Saturday 19 November 2016

[Resensi] Tembakau di Lereng Gunung Sindoro

Dimuat di Duta Masyarakat, Minggu 13 November 2016 


Judul               : Genduk
Penulis             : Sundari Mardjuki
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama, Juli 2016
Halaman          : 232 hlm
ISBN               :  978-602-03-3219-2
Peresensi         : Ratnani Latifah. Penikmat buku dan penyuka literasi alumni Unisnu, Jepara.



Novel karya Sundari Mardjuki ini termasuk lima besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2016, kategori  prosa. Sebuah novel sangat kental dengan lokalitas.  Setting berada pada tahun 1970-an  di lereng Gunung Sindoro. Fiksi ini diceritakan dengan gaya memoar mengambil sudut pandang gadis kecil yang sering dipanggil Genduk. Kisahnya memikat, mengajak pembaca mengenal tentang bagaimana para petani mengolah tembakau dimulai dari penanaman hingga panen.

Genduk tinggal di Desa Ringinsari, yang terletak di lereng Gunung Sindoro bersama ibunya. Sejak kecil Genduk sudah memperlihatkan kecerdasan di atas rata-rata dari teman-teman sebayanya. Dia juga menyukai sastra puisi karena didorong rasa kesepian tidak pernah tahu siapa sebenarnya ayahnya.

Ketika Genduk bertanya perihal ayahnya, sang ibu selalu terlihat tidak senang dan hanya mengatakan kalau ayahnya sudah meninggal. Hanya dari  Kaji Bawon, Genduk mendengar kisah tentang ayahnya, yang membuat Genduk meyakini kalau ayahnya belum meninggal. Dan dia bertekad untuk menemukannya. 

Namun pencarian itu ternyata tidak semudah yang dibayangkan Genduk. Belum lagi saat itu dia menyadari ibunya tengah mengalami masalah serius dengan penjualan tanaman tembakau. Genduk tidak bisa menyepelekan hal itu. Mengingat, kelangsungan hidupnya di desa tergantung dengan hasil panen dan penjualan tembakau.

 Pohon-pohon tembakau  seperti magnet yang membuat semua orang tertuju padanya. Tembakau adalah harapan yang dipupuk dengan perjuangan keras. Tidak ada yang lebih penting  daripada bergelut dengan tanaman tembakau. (hal. 59)

Dan akan lebih beruntung lagi jika bisa menghasilkan tembakau srintil. Karena konon katanya tembakau ini memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Jangan terpedaya dengan rupanya yang tidak menawan.  Hitam pekat, berair,  mengumpal seperti tai kebo. Namun, ketika dijemur, tampak dari kejauhan seperti berkilat hitam kebiru-biruan. Seperti emas hitam yang sesungguhnya. (hal. 214) 
Hal ini menunjukkan tembakau merupakan ladang ekonomi yang harus diolah dengan baik agar bisa melanjutkan kelangsungan hidup.  Penduduk bahkan selalu melakukan Among Tebal jika masa wiwitan datang—awal musim menanam tembakau agar hasil tanaman tembakau bisa tumbuh subur dan mendatangkan paneh yang berlimpah.

Genduk pun mencoba mencari cara agar ibunya bisa menjual hasil tembakau dengan harga yang pantas.  Dan siapa sangka dia harus berhadapan dengan Kaduk, seorang tengkulak yang selama ini dibencinya. Namun demi sang ibu dia bertekad rela berkorban. Membiarkan dirinya dilecehkan.  Tapi betapa kecewanya Genduk ketika tahu Kaduk tidak memenuhi janjinya.

Novel ini semakin seru dengan sajian konflik  berupa masalah politik sekitar tahun 60-an yang menegangkan. Serta masalah agama dan kepercayaan yang masih menjadi perdebatan dan perselisihan.  Tapi karena konflik itu,  Genduk mengetahui sejarah kehidupan ayahnya, serta masa lalu ibunya.

Novel ini diceritakan dengan gaya bahasa yang renyah dan memikat. Hanya saja ada beberapa bagian yang terasa tidak pas jika dilihat dari setting  waktu dengan sikap tokoh utama yang terlihat lebih modern.  Tapi lepas dari kekuranganya, penjabaran setting dan penokohan yang kuat membuat novel ini tetap asyik untuk dinikmati.  

Selain itu novel ini sangat sarat makna. Mengajarkan pada kita untuk tidak mudah menyerah dalam memperjuangan hak dan harapan. Serta mengajarkan untuk selalu mensyukuri pemberian Tuhan. “Syukuri apa yang ada sekarang.” (hal. 101)

Srobyong, 8 November 2016

2 comments:

  1. mantap tulisannya...

    tinggalin jejak di :D

    kunjungi juga: https://idealimka.blogspot.co.id/

    ReplyDelete