tersendiri kenapa sampai saat ini Neyna belum ingin berkeluarga. Pertama dia belum bisa move on dari mantan pacarnya yang berbeda agama. Kedua dia ingin menikah dengan laki-laki yang mencintai dirinya dan sebaliknya.  Tapi entah kenapa orangtuanya nampak tidak memedulikan alasannya.  Mereka malah selalu menasihati Neyna untuk segera melepas masa lajang agar tidak lagi digunjingkan warga. 

Tapi nasihat yang paling menyentuh hati Neyna itu malah berasal dari Nunik—istri Hamdan—tetangga kisonya yang mengatakan. “Tuhan akan selalu memberikan jodoh yang terbaik untuk kita. Tinggal kita yang mau menerima dengan ikhlas atau tidak. Sering kali apa yang baik menurut kita, belum tentu baik di mata Tuhan.” (hal 94).  

Belum selesai masalah satu, masalah lain datang bertubi-tubi membuat Neyna pusing tujuh keliling. Bagaimana tidak,  tiba-tiba  dia dituduh menggoda suami orang (hal. 99). Tidak hanya itu  mantan pacarnya—Deni juga mendadak muncul menimbulkan kekacauan. Entah kenapa Deni mulai sering mengunjungi kios persewaan buku miliknya. Deni pun mulai mengatakan hal-hal yang aneh.

Puncaknya adalah Deni  menawarkan cinta lama yang pernah mereka rajut dulu.  Deni meminta Neyna menikah dengannya bahkan bersedian menceraikan istrinya (hal 161). Di sisi lain, akhirnya Neyna tahu siapa yang akan menikahinya.  Kenyataan itu cukup membuat Neyna terguncang. Ada kemarahan dan perasaan tidak terima di hati Neyna. Dia butuh penjelasan.

Diceritakan dengan gaya bahasa yang ringan, membuat novel ini asyik untuk dinikmati. Menarik dan cukup menghibur. Apalagi novel ini juga ada unsur komedi yang membuat kita tersenyum sendiri ketika membaca.  Covernya pun terlihat anggun dengan kombinasi warna, bunga dan high heels. Meski dalam beberapa bagian masih ditemukan kesalahan tulis.  Tapi lepas dari itu, secara keseluruhan novel ini recomended untuk dibaca.

Selain itu dari novel ini banyak pelajaran yang bisa dipetik.  Di antaranya adalah ajakan agar cepat move on dari masa lalu.  “Jangan terus-terusan memeluk kesedihan di masa lalu. Sering kali orang yang sudah terlalu lama larut dalam kesedihan jadi memiliki semacam ketergantungan. Dia jadi senang menikmati kesedihannya dan justru tidak mau lepas darinya.” (hal 140).

Kita juga harus berani menghadapi masalah. “Masalah itu ada dan diciptakan Tuhan untuk dihadapi. Diselesaikan. Bukannya dihindari atau ditinggal lari.” (hal 181).

Srobyong, 30 Oktober 2016 

2 comments:

  1. Wah.. persoalan yg cukup pelik bagi wanita di pedesaan. hikss
    Padahal bukannya kita nggak ingin menikah, tapi, kasi kesempatan buat kami untuk, bla bla bla...
    *alasan tertentu. hihii
    *curhat terselubbung :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hhheh, ya begitulah. Kadang masih banyak orang yang belum memahami alasan seseorang. eh, ikut curhat, lho hehh :D

      Delete