Mencoba Membuat Komedi. Entah lucu atau tidak ^_^
Kazuhana El Ratna Mida
Entah kenapa tiba-tiba mbak tak bersuara. Kupanggil beberapa kali dia tetap bisu. Padahal aku sampai berpose lucu agar mbak melirikku.
Tapi ....
“Mbak!” panggilku lagi di depan kamarnya, masih dengan memeluk daun pintu. Mbak Nila sama sekali tak menyahutku, dia sedari tadi diam bahkan tak menengok sedetik pun.
“Mbak!” ucapku sekali lagi. Tapi dia tetap tak merespon. Lalu aku pun mendekatinya. “Ya Allah, Mbak Nila!” aku berteriak histeris melihatnya.
~*~
Aku menatap lama mbak yang duduk bersila sambil membaca majalah Gadis seperti biasa. Aku sudah tahu kenapa dia tiba-tiba murung tanpa alasan jelas yang membuatku jengah setengah dewa. Uch. Dia itu sungguh jahat, masak membiarkan adik manisnya ini khawatir tingkat akut (he-he-he).
Alasan dia murung secara tiba-tiba itu, gara-gara galau permanen, hari palentine mau tiba. Itu-tuh yang katanya dirayakan ketika tanggal 14 Pebruari. Hari yang kata para pemuda-pemudi disebut hari kasih sayang.
Hello? Kenapa harus menunggu sampai tanggal 14 Februari coba. Setiap hari kan bisa. Cuma beli kue atau coklat dan bunga, kan? Aku sungguh tak habis pikir dengan gaya para remaja sekarang.
Eh, aku juga remaja deng. Tapi aku beda. Aku adalah penggerak para remaja yang menolak palentine days. (ciee gaya banget aku).
“Valentine Days, kali Na!” suara koor teman-temanku menyahut tiap kali aku tak bisa mengucapkan kata V dan F yang akhirnya aku serupakan dengan huruf P. ‘Palentine, dan Pebruari’. Maaf jangan protes ini kebiasaan yang tak bisa hilang.
“Apa lihat-lihat!” sentaknya padaku.
Aku hanya nyengir kuda. Padahal sungguh aku saat itu sedang kepikiran dengan gerakan No Palentine yang mau aku galakkan.
“Siapa yang lihat Mbak. Huhuhu GR-deh.” Aku meleletkan lidah.
Mbak Nila melolot dan aku langsung kabur secepat mungkin. Kulihat dia masih mengejarku karena ingin mencubit. Ya, itu kebiasaanya yang tak pernah hilang ketika gemas padaku. Itu katanya, ya. Mungkin karena aku memang lucu dan manis (edisi narsis).
Napasku tersengal-sengal. Ya, aku sudah sangat lelah. Main kejar-kejaran dengan Mbak Nila ternyata sudah membuat kami mengelilingi rumah sebanyak empat kali. Wow, bayangkan empat kali guys? Itu berati sama saja aku bisa jalan dari Mlonggo ke Bangsri.
Karena lelah, kami duduk di lantai sambil minum air dingin yang aku ambil tadi. Duh lelahnya sungguh bikin mati rasa euy.
“Mana!” Mbak Nila mengambil botol dengan segara. Meneguk dengan nafsu membabi buta. Dia seperti dikejar anjing menggonggong hingga tak bisa bengong.
“Mbak!” aku menyenggol lengannya. Air yang diminum pun sedikit muncrat membuat dia mendelik seketika.
“Apaan sih, dari kemaren mbak, mbak mulu,” protesnya padaku.
“Em ... em ...,” aku ragu untuk membuka suara.
“Mau bilang apa sih? Am-em-am-em.”
“Ah, nggak jadi aja. Aku senang Mbak hari ini sudah bisa ceria lagi.” Aku langsung berlari meninggalkan mbak sendiri.
Aku tak enak hati untuk menasihatinya untuk tidak galau gara-gara palentine yang mau datang. Entar aku dibilang bawel.
~*~
Heboh Palentine memang sungguh gila. Baru H-2 dari acara palentine. Bunga-bunga jadi laris. CokElat pun cepat ludes apalagi merek ‘SilverQueen’ (iklan—habis ini harus bayar royalti buat aku—ketawa menang) yang dijadikan rebutan. Apalagi nanti kalau H-1. Sudah seperti lebaran mungkin.
Wow, remaja di sini sungguh pengikut setia St. Palentine eh maaf St. Valentine maksudku. Seorang pendeta yang meninggal di tanggal 14 Pebruari itu. Aku mengucapkan kata Valentine dengan susah payah. Ich kenapa tak ada yang memahami kecadelanku sih. (gembor pake speker).
Berbondong-bondong para pasangan kekasih, baik yang sudah menikah atau masih pacaran—eh pacaran kan tidak boleh, ya?—entahlah aku tak tahu. Semua tumpah ruah merayakan palentine day.
Katanya kalau tak ikut merayakan dibilang kuper tak mengikuti zaman. Ah, kalau aku sebodoh amat.
Biarlah anjing menggongong, kafilah berlalu. Ha-ha-ha.
Aku masih waras kok. Masih sangat sadar untuk tidak meniru kebiasaan yang telah meracuni budaya Islam.
Iya, Islam kan tak pernah mengajarkan untuk merayakan pelentine. Kalaupun ada perayaan itu maulid Nabi saw untuk mengenang kelahiran beliau.
Budaya palentine itu tak ada contohnya bisa jadi malah menjadi bid’ah. Iya, nggak sih? Ah, aku belum terlalu pintar untuk urusan agama. Aku biasanya hanya meniru kata-kata ustzah Isa yang sering mengajari ngaji bakda magriban di musala.
“Mbak Isa, Bid’ah itu apa, sih?” tanyaku suatu hari.
“Na, bid’ah adalah segala sesuatu yang baru yang tidak ada contohnya di zaman Rasulullah dulu.”
“Contohnya apa, Mbak?”
“Em ... apa palentine juga bid’ah? Kan dulu di zaman Rasulullah tidak ada,” ucapku ingin tahu.
“Dua jempol untuk kamu. Sudah ayo setor deresan dulu!” suruh Mbak Isa dengan senyum mengembang.
Aku pun segera membuka Al-Quran dan mulai membaca dengan fasih kalam-kalam yang telah Allah turunkan.
Setelah ini aku mau memberi tahu Mbak Nila tentang palentine yang ternyata bid’ah, jadi jangan diikuti untuk merayakannya.
~*~
Sore hari ketika pulang sekolah. Aku kaget luar binasa (maksudku luar biasa—edisi lebay). Mbak Nila tidak ada di kamarnya. Aku mencari ke sana-ke mari tapi tetap saja tak menemukannya.
Biasanya di jam seperti ini, dia sudah pulang. Kalau aku sih memang pulang telat karena tadi ada rapat IPNU-IPPNU (Ikatan Putra Nahdlatul Ulama-Ikatan Putri-Putri nahdlatul Ulama) di sekolah.
Aduh, mbak ini pergi ke mana sih? Membuat aku cemas saja. Bapak dan ibu sedang keluar kota jadi hanya kami berdua yang menjaga rumah. Kalau terjadi apa-apa bagaimana? (mulai lebay, ala sinetron).
Aku bertanya pada tetangga sebelah katanya mereka tak melihat ke mana perginya Mbak Nila.
“Ya, Allah semoga mbakku baik-baik saja.” Aku merapalkan kedua tangan.
Baru selesai berdoa. Suara ulukan salam mengagetkan aku yang masih cemas menggila.
“Kenapa sedih, Na?” tanya mbakku tak berdosa.
Sebel deh, dia sudah membuatku senewen. Padahal sedari tadi aku mengkhawatirkannya. Eh, dia malah pulang dengan senyum sumringah. Apa dia sudah sembuh, ya?
“Mbak dari mana sih, dari tadi aku cariin kok nggak ada.”
“Aku baru beli bakso, Na. Laper. Yuk kita makan. Aku beliin juga buat kamu.”
Hah!? Aku melonggo. Sedari tadi aku pusing kayak orang gila ternyata dia pergi beli bakso. Ya, Allah kenapa dia tak meninggalkan memo biar aku tak terlalu cemas.
Kini, aku pun mengekor menuju dapur untuk menikmati bakso yang dia beli. Aku juga lapar. Tak ada orang tua kadang membuat malas memasak. Enaknya pilih yang praktis dengan jajan di luar.
Setelah makan, kami menononton TV bersama. Lagi-lagi Palentine tetap menjadi top berita. Semua film yang ada juga sudah mulai berbumbu hari palentine yang akan tiba. Semua serba romantis dan serba pink. Aku tak suka, ungu lebih keren (siapa yang nanya, ya?).
Aku melirik ke arah mbakku. Dia terlihat senang dengan acara yang ditayangkan. Senyumnya tersungging tanpa beban. Matanya berbinar melihat bintang kesayangannya tayang.
“Wah, romantis sekali. Aku juga mau.” Matanya masih fokus pada drama yang sedang ditonton.
“Mau apa Mbak?” tanyaku penuh selidik.
“Itu yang seperti di televisi.”
Mataku melotot. Ampun deh mbakku ini masak ingin meniru adegan di film-film.
“Jangan dong, Mbak. Itu kan tidak dibenarkan dalam syari’at Islam,” protesku dengan segara.
Kalau seperti ini aku tidak bisa menahan lagi. Aku harus menjelaskan pada mbakku. Ini salah. Aku tak bisa membiarkan mbakku salah kaprah dalam pergaulannya.
Aku pun mulai mengoceh dari A-Z. Menjelaskan tentang sejarah asal mula ada hari palentine.
Pada zaman Rasulullah tidak ada tuh hari kasih sayang. Masak untuk mengungkapkan kasih sayang harus menunggu palentine datang. Aduh, nggak banget. Setiap hari pun kita bisa saling berbagi.
“Denger ya, Mbak,” ucapku sok bijak.
“Dan janglah kamu megikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabnya”. [1]
Aku membacakan satu ayat yang sama persis diajarkan ustazahku saat mengaji.
Kulirik mbak, yang hanya senyum-senyum aja ketika mendengar ucapanku.
“Hadis Rasulullah s.a.w:“Barang siapa yang meniru atau mengikuti suatu kaum (agama) maka dia termasuk kaum (agama) itu.”
“Mbak nggak mau kan seperti itu. Jadi kita sebagai muslim yang baik harus menjauhi hal-hal yang mendekatkan pada bid’dah. Kita harus memilah-milah kegiatan yang kita lakukan. Boleh kok memilih sesuatu yang baru tapi itu masih dalam koridor islam.” Aku berucap menggebu-ngebu seperti kereta yang melaju dengan kecepatan penuh.
Gemes deh masak mbakku nggak tahu, sih. Padahal dia lahir lebih dulu dari aku. Harusnya dia paham. Ah, aku menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
“Iya, mbak tahu, kok,” ucapnya dengan santai.
“Trus kenapa Mbak masih ingin meniru?” tanyaku tidak mengerti.
“Siapa coba yang mau meniru.” Mbakku masih sangat santai. Tatapannya masih lurus menikmati drama yang ditontonnya.
Aku lalu berdiri sengaja menghalangi pandangannya. Ya, biar dia berbicara sambil melihat muka manisku. Habis, sedari tadi cuma melihat wajah Park Shin Hye. Memangnya aku kalah cantik apa sama artis Korea itu? (memang kalah cantik sih. Aku aja yang narsis he-he-he).
“Minggir-minggir!” usir mbakku. Tapi aku masih bersikukuh.
“Dek Nana, Sayang, mbak tahu kok kita tidak boleh kejangkit virus valentine.” Mbakku menatapku sambil tersenyum.
“Lalu?” aku balik menatapnya, menunggu jawabann ke luar dari bibirnya.
Kenapa tadi di bilang ingin seperti yang di televisi. Padahal jelas tadi iklan tentang palentine. Lalu tentang keanehan mbak beberapa hari lalu tiba-tiba galau dan kata teman-teman mbak, mbak terkena pirus pelentine. Trus aku harus percaya sama siapa? Tembokkah?
Mbakku malah tertawa lebar mendengar pertanyaanku yang ngacau.
“Siapa yang pengen itu. Makanya kalau lihat iklan pake mata lebar.” Mbak mengarahkanku pada iklan sama yang kebetulan ditayangkan lagi.
Aku melongo. Kya, bukan pelentine yang mbakku mau tapi majalah baru yang mau memuat kabar baru tentang Suju—Super Junior—Boy Band Korea. Ah. Aku tak melihat itu. Fokusku pada tulisan besar palentine berwarna pink besar di atas gambar Suju.
Kalau itu mah aku juga mau.
“Makanya jangan sembarangan menuduh!” protesnya. Aku sendiri hanya nyengir kuda.
Acara drama sudah selesai, kini saatnya pergi ke rumah sebelah. Aku segera bersiap pun dengan Mbak Nila. Kutunggu dia di depan pintu kamarnya. Tapi sedari tadi tak keluar juga. Aku pun membuka pintu yang ternyata tak dikunci. Aku membuka pintu sambil mengoceh kayak burung beo.
“Aku sangat bersyukur ternyata mbak tak seperti yang aku kira. Kita berada di jalan yang sama. Penggerak no pelentine yes baca yasin. ha-ha-ha.”
Maaf kebetulan ada warga yang meninggal pas hari pelantine jadi kami mau baca yasin dulu, dari pada merayakan palentine. No way.
Aku memanggil mbak untuk segera berangkat.
“Mbak!” aku memanggilnya tapi dia tak juga menoleh. Masih berkutat di depan meja yang membelakangi pintu kamarnya. Karena tak sabar segera kususul dia. Ini sudah mau jam setengah tujuh malam, nanti telat untuk takziyah dan berdoa—membaca yasin, di rumah Mang Mamat. Mbak ini kenapa sih?
“Ya, Allah, Mbak Nila!” teriakku histeris.
Mbak Nila menatapku tersenyum tanpa dosa.
“Maaf ketiduran. Aku capek sekali.”
Aku langsung ingin menelannya bulat-bulat.
Srobyong, 5 Ferbruari 2015.
Ket :
[1] (Surah Al-Isra : 36)
No comments:
Post a Comment