Dimuat di Duta Masyarakat, Minggu 13 November 2016
Judul : Genduk
Penulis : Sundari Mardjuki
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Pertama, Juli 2016
Halaman : 232 hlm
ISBN :
978-602-03-3219-2
Peresensi : Ratnani Latifah. Penikmat buku dan
penyuka literasi alumni Unisnu, Jepara.
Novel karya
Sundari Mardjuki ini termasuk lima besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2016,
kategori prosa. Sebuah novel sangat
kental dengan lokalitas. Setting berada
pada tahun 1970-an di lereng Gunung
Sindoro. Fiksi ini diceritakan dengan gaya memoar mengambil sudut pandang gadis
kecil yang sering dipanggil Genduk.
Kisahnya memikat, mengajak pembaca mengenal tentang bagaimana para petani
mengolah tembakau dimulai dari penanaman hingga panen.
Genduk tinggal
di Desa Ringinsari, yang terletak di lereng Gunung Sindoro bersama ibunya. Sejak
kecil Genduk sudah memperlihatkan kecerdasan di atas rata-rata dari teman-teman
sebayanya. Dia juga menyukai sastra puisi karena didorong rasa kesepian tidak
pernah tahu siapa sebenarnya ayahnya.
Ketika Genduk
bertanya perihal ayahnya, sang ibu selalu terlihat tidak senang dan hanya
mengatakan kalau ayahnya sudah meninggal. Hanya dari Kaji Bawon, Genduk mendengar kisah tentang
ayahnya, yang membuat Genduk meyakini kalau ayahnya belum meninggal. Dan dia
bertekad untuk menemukannya.
Namun pencarian
itu ternyata tidak semudah yang dibayangkan Genduk. Belum lagi saat itu dia
menyadari ibunya tengah mengalami masalah serius dengan penjualan tanaman
tembakau. Genduk tidak bisa menyepelekan hal itu. Mengingat, kelangsungan hidupnya
di desa tergantung dengan hasil panen dan penjualan tembakau.
Pohon-pohon tembakau seperti magnet yang membuat semua orang
tertuju padanya. Tembakau adalah harapan yang dipupuk dengan perjuangan keras.
Tidak ada yang lebih penting daripada
bergelut dengan tanaman tembakau. (hal. 59)
Dan akan lebih
beruntung lagi jika bisa menghasilkan tembakau srintil. Karena konon katanya
tembakau ini memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Jangan terpedaya dengan
rupanya yang tidak menawan. Hitam pekat,
berair, mengumpal seperti tai kebo.
Namun, ketika dijemur, tampak dari kejauhan seperti berkilat hitam
kebiru-biruan. Seperti emas hitam yang sesungguhnya. (hal. 214)
Hal ini menunjukkan
tembakau merupakan ladang ekonomi yang harus diolah dengan baik agar bisa
melanjutkan kelangsungan hidup. Penduduk
bahkan selalu melakukan Among Tebal jika masa wiwitan datang—awal musim
menanam tembakau agar hasil tanaman tembakau bisa tumbuh subur dan mendatangkan
paneh yang berlimpah.
Genduk pun
mencoba mencari cara agar ibunya bisa menjual hasil tembakau dengan harga yang
pantas. Dan siapa sangka dia harus
berhadapan dengan Kaduk, seorang tengkulak yang selama ini dibencinya. Namun
demi sang ibu dia bertekad rela berkorban. Membiarkan dirinya dilecehkan. Tapi betapa kecewanya Genduk ketika tahu
Kaduk tidak memenuhi janjinya.
Novel ini
semakin seru dengan sajian konflik berupa masalah politik sekitar tahun 60-an
yang menegangkan. Serta masalah agama dan kepercayaan yang masih menjadi
perdebatan dan perselisihan. Tapi karena
konflik itu, Genduk mengetahui sejarah
kehidupan ayahnya, serta masa lalu ibunya.
Novel ini
diceritakan dengan gaya bahasa yang renyah dan memikat. Hanya saja ada beberapa
bagian yang terasa tidak pas jika dilihat dari setting waktu dengan sikap tokoh utama yang terlihat
lebih modern. Tapi lepas dari
kekuranganya, penjabaran setting dan penokohan yang kuat membuat novel
ini tetap asyik untuk dinikmati.
Selain itu
novel ini sangat sarat makna. Mengajarkan pada kita untuk tidak mudah menyerah
dalam memperjuangan hak dan harapan. Serta mengajarkan untuk selalu mensyukuri
pemberian Tuhan. “Syukuri apa yang ada sekarang.” (hal. 101)
Srobyong, 8 November
2016
|
mantap tulisannya...
ReplyDeletetinggalin jejak di :D
kunjungi juga: https://idealimka.blogspot.co.id/
Terima kasih sudah berkenan mampir di sini ^_^
Delete