Judul : Sepotong Senja untuk Pacarku
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan
: Pertama, Februari 2016
Halaman : 208 hlm
ISBN : 978-602-03-1903-2
Peresensi :
Ratnani Latifah, penikmat buku dan literasi almuni Universitas Islam Nahdlatul
Ulama Jepara
Semburat cahaya yang dipancarkan
selalu dicari sebagian orang yang memang sangat tergila-gila pada senja. Karena
konon senja itu bisa memunculkan efek romantis dan eksotis.
Menilik betapa menariknya senja,
Seno Gumira mencoba mengemas senja menjadi cerita yang berbeda.
Kenapa berbeda? Karena senja yang
ditulis Seno adalah senja dalam berbagai pendekatan dan konteks. Mulai dari
gelaja alam kasat mata, sampai genap konstruski struktural dan tematik yang
dimungkinkan oleh subjek bernama senja. Masih merujuk dari kata penulis, “Dari
saat ke saat, memburu senja secara konkret maupun sebagai konsep yang abstrak,
memberikan kepada diri saya suatu ruang-waktu mewah.”
Bedanya lagi, kumpulan cerpen ini
seperti sebuah komposisi yang saling melengkapi. Kumpulan cerpen ini merupakan
cetak ulang cover baru dengan tambahan beberapa cerpen. Sehingga jika pada buku
lawas hanya ada 13 cerpen, maka dalam buku baru ini akan terdiri enam belas
cerpen dan dibagi menjadi tiga bagian;
Trilogi Alina, peselancar Agung dan Atas Nama Senja.
Dibuka dengan Trilogi Alina dengan
cerpen pertama berjudul ‘Sepotong Senja untuk Pacarku’. Dalam cerpen ini diceritakan Sukab sengaja mengirimkan
sepotong senja—dengan angin, debur ombak, matahari terbenam dan cahaya
kemasan—kepada pacarnya, Alina untuk pembuktian cintanya. Karena dia merasa
kata-kata sudah tidak lagi ada gunanya. Sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Kalau
cinta harus berani berkorban dan berjuang dengan tindakan. (hal. 5)
Kala itu Sukab tengah di pantai dan
tiba-tiba melihat senja dan cahaya gemetar dan dia pun jadi teringat dengan
Alina. Lalu dengan cepat memutuskan untuk memotong senja itu dan dikirimkannya.
Sayang, dengan cepat warga menyadari kalau senja telah dicuri oleh Sukab. Pengejaran pun tak terelakkan. Namun dengan
usaha keras Sukab mencoba pergi menjauh agar sepotong senja itu bisa dikirim
pada kekasihnya.
Dilanjutkan cerpen kedua ‘Jawaban
Alina’. (hal. 17) Mengisahkan tentang tanggapan Alina akan usaha keras Sukab
yang dengan keberanian memotong senja dan diberikan padanya. Serta kisah
panjang di balik sampainya paket itu. Lalu, tidak ketingalan cerpen ketiga berjudul
‘Tukang Pos dalam Amplop’ cerpen ini juga tidak kalah menarik dengan
cerpen-cerpen sebelumnya. Karena di sini, akan terungkap kenapa paket dari Sukab bisa terlambat datang sampai
sepuluh tahun lamanya.
Tidak kalah menarik adalah cerpen
berjudul ‘Kunang-Kunang Mandari’ (hal. 67) Perpaduan antara mitos dan keindahan
senja. Menjadikan cerpen ini unik dan asyik untuk dibaca. Bagaimana mungkin
kunang-kunang itu berasal dari potongan kuku orang-orang Mandarin? Bahkan
diternakkan.
Atau kisah ‘Anak-Anak Senja’ (hal.
145) Tentang ketakutan seorang ibu, agar anak-anak kecil jangan sampai mengikuti melihat dan mengikuti anak-anak senja. Karena
konon jika sudah mengikuti anak akan hilang bersama anak-anak senja. Siapakah
anak-anak senja dan apakah hal itu benar adanya?
Cerita-
cerita dalam kumpulan cerpen ini
dipaparkan Seno Gumira dengan sangat piawai. Dari gaya bahasa, plot sampai permaninan
endingnya. Yang lebih membuat
cerpen-cerpen ini menarik adalah, pemilihan judul yang menarik juga pembukaan
cerpen yang memikat, membuat siapa yang membaca tertarik untuk membaca dan
menyelesaikan ceritanya.
Memang
dalam urusan menulis cerpen, Seno Gumira sudah tidak lagi diragukan. Banyak
tulisanya yang sudah dimuat di media cetak. Sebut saja Kompas, Republika, Media
Indonesia, Koran Tempo dan masih banyak lagi. Bahkan untuk Cerpen ‘Sepotong
Senja untuk Pacarku’ berkali-kali dimuat ulang dalam berbagai literatur dan
diterjemahkan pula dalam bahas Inggris.
Bagi penikmat senja dan surealis, buku ini sangat recomended dibaca.
Dari
membaca kumpulan cerpen ini, saya mengambil kesimpulan bahwa cinta kadang
memang memabukkan dan membuat hilang akal. Namun bagaimana kita menyikapi agar
cinta itu tidak menjadi budak dan menyakiti diri sendiri.
Srobyong,
14 Juli 2016
Dimuat di Radar Sampit, Minggu 17 Juli 2016 |
No comments:
Post a Comment