Judul : Meniti Cahaya
Penulis : Irene Dyah, dkk
Editor : Gita Savitri
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, September 2015
Halaman : vii + 227 hlm
ISBN` :978-602-03-1929-2
Peresensi : Ratnani Latifah, penikmat buku dan literasi almuni Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara
Bisa merayakan hari raya Idul
Fitri di negara sendiri bersama keluarga
besar sudah pasti menjadi momen yang sangat dinantikan. Meminta maaf pada orangtua, menikmati makanan khas lebaran
dan berbagai kegiatan lain yang menyenangkan.
Namun, ternyata tak semua orang bisa melakukan ritual tersebut. Apalagi jika bermukim di luar negeri yang
tidak memungkinkan untuk pulang kekampung halaman. Lalu bagaimana rasanya
melewati lebaran di tempat nan jauh?
Buku ini merupakan kisah nyata dari
delapan muslimah yang harus bermukim di luar negeri—Perancis, Spanyol, Kuwait,
Thailand, Jepang, Korea, Australia dan Amerika Serikat. Mengisahkan tentang kekhawtiran mereka yang
harus menjalani hidup baru sebagai kaum minoritas. Namun juga harus tetap
berpegang teguh sebagai muslimah yang baik.
Salah satunya adalah tentang perayaan
Idul Fitri yang jauh dari
keluarga besar.
Sebagaimana yang dipaparkan Alfi
yang harus bermukim di Prancis, bahwa
muslimah di sana jumlahnya tidak begitu banyak dan terbagi dari beberapa
komunitas. Terkotak-kotak dari asal usul negara. Namun yang sangat disyukuri
Alfi adalah label komunitas itu terhapus ketika shalat Idul Fitri. Meski tidak
semudah itu membangun (meskipun bukan secara fisik) masjid di Prancis.
Dan Alfi bersyukur bisa melakukan shalat
Idul Fitri di Konsulat Jenderal Marseille bersama penduduk Indonesia lain yang
tidak cukup banyak. Di sana dia bisa silaturahim dengan saudara sebangsa sambil
menikmati hidangan khas Indonesia yang disiapkan oleh staf konsulat. Di mana hal itu bisa sedikit mengurangi akan
kerinduan pada kampung halaman dan keluarga besarnya. (hal. 15)
Atau kisah Anne yang tinggal di
Spanyol. Dia pernah berpuasa selama 18 jam pada bulan Ramadhan. Dan
melaksanakan shalat Id di Kedutaan Besar RI dan suaminya harus izin terlambat
ke kantor setelah shalat Id, karena kebetulan kala itu Idul Fitri jatuh pada
hari senin. Untungnya untuk sekolah anak-anak masih libur karena bertepatan
dengan liburan musim panas. Di sana
tentu tidak seperti di Indonesia yang menjadikan Idul Fitri sebagai libur
nasional. Namun, hal yang disyukuri Anne adalah, dia bisa bersilaturahmi dengan
warga Indonesia yang tinggal di negara itu. Juga berkenalan dengan Dubes RI
untuk Spanyol juga staf KBRI lainnya. (hal. 44-45)
Ada juga kisah yang dipaparkan Indah
yang bermukim di Australia. Dia melakukan shalat Id yang berlokasi di gedung
olahraga kampus yang disewa khusus dari pagi sampai siang. Karena setelah melakukan shalat Id, ada juga
acara kumpul bersama sambil menikmati santapan khas lebaran ala Indonesia. (hal. 177)
Tidak kalah menyetuh adalah kisah
Vika yang tinggal di Amerika. Betapa dia merasa sedih dan sepi. Karena dia
tidak bisa mendengarkan gema takbir di setiap sudut kota selayaknya ketika dia
tinggal di Indonesia. Bahkan ketika dia mengunjungi Islamic Center of Rochester, dia tidak
menemukan wajah-wajah melayu untuk
menghibur hatinya. Di sana lebih banyak
berasal dari Asia Selatan, seperti Bangladesh, India dan Pakistan. Namun
Vika sedikit terhibur ketika menelepon ibunya di Indonesia dan menceritakan
semua yang dia rasakan. Juga tetap bersyukur karena bisa merayakan idul fitri
dengan suaminya setelah lama berpisah. (hal. 223)
Selain membahas tentang pengalaman
mereka yang harus melalui Idul Fitri jauh dari keluarga. Ada juga kisah-kisah
lain yang tidak kalah inspiratif yang akan membuat kita ternyuh. Bahwa tinggal di tempat yang jauh dari kampung
halaman membuat mereka semakin
menghargai tentang arti penting keimanan dan semakin memperbaiki
kualitas diri. Serta membuat mereka
memiliki semangat yang sama. Ukhuwah lintas ikatan darah, lintas suku, bahkan
lintas mazhab. Betapa indahnya persaudaraan dalam ikatan iman dan dalam lingkaran
jemaah yang sama-sama mencintai Islam.
Beberapa kekhawatiran lain yang
sempat ditakuti, semisal tentang masalah pandangan penduduk tentang Islam,
makan halal dan bagaimana mendidik anak-anak tentang Islam pun alhamdulillah
bisa teratasi dengan baik. Ternyata di luar negeri toleransi beragama
benar-benar terjalin dengan baik. Mereka
saling menghormati tidak mendiskriminasi. Sebagaimana yang terjadi Thailand,
Irene memaparkan bahwa bahwa negara itu menjamin penuh kebebasan beragama. Lalu
menurut Arie di Jepang, ternyata orang
Jepang sangat menjaga etika dan perasaan orang lain. Mereka selalu berusaha
untuk saling menghargai, meskipun terdapat perbedaan yang jelas. (hal.
113) atau menurut Fina di Korea. Seorang
penduduk lokal pernah berkata, “Kami mempercayai karma. Keharusan
menghormati orangtua dan senior kami dijunjung tinggi. Berbuat baik juga wajib
diajarkan sejak kecil.” (hal. 154)
Membaca buku ini saya menyadari
bahwa, Islam is easy. Islam itu memudahkan. Tidak pernah mempersulit.
Manusialah yang kadang mempersulit. (hal. 202) Di mana pun berada jika ada niat
dan usaha, kita pasti bisa menjadi muslimah yang baik.
Srobyong, 4 Juli 2016
Dimuat di Radar Sampit, Minggu 10 Juli 2016 |
No comments:
Post a Comment