Sunday, 20 September 2015

Harapan yang Membentang


sumber google

Aku menghela napas. Memandang serakan pesawat kertas yang baru selesai kubuat, setelah bergadang semalaman. Yah, aku memang sengaja membuat itu semua. Melakukan hal gila dan meyakini bahwa membuat origami semacam ini bisa membantuku mewujudkan impian yang ingin kugenggam. Tentu, tak hanya dengan origami, tapi aku juga tetap berlajar tiada henti. Ini hanyalah salah satu usaha yang bisa kulakukan. 

"1, 2, 3 ...." Aku menghitung kembali pesawat-peswat kertas yang tergeletak itu. "101!" aku memekik. Segera kuambil kertas yang masih kosong yang berarti akan menjadi pewasat terakhir yang aku buat. Tiba-tiba terlintas dalam pikiranku untuk sedikit mencurahkan perasaan ; harapan yang membentang di sana. Why not? 

Yah, biarlah nanti harapanku ini terbang tinggi bersama pesawat kertas lain yang sebentar lagi akan kuterbangkan. Terbang untuk mendoakanku dan mungkin mencari bantuan.

Kuraih pena yang tergelat tidak jauh dari novel-novel yang berserak di meja. 

Tentang sebuah harapan yang membentang

Dear mimpi

Aku tahu ini adalah bodoh. Tapi aku tetap ingin melakukannya. Jujur padamu tentang sedikit rahasia dan harapan yang hanya kusimpan sendiri dalam dada. 

Aku hanyalah seorang biasa dan tinggal di desa. Yang selalu haus akan buku namun sayang, tidak ada Gramedia di sana. Ah, sudahlah tak apa. Aku punya cara untuk mengatasinya yaitu membeli lewat online. Walau sejatinya aku akan lebih suka  melihat pilihan buku secara langsung. Jadi untuk harapan pertama semoga suatu saat nanti akan ada Gramedia di Jepara. 

Kalau yang satu ini ..., aku sedikit malu mengatakannya. Ah, bagimana, ya? Aku ini seorang yang bodoh. Tapi berani-beraniya bermimpi tinggi. Bayangkan ..., dari berbekal suka membaca aku mulai menulis dengan gaya berantakan. Tapi itulah ..., aku tidak bisa menghentikannya. Tanganku seolah terus saja menari setiap bertemu dengan aksara-aksara yang menggumpal di otakku. Yah, aku ingin menjadi penulis. Suatu hari nanti. Karena itu aku terus belajar. Mencari tahu segala bekal yang aku perlukan untuk mewujudkannya. 

Aku tahu ..., menjadi penulis memang bukan perkara muda. Penuh perjuangan dan kekebalan. Kata sebagian orang-orang yang sudah sukses dalam kepenulisannya, mereka pun dulunya mengalami masa yang seperti aku rasakan. Jatuh bangun. Takut, minder dan kecamuk rasa lainnya. Dan itulah yang harus aku lawan. 

Yah, meski kadang masih sering mengikuti.  Apalagi ketika mendapati banyak sekali tulisanku yang ditolak sana sini. Baik ke media, lomba-lomba mayor yang kuikuti dan mencoba mengirim naskah langsung ke penerbit. Ah, sakit dan ingin berhenti. 

Tapi ..., kalau aku berhenti bukankah percuma kerja keras yang selama ini aku lakukan? Tidak-tidak. Mungkin saat ini aku belum apa-apa. Penolakan itu adalah proses untuk perbaikan diri. Yah, aku harus berpikir positif. Kemudian aku harus membenahi diri untuk kedepannya nanti. Iya, kan mimpi? Apa kau akan menungguku? Menunggu suatu saat nanti aku memetikmu. 

Tunggu aku mimpi. Aku akan mencoba sedikit demi sedikit menapaki mimpi itu. Menjadi penulis yang memiliki buku solonya sendiri. Yah, saat ini buku yang  aku miliki masih beruba antologi bersama para penulis lainnya.  Yang beberapa dari antologi itu sudah terbit mayor dan itu cukup memberi sinergi untuk terus berusaha lagi. 

Kalau gagal hari ini, belum tentu esok akan gagal sebelum memperbaiki diri. Ah, mimpi. Tunggu aku ya.  

Salam hangat dari 
Harapan yang membentang. 

Aku membentuknya menjadi pesawat terbang. Menjajarkan bersama-sama pesawat-pesawat lain yang  kini sudah berjajar. Satu persatu aku mulai menerbangkannya. Hingga pada pesawat kertas terakhir--yang ke 10, kuterbangkan dia dengan harapan tinggi, bersama harapan yang sempat kuukir tadi. 


4 comments: