Friday, 28 August 2015

[Review] Mengukur Jiwa Nasionalisme





Kazuhana El Ratna Mida

Judul Buku                  : Karena Aku Tak Buta
Penulis                         : Redy Kuswanto
Penerbit                       : Metamind, Creativ Imprint of Tiga Serangkai
Editor                          : Antik
Cetakan                       : Januari 2015
Halaman                      : 332 + xii
ISBN                           : 978-602-257-107-0

Sebuah buku yang menjadi juara pertama dalam sebuah event lomba menulis novel ‘Seberapa Indonesiakan dirimu?’. Novel apik yang membuat siapa pun yang membaca akan tersentil dan mulai berpikir ulang tentang jiwa ke-Indonesiaanya. “Sudahkan aku menjadi warga baik yang mencintai kebudayaannya negerinya sendiri? Atau aku malah terkunkung dengan budaya barat yang mulai mengkontaminasi” Mungkin itulah pertanyaan yang akan dipertanyakan setelah membaca novel ini.
Novel ini menceritakan tentang tokoh Zad. Anak mertopolitan yang selama ini kurang kasih sayang orangtua, hingga terjerumus pada pergaulan bebas tanpa kendali. Tawuran, menjadi ketua genk remaja dan berbagai kenakalan lainnya. Hal itu membuatnya harus berurusan dengan polisi. Hingga orangtuanya menyadari kekeliruan mereka dan memindahkannya ke Jogja. Yah, katanya untuk sebuah perubahan. Walau ternyata di Jogja pun Zad masih-lah sebebas di Jakarta meski tidak se-ekstrim dulu.  Namun pertemuannya dengan Gendis—gadis sederhana di kampusnya,  dan kunjungannya ke sebuah desa bernama  Ngargomulyo, telah merubah dunianya.

Di desa itu Zad juga bertemu  Mas Gendra dan pak Gio. Dia menemukan sesuatu yang membuatnya terkagum-kagum, tapi juga membuatnya sedih. Merasa kerdil karena karena selama ini dia telah membuang waktunya  dengan sia-sia. Hanya bermain dan nongkrong menghabsikan uang kiriman ayahnya. Ketika Gendis mengenalkan berbagai macam permainan tradisional dia sama sekali tak tahu apa pun. Apalagi tentang festival dolanan di Yogyakarta.

Dia merasa buta. Bagaimana mungkin dia yang anak Indonesia sama sekali tidak tahu akan permaina  tradisional? Gobak sodor, kasti, petak umpet, dakon dan lain sebagainya. Sebagai adak yang besar di kota besar, hal itu sama sekali tidak dikenalkan di sana. Sejak kecil dia hanya mengenal game online. (Halaman 45)

Karena ketidaktahuannya itu, ketika anak-anak kecil di desa Ngargomulyo mengajaknya bermain, dengan sopan Zad menolaknya. Dia harus tersenyum kecut ketika banyak pertanyaan dilontarkan padanya. Bahkan menerirma tatapan aneh anaka-anak yang seolah berkata “Emangnya Mas Zad, bukan orang Indonesia?” Dia sungguh tertohok.

Zad sungguh tersentak. Di desa ini dia sungguh merasa seperti alien.  Masalah permainan tradisional ini sungguh baru baginya. Belum lepas kekegetannya, anak-anak mmenyinggung tentang Museum permainan yang ada di Yogyakarta. Dan parahanya, selama dia kuliah di sana, dia tidak tahu menahu tentang Museum itu. Dia hanya bisa terkagum-kagum ketika Gendis menjelaskan semuanya dengan detail mengenai Museum itu. Dan semakin menyadari bahwa dia sangat buta dengan budaya sendiri sebagai identitas bangsa. (Halaman 60).

Lebih miris lagi ketika dia tahu bahwa penggagas dari Museum itu adalah seorang pria berkebangsaan Belgia. Pria yang bernama Pak Rudi sungguh peduli dengan tradisional dan budaya Indonesia. Dia takut  permainan tradisional mulai menghilang dan menyebabkan anak zaman sekarang yang tidak banyak mengenal sama sekali, (halaman 122)

Zad merasa malu. Dia pun bertekad untuk melakukan sesuatu. Dia tidak mau menutup mata terhadap perjuangan orang-orang yang ingin melestarikan budaya bangsa. Tapi niatnya itu tidak sejalan dengan tiga sahabatnya—Yod, Fya dan Rhean yang lebih suka hidup bermewah-mewah.  Mereka  merasa Zad hanyalah dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu yang berkedok tentang keinginan masalah melestarikan budaya. Bukankah mereka baru kenal? Kenapa Zad harus ikut repot, akan sesuatu yang bukan urusannya. Begitulah pendapat teman-temannya.

Zad merasa terasing. Belum lagi kisah asmaranya dengan Gendis yang terancam bubar karena ulah papanya. Tidak hanya itu, bersamaan waktu, teror kini menghantuinya. Begitu banyak masalah yang harus dihadapinya. Zad tertekan, merasa lelah dan putus harapan. Entah dia sanggup melanjutkan semua janji untuk membantu para relawan itu ..., atau malah angkat tangan.

Novel yang asyik untuk dibaca dan syarat makna. Mengingatkan kita bahwa saat ini masalah budaya apalagi permainan tradisional sudah semakin terkikis, bersama dengan hadirnya permainan game online yang saat ini telah mewabah. Apalagi pas nih di bulan Agustus, ketika negara kita tengah merayakan pesta negara.

Kenyataannya, saat ini anak-anak lebih suka bermain plays stasion, game onlien dari pada main petak umpet atau gobak sodor. Atau bahkan mungkin sudah tidak banyak yang tahu akan permainan itu. Bahkan untuk kalangan remaja hingga dewasa, pun sudah jarang mengenalkan permainan itu. yang disuguhkan memang gadget dan segala permainan moderen.

Novel ini cukup menyentil saya sendiri, menyindir secara halus melalui rentetan ceritanya. Ketika membaca ini, saya hanya bisa tersenyum dan mulai menyadari bahwa saya masih jauh dari jiwa nasionalisme.

Srobyong, 14 Agustus 2015





No comments:

Post a Comment