Judul :
The Secret of Room 403
Penulis : Riawani Elyta
Penerbit : Penerbit Indiva
Cetakan : Pertama, April 2016
Halaman : 272 hlm
ISBN : 978-602-1614-51-8
Perensi : Ratnani Latifah, penyuka buku dan
penikmat literasi, Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara.
Novel The Secret of Room 403
merupakan pemenang harapan pada Lomba Menulis
Indiva (LMNI) 2014. Sebuah novel yang
mengisahkan tentang kisah di balik sebuah
tragedi tanjung berdarah 1984,
perjalanan seorang penulis serta sebuah ambisi dan intrik dalam politik. Kisah ini diceritakan dengan dua latar
berbeda—dimulai antara 1984 dan 2013 secara bergantian. Membuat novel ini
terasa unik dan memikat.
Kisah dimulai dengan terpilihnya Alif menjadi penulis yang
dipercaya untuk menulis biografis dari sosok militer—ayah dari mentri yang
mencalonkan diri menjadi presiden pada ajang
pilpres tahun depan. Martin—orang kepercayaan sang mentri, memberikan mendapat
bundelan yang lembar-lembar kertasnya mulai menguning kepada Alif. Bundelan itu berisi semua referensi yang
dibutuhkan selama menulis naskah biografi. (hal. 41)
Setelah menerima bundelan itu, Alif pun mulai membaca,
sehingga latar waktu cerita membuat pembaca menengok pada tahun 1984.
Diceritakan pada tanggal 12 September 1984
terjadi tragedi berdarah di
Tanjung Tritis. Aparat tanpa pandang bulu menodongkan senjata sehingga
banyak warga yang tumbang. Salah satu korban itu adalah Husein Abdul Rahman. Tapi
siapa sangka ternyata Husein selamat
dari kejadian nahas itu. Hanya saja dia tidak bisa lagi kembali ke kehidupannya
yang dulu. (hal. 139) Dia meninggalkan
tanah air dengan membawa identitas baru dari sang penolong—Rusydi.
Kembali pada keadaan Alif. Demi mendapat ketenangan dalam
menyelesaikan tulisannya, Alif memutuskan berlibur ke Tanjungpinang. Lagipula
selama ini dia memang sudah terlalu terkungkung dengan rutinitas kerja yang
tidak ada batasnya. Di sana dia bertemu dengan Revi. Gadis yang kemudian
menjadi teman perjalanan dalam menjelajahi seluk beluk Tanjungpinang.
Pada mulanya semua rencana Alif berjalan lancar—berlibur dan
menulis di malam hari. Tapi pada suatu hari dia menyadari benda bundelan yang
paling penting itu hilang. (hal. 191) Dan ketika dia menemukan lagi bundelan
itu, Alif menerima sebuah kenyataan yang tidak terduga. Bagaimana mungkin
tulisan dalam bundelan itu mirip tulisan almarhum ayah Revi? (hal. 196)
Tidak hanya terkejut pada kenyataan itu, dalam keadaan
bingung untuk menyelesaikan tulisan, Alif membolak-balik terus bundelan itu.
Siapa tahu dengan begitu dia akan menemukan ilham lagi. Alih-laih menemukan
ilham, dia malah menemukan tulisan kamar 403 dan rangkaian kata sebuah nama.
(hal. 204)
Merasa perlu menjawab segala teka-teki itu, Alif memutuskan
untuk meminta permohonan agar bisa bertemu sang menteri. Seperti dugaannya di
tempat sang mentri, Alif melihat kamar 403. Dan ketika dia nekat memasuki
tempat itu, sebuah rahasia yang selama ini tersembunyi akhirnya terkuak. Dan
Alif berharap bisa mengungkap semua kebenaran meski dia tahu
hanya setitik harapan yang dimiliki.
Sebuah novel thriller-historis yang menegangkan, membuat
penasaran, juga sarat makna. Diceritakan dengan gaya bahasa yang memikat, memiliki
keunikan plot dan ending yang tidak terduga. Mengajarkan pada pembaca
bahwa kita harus terus berjuang meski
hanya ada setitik harapan. Namun selain pesan itu, novel ini
juga kental dengan pesan-pesan religi.
Hal ini dilihat dari pergulatan batin Alif setelah membaca bundelan dari
sang menteri.
Semisal tentang ingatan Alif bahwa mendirikan shalat itu
sangat penting. “Shalat itu ibarat tiang agama. Tanpa shalat, agama akan
runtuh.” Atau tentang ingatannya untuk
selalu membaca Al-Quran yang memiliki khasiat hebat—yaitu menghindarkan dari
rabun dan pikun. (hal. 77) Juga khasiat melakukan sujud agak lama saat shalat
yang bisa membuat peredaran darah akan mengalir lebih lancar dan membuat tidak
cepat pusing. (hal. 133) Tak ketinggalan
sebuah pesan untuk selalu bersikap legowo—mau memaafkan, sabar, ikhas dan tidak
menyimpan dendam. “Jangan dendam
dengan orang yang sudah menyakiti kita. Apalagi sampai membalas dengan
perbuatannya dengan perbuatan yang tak kalah buruk. Cukuplah Allah saja yang membalasnya.” (hal. 251)
Srobyong, 6 Juni 2016
Dimuat di Kabar Madura, Senin, 18 Juli 2016 |
gimana ngirim resensi ke koran itu, kak?
ReplyDeleteBaca buku dulu, tulis resensi dan kirim ke media yang dituju.
Delete