Dimuat di Tanjungpinang Pos, Minggu 24 Juli 2016 |
Kazuhana El Ratna Mida
Entah kali
keberapa aku beradu mulut dengan ibu. Tunggu jangan berpikir aku beradu mulut
karena aku tidak sayang pada ibu. Aku bukan kacang yang lupa dengan kulitnya.
Bukan! Malah sebaliknya aku sangat menyayangi perempuan yang berbagi nyawa
denganku. Aku ingin ibu tinggal bersamaku. Hidup dengan damai tanpa perlu kerja
keras. Aku hanya ingin ibu bahagia. Itu
saja. Makanya aku sangat berharap ibu mau memahami keinginanku. Aku tak ingin
ibu tinggal sendirian setelah aku menikah dan bapak juga telah berpulang.
“Ayolah, Bu.
Kali ini saja.” kugenggam tangannya sambil bersimpuh. Tapi sampai detik ini,
ibu tetap pada pendiriannya. Tidak. Ibu
menggeleng kuat.
“Ibu tidak bisa
meninggalkan rumah ini, Ris. Ini adalah nyawa ibu juga.” Begitulah alasan yang
selalu dikemukakan ibu.
“Tapi, Bu, bapak sudah meninggal. Aku ingin ibu hidup
lebih baik.”
“Kamu tahu,
Ris. Tinggal di rumah sendiri adalah pilihan yang terbaik. Ibu tidak apa-apa.
Ibu suka.” Ibu menatapku dengan lembut. Senyumnya ranum membuatku ingin
menangis.
“Tapi bagaimana
dengan warga—,” aku menarik napas, “mereka pasti menganggap aku anak tidak
berbakti yang tega meninggalkan ibunya sendiri di rumah ini. Padahal aku sudah
memiliki rumah lain yang cukup besar yang bisa menampung kita semua.”
“Sudah tidak
usah memikirkan pendapat orang lain.”
Aku menggigit
bibir. Lagi-lagi aku gagal membujuk ibu.
~*~
No comments:
Post a Comment