Thursday, 4 August 2016

[Resensi] Mengenal Reog dan Tari Jathil Melalui Novel


Judul               : Interval
Penulis             : Diasya Kurnia
Penyunting      : Ainini
Penerbit           : Ping, Diva Press
Cetekan           : Pertama, Februari 2016
Halaman          : 176 hlm
ISBN               : 978-602-391-058-5
Peresensi         : Ratnani Latifah, penikmat buku dan literasi alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara

Membaca novel ini, akan mengingatkan kita  tentang seni budaya reog yang berasal dari Jawa Timur bagian barat-laut dan Ponorogo yang dianggap sebagai kota asal kesenian reog. Dalam wikipedia reog sendiri adalah salah satu budaya daerah di Indonesia yang masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik dan ilmu kebatinan yang kuat. Namun seiring berjalannya waktu, seni budaya ini pun mulai dilupakan sebagaimana seni budaya lain di Indonesia. Sebuah kenyataan yang membuat miris. Bahkan sempat tersiar Reog Ponorogo malah dikalim sebagai seni budaya Malaysia.

Kisah berawal dari Kinanti seorang gadis SMA yang juga menjadi penari jathil—penari yang menunggang kuda kepang yaitu kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu dan dicat menyerupai kuda di pertujukan tari reog sebagai gambarana pasukan berkuda. (hal. 14)  Sejak kecil Kinanti memang sangat suka menari yang kemudian dari profesi itu dia bisa melanjutkan sekolah hingga SMA.  Mengingat sejak kecil dia hanya dirawat sang kakek yang hanya bekerja sebagai senima pembuatan topeng Bujang Ganong.

Tapi ternyata, pekerjaan yang digeluti Kinanti itu malah membuat dirinya dicap sebagai gadis yang tidak baik dan diperlakukan tidak adil.  Mengingat sebagai penari jathil lekat dengan status sebagai perempuan penggoda. Padahal tentu saja hal itu tidak benar. Kinanti sungguh miris, jika semua orang berpikir seperti itu, maka jathil akan segera lenyap karena tidak diminati generasi penerus. Karena itulah, Kinanti bertekad menunjukkan bahwa penari jathil itu bukan seperti sangkaan kebanyakan orang.   (hal. 16)

Namun tentu saja itu tidak semudah membalik telapak tangan. Apalagi di sekolah Kinanti dijauhi teman-temannya. Hanya Rey—satu-satunya sahabat yang dimiliknya yang juga seorang penari jathil. Rey pula yang selalu mendukung Kinanti agar menjadi seorang yang kuat.  Tapi dari lubuh hati yang paling dalam tentu saja Kinanti berharap orang-orang tidak memandang sebelah para penari jathil dan berusaha untuk menghidupkan seni Reog Ponorogo.

“Aku sendiri merasa sedih karena tak ada lagi yang akan meneruskan budaya leluhur kota ini. Mungkin, di tempat lain, banyak gadis yang tertarik belajar tarian budaya. Tapi, di sini malah tergerus oleh perkembangan zaman. Aku sangat berharap cara pandang masyarakat berubah dan ada gerak pemerintah untuk menyelamatkan warisan ini.” (hal. 168)

Selain mengangkat teman lokalitas, novel ini juga diramu dengan romance yang cukup kental. Tentang kisah cinta Kinanti yang cukup berliku dengan kejutan-kejutan yang dibuat penulis.   Pernah mencintai Dimas secara diam-diam, juga mencintai Carl—guru bahasa Ingrisnya. Dan ternyata ada seseorang yang diam-diam menyukai Kinanti. Tidak ketinggalan juga ramuan kisah tentang persahabatan antara Kinanti dan Rey yang sangat kental.  Serta usaha  Kinanti dalam pencarian kedua orangtuanya yang ternyata berada di Ner York. Dia sungguh ingin tahu alasan kenapa dia ditinggalkan dan dirawat sang kakek.

Diceritakan dengan gaya bahasa yang cukup mengasyikkan sehingga mudah dicerna. Tema lokaliatas dan lika-liku cerita menjadi daya tarik sendiri—menjadi pemicu untuk menamatkan kisah dari novel ini. Hanya saja, pada beberepa bagian novel ini kurang runtut dan terkesan lonta-loncat. Dan sedikit kurang eksplorasi dalam maasalah reog ataupun jathil.

Lepas dari kekuarangnnya, bagi penikmat buku, novel ini tetap asyik dibaca. Ada beberapa pesan yang bisa diambil pelajaran dari novel ini.  Seperti anjuran untuk mencintai seni budaya “Kata Pak Rengga, mencintai seni itu harus dari hati.” (hal. 16) Berusaha untuk melestarikan budaya yang hamir punah.  Atau mengajarkan agar menjadi pribadi yang tidak mudah menyerah dalam segala situasi. Serta sikap toleransi jika ada perbedaan pendapat.


Srobyong, 5 Juli 2016

Ini naskah asli ketika mengirim ke redaksi. Namun pada pemuatannya ada  beberapa pemotongan juga editing pada judul. ^_^ 


Dimuat di Radar Surabaya, Minggu 31 Juli 2016 


No comments:

Post a Comment