[Dimuat di Radar Banyuwangi, Jawa Pos Group. Edisi, Minggu, 20 September 2015]
By Kazuhana El Ratna Mida*
Aku hampir hafal wejangan[1]
yang selalu ibu katakan ketika aku meminta izin akan pergi ke pantai.
“Jangan,
Sep. Di sana ada penunggunya—Ratu Tirta Samudera. Jangan kamu bermain di pusaran air laut. Nanti kamu dibawa
olehnya.”
“Apalagi
di hari Jumat Wage,” lanjut ibu.
Konon
katanya, pantai yang terletak di dekat rumahku memang memiliki banyak cerita
mitos yang meresahkan warga. Pantai yang disebut dengan Ratu Tirta Samudera,
juga dikenal penjaga pantai itu yang katanya juga masih saudara dari Ratu
Pantai Selatan.
Secara garis keturunan itu seperti ini, Ratu
Tirta Samudera itu sangat sakti. Dia masih saudara dengan Dewi Lanjar penjaga
laut Utara. Sedang Dewi Lanjar masih punya hubungan kekerabatan dengan Ratu Pantai
Selatan. Jadi otomatis Ratu Tirta Samudera masih ada hubungan kekerabatan
dengan Ratu Pantai Selatan—atau disebut juga Nyi Roro Kidul. Ratu yang memiliki
kekuatan hebat, cantik namun juga berduri menurut sebagian orang. Merekalah
para penunggu laut yang cantik jelita, namun penuh dengan misteri yang tak
terpecahkan.
Setiap hari, ibu menceritakan kisah itu
padaku. Lalu tanpa bosan ibu akan memberi nasihat untuk jangan sekali-kali
bermain di sekitar pantai. Apalagi di hari Jumat Wage yang penuh kontroversi.
Ratu Tirta Samudera adalah jelmaan putri cantik jelita yang suka
menikahi para lelaki perjaka. Dia memilih para lelaki yang berenang di pantai
sesuka hati. Kalau mereka menolak maka hasilnya akan dijadikan budak. Kecuali jika kamu menerima, maka kamu akan
dijadikan suaminya lalu mendapat banyak harta.
“Asep, Ratu Tirta Samudera, tidak suka orang
yang membangkang. Bagi orang yang membangkang bisa jadi langsung dijadikan
budak, disuruh bekerja siang malam. Siapapun yang sudah dipilih, maka tidak bisa kembali ke daratan. Jasadnya akan
sulit ditemukan, tergantung keinginan sang Ratu untuk memperlihatkan para Tim
SAR atau menutup penglihatan mereka,” ucap Ibu.
“Kamu tahu, kadang kala jasadnya itu terapung
tapi mata orang-orang yang mencari ditutupi cahaya untuk melihat hal itu.”
“Percayalah pada ibu, Sep. Ibu ingin melakukan
yang terbaik untukmu. Kakakmu sudah dia bawa pergi. Ibu tak ingin kamu juga
diambil.” Ibu menggenggam erat tanganku. Beliau langsung mencontohkan kakakku
yang sudah meninggal beberapa tahun lalu.
“Kakakmu,
jasadnya hilang setelah karam di sana, kan? Dia pasti dijadikan budak atau
suaminya.”
Setiap
mengingat kakakku yang telah meninggal, ibu selalu melankolis. Menangis
sesenggukan hingga aku jadi korban. Yah, aku jadi terkekang, tak bisa ke
mana-mana.
“Bukankah kamu melihat ketika kakakmu
tenggelam dan berteriak minta tolong?” ibu bertanya lagi.
Aku menunduk.
Dalam dan semakin dalam. Mencerna setiap kata yang ibu ucapkan.
“Karena itu, Sep. Ibu tidak mengizinkan kamu
bermain di sana. Kamu ibu kirim ke sekolah ke asrama yang akan membuatmu aman.”
Apakah ibu tidak berlebihan? Entahlah aku
sendiri tidak tahu. Semua kegiatanku memang selalu dibatasi sejak kematian
kakak. Hidup seperti ini sungguh tidak bebas dan membuatku tertekan. Padahal kata guru agamaku, mati itu urusan
Allah. Di mana pun bersembunyi kalau memang sudah takdir itu tidak bisa
dilawan. Aku menghela napas, menatap ibu yang masih di depanku.
“Lalu aku harus apa, Bu? Ini, kan sedang
liburan?”
“Kamu belajar di rumah saja. Biar jadi anak
pintar. Lalu bisa meneruskan bisnis
ibumu ini,” Ibu meninggalkanku
untuk menyiapkan makan siang.
Aku menghela napas. Susah sekali memili ibu
yang sangat protektif. Meski itu demi kebaikanku. Tapi sesekali aku juga ingin
bebas.
Aku duduk di teras rumah sambil membaca buku.
Sesekali melihat teman-teman sesusiaku yang bermain bebas tanpa adanya
kekangan.
“Sep. Kamu di rumah, tah? Prei?”[2] tanya
wahyudi ketika melihatku.
“Iya, Yud.”
Wahyudi sudah duduk di sampingku. Sebentar
kemudian Kasim ikut datang.
“Sue rak dolanan bareng,”[3]
ucap Wahyudi dan dibenarkan Kasim.
“Iya, sejak aku ke kota,” aku juga
membetulkan—tepatnya ketika aku masuk asrama SMP di kota. Di asrama paling
mahal yang memiliki fasilitas terlengkap. Mana mungkin putra Bos Mebel sekolah
di tempat biasa.
“Nah, mumpung[4]
kamu di rumah, ayo main,” ajak Wahyudi dengan semangat.
Aku mengangguk saja. kulihat ibu yang masih
asyik memasak.
“Bu, aku pergi dolan [5]dengan
Wahyudi dan Kasim,” pamitku agak keras.
“Iya, tapi jangan mendekati pantai.” Lagi-lagi
pesan itu yang diucapkan.
Aku jawab saja iya. Yang penting aku boleh
bermain. Sedang Wahyudi dan Kasim menatapku maklum. Semua warga sudah tahu
tabiat ibuku yang seperti itu.
~*~
Aku
mendengus kesal, setiap ingat larangan ibu bermain ke pantai. Siapa sih yang
tak ingin bermain bebas seperti teman-temannya? Ke mana pun yang disuka. Hingga
pilihan terakhir, aku harus selalu pergi diam-diam seperti ini jika ingin ke
pantai.
“Ayo, malah melamun.” Wahyudi menepuk
pundakku.
Aku pun
mengkuti langkah mereka menuju pantai, tempat larangan yang aku datangi.
“Tenang,
aku akan merahasiakan keikutsertaanmu.” wahyudi mengacungkan jempol.
“Terima
kasih, Yud.”
Setelah
sampai, kami langsung menanggalkan pakaian dan mulai berenang saling adu
kehebatan. Aku melupakan pesan ibu. Aku
sangat menikmati kejadian hari itu.
Wahyudi
terus berenang ke arah kawasan yang sering diberitakan sebagai pusaran air laut.
Tempat bertemunya dua arus yang berlawanan dan memiliki kedalaman yang lebih
dari lokasi lain. Walaupun jarak dengan
bibir pantai hanya berkisar 20-30 meter. Tapi, di sana memang banyak tersiar
kabar tentang tempat yang memakan banyak korban tenggelam dan hilang.
“Lihatlah Sep.
Aku tidak apa-apa. Ibumu mungkin hanya membohongi agar kau takut ke
sini.” Dia menatap Kasim dan aku bergantian. Dia menunjukkan bahwa dia
baik-baik saja ketika sampai di sana.
Aku
mendekati di mana Wahyudi berada dan
membenarkan ucapannya. Nyatanya
dia selamat ketika bermain di tengah laut yang deras itu. Tempat biasanya
pusaran itu terjadi.
“Besok, kan hari Jumat Wage. Ayo kita tunjukkan
pada ibumu, Sep.”
Ucapannya kusambut anggukan setuju pun dengan
Kasim. Ibu harus tahu tentang ini, semua hanya kekhawatiran yang berlebih,
pikirku dalam hati. Hilangnya Kakakku mungkin hanya kecelakaan biasa. Mungkin
gosip yang beredar, itu salah. Kami sudah membuktikan, pikirku sendiri.
Sampai sore kami bermain di pantai. Setelah
puas berenang kami pun segera pulang ke rumah masing-masing. Sesampainya di
rumah. Aku langsung mendapat teguran karena pulang menjelang senja.
“Ya Allah, Sep. Jam segini baru pulang. Kamu
dari mana saja?” ibu menginterogasiku.
“Aku bermain dengan Wahyudi, Bu,” jawabku apa
adanya.
“Tapi kenapa sampai petang seperti ini?
Tahukah kau waktu senja banyak setan yang berkeliaran. Kamu bisa diculik
mereka,” ibu berucap lagi. “Pamali, tahu.”
“Iya, maaf, Bu. Besok aku akan pulang lebih
cepat.”
Ibu lalu menyuruhku mandi dengan segera lalu
salat dan makan bersama.
“Kamu tadi tidak ke pantai, kan?” tanya ibu
tiba-tiba. Aku hanya menunduk. Kemarahan ibu langsung memuncak ketika tahu,
bahwa aku berbohong.
“Bukankah
sudah ibu bilang jangan ke pantai!” bentak ibuku.
“Tapi,
Bu ...,” aku ingin protes. “Asep ingin
seperti teman-teman yang lain juga.” Akhirnya kalimat itu keluar juga.
“Tidak
bisa. Kamu anak ibu. Jadi menurutlah pada ibu. Jangan mengikuti orang-orang
yang tak tahu apa-apa tentang kejahatan Ratu Tirta Samudera.”
“Memangnya
kamu mau dijadikan tumbal seperti orang-orang?” Ibu menatapku.
“Mulai
sekarang, ibu akan lebih ketat mengawasimu.”
“Ibu!”
aku berteriak memanggil ibunya yang kini sudah sukses mengunci di kamarku
sendiri. Aku teringat dengan kakak.
Padahal
aku sudah kelas dua SMP, tapi ibu tetap saja sama, Kak. Beliau melarangku ke
pantai sejak kejadian itu. Sudah berkali-kali aku meminta pengertian aku tetap
tak diizinkan. Bahkan ketika aku diam-diam pergi aku pun dapat hukuman.
Kenapa
ibu takut sekali dengan Ratu Tirta Samudera? Pikirku sendiri berkutat dengan
hati. Aku menghela napas. Bahkan untuk menjauhkanku
dari pantai, ibu sampai rela aku sekolah
dengan diasramakan jauh dari desa.
~*~
Hingga
pagi hari aku tidak juga diizinkan ibu pergi. Aku dikurung.
“Ibu,
izinkan aku ke luar,” pintaku ketika mendapat kiriman sarapan dari ibu.
“Tidak!”
ucap ibuku tegas.
“Mulai
sekarang, kau harus di sini ketika di rumah. Kalau ibu biarkan kamu ke luar,
kamu pasti akan ke pantai lagi.”
“Bukanhah
sudah ibu bilang di sana berbahaya. Ibu tidak mau ambil resiko untuk kedua
kalinya.”
Ibuku
benar-benar keterlaluan. Padahal, aku harus pergi dan membuktikan pada ibu
kalau semua ketakutan beliau itu hanyalah hal konyol.
“Sekarang, Wahyudi dan Kasim pasti sudah
menunggu.” Aku berjalan mondar-mandir di
kamar. Lalu aku pun memutuskan untuk pergi diam-diam lagi. Dengan hati-hati, aku keluar lewat jendela. Lalu aku berlari menuju
tempat pertemuan dengan Wahyudi dan Kasim.
“Hai! Kupikir kau tak berani datang.” Wahyudi
tersenyum ketika melihatku sampai di tempat janjian.
“Aku dikurung ibu agar tak ke pantai lagi,” jelasku
masih dengan napas terengah-engah. Kini, kami
pun segera pergi ke pantai dan kembali berenang seperti biasa.
Aku sudah sangat yakin bisa membuktikan pada
ibu, kalau Ratu Tirta Samudera itu tidak ada. Setelah ini aku akan pulang
dengan selamat. Kecurigaan ibu akan hilang. Tak sabar rasanya aku untuk
menunjukkan semua kebenaran.
Namun di
saat aku asyik berenang. Tiba-tiba gulungan gelombang buatku kaget. Aku terseret
arus yang sangat kuat. Aku meronta meminta tolong, tapi tak ada yang mendengar.
Tubuhku terasa ringan dan aku melihat wanita cantik yang menyambut kedatanganku
dengan senyum lebar.
Srobyong, 2015
*Beberapa karyanya sudah dibukukan dalam antologi bersama, antara lain Ramadhan in Love, Luka-Luka Bangsa, Lot & Purple Hole. Tinggal di Jepara.
Ahhhh mbak.e garai penasaran ae inii..
ReplyDeleteHuwaaa.....
Ending terakhir trkesan terburu2 mbk.
Tapi aku suka mbk...
Aihh sukses ya mbk.e
Utk typo ada tpi sdikit bnget kog mbk. Hee
hehh, iyakah? catet untuk perbaikan lainkali ^_^ makasih yang dah berkenan mampir dan komen ^_^
ReplyDelete