Dimuat di Harian Analisa Medan, Minggu 14 Agustus 2016 |
*)Ratnani Latifah
Sekarang Mira berubah. Sejak dua minggu Lilik tak masuk sekolah, Mira tak mau
diajak berangkat ke sekolah bersama lagi. Padahal biasanya mereka selalu
berangkat berdua, berboncengan dengan motor Vario Lilik setiap hari.
“Kamu marah, ya, gara-gara kejadian dua minggu lalu?” tanya Lilik ketika sudah
masuk sekolah. “Sungguh, aku tidak bermaksud seperti itu.
Ketika terbangun, aku sudah ada di rumah sakit. Jadi tak sempat mengabari,” lanjut Lilik.
“Siapa yang marah? Aku cuma mau suasana baru, kok. Beneran deh, Lik,”
elak Mira sambil membolak-balikkan novel yang tadinya tengah dibaca. Lalu
matanya tertuju pada sosok cowok jangkung yang tengah bermain basket di
lapangan—Malvin si anak baru yang saat ini sangat populer.
Lilik tetap tak percaya dia memberengut. Tatapannya ikut melengok ke luar
jendela lalu melirik Mira yang benar-benar aneh. Sahabatnya itu berubah. Lilik
merasa dicuekin dan itu membuatnya kesal apalagi hanya karena bus. Menyebalkan
bukan? Atau
memang ada alasan yang lain? Lilik menebak-nebak. Dia mengernyitkan dahi.
~*~
Sumber Google. |
Mira melirik jam tangannya berkali-kali. Matanya melotot melihat jarum jam
sudah menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh menit lagi. Dia bisa terlambat
kalau seperti ini.
“Huft, kenapa Lilik tidak on time seperti biasa, sih,” rutuk Mira,
sambil menghentakkan kaki beberapa kali.
Kesabaran Mira sudah pada puncaknya. Hampir setengah jam menunggu, Lilik tidak
datang juga. Tidak mau terlambat, dia pun memutuskan naik bus. Di kelas, dia
baru tahu Lilik terserang typus dan dirawat di rumah sakit Kartini
Jepara, ketika Bu Nisa mengabsen
kehadiran siswa. Dia sangat syok dan merasa bersalah karena tadi marah-marah.
Sejak hari itu, Mira pun naik bus untuk
pulang pergi ke sekolah. Awalnya dia sangat tidak suka berada di bus. Berjubel
dengan penumpang lain. Kadang tidak dapat tempat duduk hingga harus berdiri
lama. Belum lagi bau keringat yang menyengat di mana-mana. Itu sangat
menyebalkan. Ditambah trauma masa lalu yang membuatnya tidak suka naik bus.
Tapi sejak itu pula, naik bus kini menjadi sangat menarik, apalagi naik bus
Bidadari.
~*~
“Kalau tidak marah
kenapa tidak mau bareng lagi?” protes Lilik sambil melipat tangan.
“Kan tadi aku sudah bilang, Lik. Aku mau suasana baru.” Mira memamerkan
senyum manis.
“Benarkah? Kamu sudah tidak trauma memang?” selidik Lilik. Dulu Mira
pernah membeberkan masa lalunya ketika naik bus pertama kali saat masuk SMP.
“Masih sih, sedikit.
Tapi ...,” Mira tak melanjutkan ucapannya. Dia malah menatap kosong entah ke
mana.
Mira teringat ketika naik
bus pertama kali itu, ketika kakaknya tak bisa menjemput ke sekolah
karena ada suatu kendala. Mau tak mau Mira naik bus. Di sana dia berdesak-desakan
dengan banyaknya penumpang. Ketika
sampai di rumah, dia baru sadar, dompet dan handphone-nya hilang.
Padahal sudah susah payah dia menabung yang rencananya akan dibuat membeli
novel.
“Ich, malah melamun,” protes Lilik sambil
menyenggol lengan Mira yang bertopang dagu.
Lilik merasa sepi, sejak
mereka tidak bersama lagi. Tidak ada obrolan; cerita ketika perjalanan. Padahal
biasanya selalu saja ada topik seru yang dibahas.
“Kalau penasaran, kamu sekali-kali ikut aku naik bus saja,” usul Mira,
membuyarkan pikiran Lilik.
Lilik diam, nampak
berpikir. “Bagaimana mau tidak?” tawar Mira.
Sebenarnya Mira senang ditawari bareng Lilik. Uang sakunya bisa ditabung untuk
membeli novel baru, tapi ..., jika dia tidak naik bus Bidadari, ada sesuatu
yang kurang. Lagipula tidak enak nebeng terus.
“Aku
pikir-pikir dulu, deh. Sekarang ngantin, yuk,” tawar Lilik mengalihkan
pembicaraan. Kalau ini Mira langsung mengiyakan. Satu porsi nasi pecel buatan
Mbak Sri dan es teh bisa sedikit menambah konsentrasi untuk pelajaran setelah
istirahat pertama.
Sampai di kantin mereka malah melihat kehebohan gara-gara
anak baru. Lilik yang memang baru masuk
setelah dua minggu absen, tentu saja
bingung. Dia menuntut Mira untuk menjelaskan, sambil membahas tentang
gagalnya rencana Mira yang dulu mau main ke rumah Lilik sebelum gadis itu
sakit.
“Nah, itu orangnya.” Mira memberi kode Lilik untuk menengok ke belakang agar
melihat Malvin yang tengah ramai jadi perbincangan.
Sesaat
sepasang mata itu saling beradu pandang. Mira yang sedari tadi memerhatikan,
langsung tahu perubahan sikap Lilik setelah melihat Malvin. Ada apa dengan
sahabatnya? Lebih aneh lagi, keesokan harinya, Lilik bilang mau ikut mencoba
naik bus seperti yang Mira lakukan, setelah tahu anak baru itu suka naik
bus Bidadari seperti Mira.
~*~
Saat
sudah naik bus Bidadari, seperti yang dikatakan Mira, Malvin akan duduk di
bangku pojok belakang. Segera Lilik mendekati dan langsung mendominasi
percakapan dengan Malvin. Mira lebih banyak diam sambil membaca novel.
Sebenarnya dia agak cemburu. Sebelumnya dia yang sering mengobrol dengan Malvin
di bus ini. Tapi hari itu, dia seolah dilupakan.
Mira turun dengan wajah mendung. Hari ini tidak semenenarik hari-hari yang
lalu. Dengan alasan ada tugas piket, Mira berpamitan untuk ke kelas lebih dulu.
“Oke, yang bersih, ya. Kita ketemuan di kelas,” ucap Lilik santai.
Tahu begini dia tidak seharusnya cerita pada Lilik. Sahabatnya itu memang
sangat cantik. Dan sangat pantas jika semua orang langsung suka padanya.
“Mir! Aku mau cerita nih, tentang Malvin,” ucap Lilik ketika sampai di kelas.
Jantung Mira langsung terasa nyeri. “Kayaknya nanti saja, deh Lik. Tuh Bu Indah
sudah masuk kelas.” Mira bernapas lega. Dia belum siap. Walaupun pada akhirnya
harus mempersiapkan diri juga dengan kenyataan yang ada.
Semua orang tahu kecantikan Lilik, Mira merasa tidak sebanding dengan
sahabatnya itu. Dia hanyalah murid kutubuku yang cupu.
“Baiklah. Nanti ketika istirahat, ya,” ucap Lilik sambil mengerling.
Namun, saat istirahat. Mira cepat-cepat pergi ke perpustakaan. Dia sengaja
menghindari Lilik. Setidaknya itu bisa meredam kemarahannnya sekarang. Marah
karena sosok yang dikenalnya lebih dulu, ternyata lebih suka dengan Lilik.
“Sudah aku duga,
kamu pasti di sini.” Tiba-tiba Lilik sudah ada di depannya. Membuat jantung Mira
hampir copot.
“Dari tadi aku nyariin kamu tahu, kamu kan janji mau mendengarkan ceritaku.” Tanpa
menunggu persetujuan Mira, Lilik langsung bercerita dengan antusias hingga Mira
hanya bisa bungkam dengan wajah pucat pasi.
“Jadi gini, Mir ...,” Lilik berbicara seperti kereta yang tidak dapat disela, “nanti
malam Malvin rencananya mau ngajak kamu jalan. Kamu mau, kan? Mumpung malam
minggu. Kan sudah lama tuh dia pengen kenal kamu. Tapi, gara-gara aku sakit,
gagal deh, rencana mengenalkan kalian. Kamu ingat, kan? Pas aku bilang punya
saudara yang pengen kenal kamu dan mau pindah sekolah yang sama dengan kita.
Yah, Malvin itu orangnya. Tak kusangka kalian sudah kenal tak sengaja gara-gara
naik bus yang sama.
“Aku tahu, sih. Kalau kamu sedari tadi ngindar, karena cemburu. Tapi kubiarkan
saja. Aku sengaja kali, itu membalasmu yang sempat buatku cemburu karena kamu
lebih suka naik bus dari pada bonceng aku. Ha-ha-ha.” Lilik menutup mulut lupa
kalau sedang ada di perpustakaan. Wajah Mira langsung memerah, tubuhnya membeku
seketika.
Tak
jauh dari sana nampak Malvin yang tengah tersenyum menatapnya. Membuat
jantungnya berdetak tak terkira. Bodoh sekali dia sempat cemburu pada
sahabat yang sangat baik hati padanya. Mira sungguh malu.
Srobyong,
24 Mei 2016
Analisa Medan, Minggu 14 Agustus 2016 |
Asek... Ini mah cerita yang emang marak dan sering terjadi sama anak muda-mudi mbak..
ReplyDeletecakep pengemasan ceritanya mba (y)
Sulit ditebak konfliknya pas awal mbacanya he wkwkwkwk
Hhheh. Makasih Rohma, ini berkat bantuan teman-teman baw yang mau banting naskah ini dulu. Jadi bisa polas poles sebelum kirim :D
Delete