Sunday, 23 August 2015

The Pieces of Sadness




Kazuhana El Ratna Mida

            Aku berdiri kokoh sambil menghela napas. Tangan bersedekap, menyapukan pandangan ke arahnya. Namun, dia nampak tak peduli dengan kehadiranku. Dia tetap asyik berkutat dengan kertasnya.

Aku mendekatinya, mencondongkan tubuh agar bisa lebih dekat. Dia memandangku sebentar. Tersenyum. Hanya  sebentar, lalu dia kembali asyik dengan kertasnya. Ternyata dia menggambar. Dengan lincah dia menggoreskan sapuan warna. Aku menggigit bibir, menahan gejolak rasa yang mulai menjalar hangat. Sedih juga terharu.

Kupikir ..., hanya aku yang paling sedih. Merasa kehilangan dan memendam kerinduan. Menjadi gadis paling malang. Tapi ..., ternyata aku salah.

Aku masih ingat dengan jelas. Ketika kabar itu sampai di telinga. Aku hampir roboh. Persendian kakiku lemas. Aku meraung; menjerit. Kenapa cobaan itu harus aku terima? Katanya jika aku menjadi anak yang baik, mereka tidak akan meninggalkanku. Mereka akan selalu mendampingi hingga aku dewasa nanti. Tapi ..., nyatanya apa?

“Yang sabar, ya, La.” Bibi Fatimah mengelus lembut punggungku. Memeluk aku dalam dekapnya.

“Kenapa ibu dan bapak pergi, Bi?” aku masih tidak terima.

Bayangkan ..., kurang lebih dua bulan terakhir ini, aku menunggu. Menunggu dengan segenap hati. Merasa tidak sabar untuk menumpahkan rasa rindu yang selama ini terpisah dengan jarak cinta—bernama perbedaan negara.

“Mereka bilang hanya sebentar ..., kenapa mereka bohong, Bi.” Aku terisak.

“La ..., Setiap manusia pasti akan meninggal. Kamu sudah tahu itu, kan?” Bibi Fatimah menatapku.

Aku mengangguk. Yah, guru agamaku di MA—Bu Asiah pernah menjelaskan tentang itu. Bahkan Ustad di musala. “Anak-anak, setiap makhluk hidup  akan kembali pada Allah. Kematian adalah rahasia Allah. Kita tidak dapat mempredisikan kapan waktu dan di mana tempatnya. Kita hanya bertugas untuk mencari bekal, agar bisa diterima di surga-Nya.”

Aku bahkan ingat tentang anjuran agar tidak bersedih berlebihan ketika ditinggal keluarga yang meninggal dunia. Karena itu akan memberatkan amal mereka.  “Orang mati akan tersiksa dalam kubur menutur apa yang dirintihkan (dikeluhkan) atasanya.” [1] 

“Semua pasti ada hikmahnya. Mereka menyayangi bapak dan ibu ..., sehingga mereka dijemput dengan segera.” Bibi Fatimah kembeli memelukku, dan aku makin tergugu meski sudah menahannya.

Yah,siapa yang tidak sedih dan terpukul, ketika tahu hari di mana harusnya orangtua mereka pulang dan berkumpul dengan keluarga ..., ternyata telah lebih dipilih untuk kembali pada Yang Esa. Yang pulang adalah jenazah orang yang paling kusayangi.

Kesedihan menjajahku. Tapi ..., kemudian aku tersadar. Ketika tatapanku menangkap sosoknya yang asyik dengan kertasnya. Dia tadi sempat menangis karena aku meraung. Tapi Bibi sudah berhasil menenagkannya. Kini dia di kamar. Aku menatapnya dengan kecamuk rasa.

Ah, harusnya aku bersyukur, selama ini mungkin aku lebih beruntung daripada dirinya. Aku mendapat kasih sayang lebih dari cukup dibanding dia. Aku mendekatinya, duduk di samping kiri.

“Dedek menggambar apa?”

“Melukis Ka’bah, Kak.” Dia menunjukkan padaku.

“Kata Ibu, kalau dedek sudah bisa menggambar setelah pulang dedek akan diberi hadiah ibu dan bapak,” lanjutnya berucap.

Seketika aku mendekapnya. Erat, mengelus rambut panjangnya. Dia adikku, si kecil yang masih berusia lima tahun. Aku tergugu.

Srobyong, 23 Agustus 2015.


[1] Hadist Riwayat Bukhari dan Muslima, diambil dari Riyadus Shalihin karya Salim Bahresi.

 Tulisan ini diikutkan dalam GA yang diadakan kaylamubara.blogspot.com bekerja sama dengan LovRinz Publishing. http://kaylamubara.blogspot.com/2015/07/give-away-berhadiah-empat-buku-manis.html


4 comments: