Judul : Interval
Penulis : Diasya Kurnia
Penyunting
: Ainini
Penerbit : Ping, Diva Press
Cetekan : Pertama, Februari 2016
Halaman : 176 hlm
ISBN : 978-602-391-058-5
Peresensi : Ratnani Latifah, penikmat buku dan
literasi alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara
Membaca novel ini, akan mengingatkan
kita tentang seni budaya reog yang
berasal dari Jawa Timur bagian barat-laut dan Ponorogo yang dianggap sebagai
kota asal kesenian reog. Dalam wikipedia reog sendiri adalah salah satu budaya
daerah di Indonesia yang masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik
dan ilmu kebatinan yang kuat. Namun seiring berjalannya waktu, seni budaya ini
pun mulai dilupakan sebagaimana seni budaya lain di Indonesia. Sebuah kenyataan
yang membuat miris. Bahkan sempat tersiar Reog Ponorogo malah dikalim sebagai
seni budaya Malaysia.
Kisah berawal dari Kinanti seorang
gadis SMA yang juga menjadi penari jathil—penari yang menunggang kuda
kepang yaitu kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu dan dicat menyerupai
kuda di pertujukan tari reog sebagai gambarana pasukan berkuda. (hal. 14) Sejak kecil Kinanti memang sangat suka menari
yang kemudian dari profesi itu dia bisa melanjutkan sekolah hingga SMA. Mengingat sejak kecil dia hanya dirawat sang
kakek yang hanya bekerja sebagai senima pembuatan topeng Bujang Ganong.
Tapi ternyata, pekerjaan yang
digeluti Kinanti itu malah membuat dirinya dicap sebagai gadis yang tidak baik
dan diperlakukan tidak adil. Mengingat
sebagai penari jathil lekat dengan status sebagai perempuan penggoda.
Padahal tentu saja hal itu tidak benar. Kinanti sungguh miris, jika semua orang
berpikir seperti itu, maka jathil akan segera lenyap karena tidak diminati
generasi penerus. Karena itulah, Kinanti bertekad menunjukkan bahwa penari jathil
itu bukan seperti sangkaan kebanyakan orang. (hal. 16)
Namun tentu saja itu tidak semudah
membalik telapak tangan. Apalagi di sekolah Kinanti dijauhi teman-temannya.
Hanya Rey—satu-satunya sahabat yang dimiliknya yang juga seorang penari jathil.
Rey pula yang selalu mendukung
Kinanti agar menjadi seorang yang kuat.
Tapi dari lubuh hati yang paling dalam tentu saja Kinanti berharap
orang-orang tidak memandang sebelah para penari jathil dan berusaha untuk
menghidupkan seni Reog Ponorogo.
“Aku
sendiri merasa sedih karena tak ada lagi yang akan meneruskan budaya leluhur
kota ini. Mungkin, di tempat lain, banyak gadis yang tertarik belajar tarian
budaya. Tapi, di sini malah tergerus oleh perkembangan zaman. Aku sangat
berharap cara pandang masyarakat berubah dan ada gerak pemerintah untuk
menyelamatkan warisan ini.” (hal. 168)
Selain
mengangkat teman lokalitas, novel ini juga diramu dengan romance yang cukup kental. Tentang kisah cinta
Kinanti yang cukup berliku dengan kejutan-kejutan yang dibuat penulis. Pernah
mencintai Dimas secara diam-diam, juga mencintai Carl—guru bahasa Ingrisnya.
Dan ternyata ada seseorang yang diam-diam menyukai Kinanti. Tidak ketinggalan
juga ramuan kisah tentang persahabatan antara Kinanti dan Rey yang sangat
kental. Serta usaha Kinanti dalam pencarian kedua orangtuanya
yang ternyata berada di Ner York. Dia sungguh ingin tahu alasan kenapa dia ditinggalkan
dan dirawat sang kakek.
Diceritakan
dengan gaya bahasa yang cukup mengasyikkan sehingga mudah dicerna. Tema
lokaliatas dan lika-liku cerita menjadi daya tarik sendiri—menjadi pemicu untuk
menamatkan kisah dari novel ini. Hanya saja, pada beberepa bagian novel ini kurang
runtut dan terkesan lonta-loncat. Dan sedikit kurang eksplorasi dalam maasalah
reog ataupun jathil.
Lepas
dari kekuarangnnya, bagi penikmat buku, novel ini tetap asyik dibaca. Ada beberapa
pesan yang bisa diambil pelajaran dari novel ini. Seperti anjuran untuk mencintai seni budaya
“Kata Pak Rengga, mencintai seni itu harus dari hati.” (hal. 16) Berusaha untuk
melestarikan budaya yang hamir punah.
Atau mengajarkan agar menjadi pribadi yang tidak mudah menyerah dalam
segala situasi. Serta sikap toleransi jika ada perbedaan pendapat.
Srobyong,
5 Juli 2016
Ini naskah asli ketika
mengirim ke redaksi. Namun pada pemuatannya ada beberapa pemotongan juga
editing pada judul. ^_^
Dimuat di Radar Surabaya, Minggu 31 Juli 2016 |
No comments:
Post a Comment