Kazuhana El Ratna Mida
Aku berdiri kokoh sambil
menghela napas. Tangan bersedekap, menyapukan pandangan ke arahnya. Namun, dia
nampak tak peduli dengan kehadiranku. Dia tetap asyik berkutat dengan
kertasnya.
Aku mendekatinya, mencondongkan tubuh agar bisa lebih
dekat. Dia memandangku sebentar. Tersenyum. Hanya sebentar, lalu dia kembali asyik dengan
kertasnya. Ternyata dia menggambar. Dengan lincah dia menggoreskan sapuan
warna. Aku menggigit bibir, menahan gejolak rasa yang mulai menjalar hangat.
Sedih juga terharu.
Kupikir ..., hanya aku yang paling sedih. Merasa kehilangan
dan memendam kerinduan. Menjadi gadis paling malang. Tapi ..., ternyata aku
salah.
Aku masih ingat dengan jelas. Ketika kabar itu sampai di
telinga. Aku hampir roboh. Persendian kakiku lemas. Aku meraung; menjerit.
Kenapa cobaan itu harus aku terima? Katanya jika aku menjadi anak yang baik,
mereka tidak akan meninggalkanku. Mereka akan selalu mendampingi hingga aku
dewasa nanti. Tapi ..., nyatanya apa?
“Yang sabar, ya, La.” Bibi Fatimah mengelus lembut
punggungku. Memeluk aku dalam dekapnya.
“Kenapa ibu dan bapak pergi, Bi?” aku masih tidak terima.
Bayangkan ..., kurang lebih dua bulan terakhir ini, aku
menunggu. Menunggu dengan segenap hati. Merasa tidak sabar untuk menumpahkan
rasa rindu yang selama ini terpisah dengan jarak cinta—bernama perbedaan
negara.
“Mereka bilang hanya sebentar ..., kenapa mereka bohong,
Bi.” Aku terisak.
“La ..., Setiap manusia pasti akan meninggal. Kamu sudah
tahu itu, kan?” Bibi Fatimah menatapku.
Aku mengangguk. Yah, guru agamaku di MA—Bu Asiah pernah
menjelaskan tentang itu. Bahkan Ustad di musala. “Anak-anak, setiap makhluk
hidup akan kembali pada Allah. Kematian
adalah rahasia Allah. Kita tidak dapat mempredisikan kapan waktu dan di mana
tempatnya. Kita hanya bertugas untuk mencari bekal, agar bisa diterima di
surga-Nya.”
Aku bahkan ingat tentang anjuran agar tidak bersedih
berlebihan ketika ditinggal keluarga yang meninggal dunia. Karena itu akan
memberatkan amal mereka. “Orang mati
akan tersiksa dalam kubur menutur apa yang dirintihkan (dikeluhkan) atasanya.”
[1]
“Semua pasti ada hikmahnya. Mereka menyayangi bapak dan
ibu ..., sehingga mereka dijemput dengan segera.” Bibi Fatimah kembeli
memelukku, dan aku makin tergugu meski sudah menahannya.
Yah,siapa yang tidak sedih dan terpukul, ketika tahu hari
di mana harusnya orangtua mereka pulang dan berkumpul dengan keluarga ...,
ternyata telah lebih dipilih untuk kembali pada Yang Esa. Yang pulang adalah
jenazah orang yang paling kusayangi.
Kesedihan menjajahku. Tapi ..., kemudian aku tersadar.
Ketika tatapanku menangkap sosoknya yang asyik dengan kertasnya. Dia tadi
sempat menangis karena aku meraung. Tapi Bibi sudah berhasil menenagkannya.
Kini dia di kamar. Aku menatapnya dengan kecamuk rasa.
Ah, harusnya aku bersyukur, selama ini mungkin aku lebih
beruntung daripada dirinya. Aku mendapat kasih sayang lebih dari cukup
dibanding dia. Aku mendekatinya, duduk di samping kiri.
“Dedek menggambar apa?”
“Melukis Ka’bah, Kak.” Dia menunjukkan padaku.
“Kata Ibu, kalau dedek sudah bisa menggambar setelah
pulang dedek akan diberi hadiah ibu dan bapak,” lanjutnya berucap.
Seketika aku mendekapnya. Erat, mengelus rambut
panjangnya. Dia adikku, si kecil yang masih berusia lima tahun. Aku tergugu.
Srobyong, 23 Agustus 2015.
[1] Hadist Riwayat Bukhari dan Muslima, diambil dari
Riyadus Shalihin karya Salim Bahresi.
Tulisan ini diikutkan dalam GA yang diadakan kaylamubara.blogspot.com bekerja sama dengan LovRinz Publishing. http://kaylamubara.blogspot.com/2015/07/give-away-berhadiah-empat-buku-manis.html.
Ikut kebawa sedihnya ... anak-anak balita seusia Dedek itu jujur dan polos
ReplyDeleteIya Mbak. Lihat anak kecil yang sudah harus ditinggal pergi itu nyeseg
DeleteWaaah, semoga beruntung...
ReplyDeleteAamiin. Pagi-pagi dapat doa. Pasang senyum ^_^
ReplyDelete