Kazuhana El Ratna Mida
Judul Buku :
Karena Aku Tak Buta
Penulis :
Redy Kuswanto
Penerbit :
Metamind, Creativ Imprint of Tiga Serangkai
Editor :
Antik
Cetakan :
Januari 2015
Halaman :
332 + xii
ISBN :
978-602-257-107-0
Sebuah buku yang menjadi juara pertama dalam sebuah event lomba menulis
novel ‘Seberapa Indonesiakan dirimu?’. Novel apik yang membuat siapa pun yang
membaca akan tersentil dan mulai berpikir ulang tentang jiwa ke-Indonesiaanya.
“Sudahkan aku menjadi warga baik yang mencintai kebudayaannya negerinya sendiri?
Atau aku malah terkunkung dengan budaya barat yang mulai mengkontaminasi”
Mungkin itulah pertanyaan yang akan dipertanyakan setelah membaca novel ini.
Novel ini menceritakan tentang tokoh Zad. Anak mertopolitan yang selama ini
kurang kasih sayang orangtua, hingga terjerumus pada pergaulan bebas tanpa
kendali. Tawuran, menjadi ketua genk remaja dan berbagai kenakalan lainnya. Hal
itu membuatnya harus berurusan dengan polisi. Hingga orangtuanya menyadari kekeliruan
mereka dan memindahkannya ke Jogja. Yah, katanya untuk sebuah perubahan. Walau
ternyata di Jogja pun Zad masih-lah sebebas di Jakarta meski tidak se-ekstrim
dulu. Namun pertemuannya dengan
Gendis—gadis sederhana di kampusnya, dan
kunjungannya ke sebuah desa bernama
Ngargomulyo, telah merubah dunianya.
Di desa itu Zad juga bertemu Mas
Gendra dan pak Gio. Dia menemukan sesuatu yang membuatnya terkagum-kagum, tapi
juga membuatnya sedih. Merasa kerdil karena karena selama ini dia telah
membuang waktunya dengan sia-sia. Hanya
bermain dan nongkrong menghabsikan uang kiriman ayahnya. Ketika Gendis
mengenalkan berbagai macam permainan tradisional dia sama sekali tak tahu apa
pun. Apalagi tentang festival dolanan di Yogyakarta.
Dia merasa buta. Bagaimana mungkin dia yang anak Indonesia sama sekali
tidak tahu akan permaina tradisional?
Gobak sodor, kasti, petak umpet, dakon dan lain sebagainya. Sebagai adak yang
besar di kota besar, hal itu sama sekali tidak dikenalkan di sana. Sejak kecil
dia hanya mengenal game online. (Halaman 45)
Karena ketidaktahuannya itu, ketika anak-anak kecil di desa Ngargomulyo
mengajaknya bermain, dengan sopan Zad menolaknya. Dia harus tersenyum kecut
ketika banyak pertanyaan dilontarkan padanya. Bahkan menerirma tatapan aneh
anaka-anak yang seolah berkata “Emangnya Mas Zad, bukan orang Indonesia?” Dia
sungguh tertohok.
Zad sungguh tersentak. Di desa ini dia sungguh merasa seperti alien. Masalah permainan tradisional ini sungguh
baru baginya. Belum lepas kekegetannya, anak-anak mmenyinggung tentang Museum
permainan yang ada di Yogyakarta. Dan parahanya, selama dia kuliah di sana, dia
tidak tahu menahu tentang Museum itu. Dia hanya bisa terkagum-kagum ketika
Gendis menjelaskan semuanya dengan detail mengenai Museum itu. Dan semakin
menyadari bahwa dia sangat buta dengan budaya sendiri sebagai identitas bangsa.
(Halaman 60).
Lebih miris lagi ketika dia tahu bahwa penggagas dari Museum itu adalah
seorang pria berkebangsaan Belgia. Pria yang bernama Pak Rudi sungguh peduli
dengan tradisional dan budaya Indonesia. Dia takut permainan tradisional mulai menghilang dan
menyebabkan anak zaman sekarang yang tidak banyak mengenal sama sekali, (halaman
122)
Zad merasa malu. Dia pun bertekad untuk melakukan sesuatu. Dia tidak mau
menutup mata terhadap perjuangan orang-orang yang ingin melestarikan budaya
bangsa. Tapi niatnya itu tidak sejalan dengan tiga sahabatnya—Yod, Fya dan
Rhean yang lebih suka hidup bermewah-mewah.
Mereka merasa Zad hanyalah
dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu yang berkedok tentang keinginan masalah
melestarikan budaya. Bukankah mereka baru kenal? Kenapa Zad harus ikut repot,
akan sesuatu yang bukan urusannya. Begitulah pendapat teman-temannya.
Zad merasa terasing. Belum lagi kisah asmaranya dengan Gendis yang terancam
bubar karena ulah papanya. Tidak hanya itu, bersamaan waktu, teror kini
menghantuinya. Begitu banyak masalah yang harus dihadapinya. Zad tertekan,
merasa lelah dan putus harapan. Entah dia sanggup melanjutkan semua janji untuk
membantu para relawan itu ..., atau malah angkat tangan.
Novel yang asyik untuk dibaca dan syarat makna. Mengingatkan kita bahwa
saat ini masalah budaya apalagi permainan tradisional sudah semakin terkikis, bersama
dengan hadirnya permainan game online yang saat ini telah mewabah. Apalagi pas
nih di bulan Agustus, ketika negara kita tengah merayakan pesta negara.
Kenyataannya, saat ini anak-anak lebih suka bermain plays stasion, game
onlien dari pada main petak umpet atau gobak sodor. Atau bahkan mungkin sudah
tidak banyak yang tahu akan permainan itu. Bahkan untuk kalangan remaja hingga
dewasa, pun sudah jarang mengenalkan permainan itu. yang disuguhkan memang
gadget dan segala permainan moderen.
Novel ini cukup menyentil saya sendiri, menyindir secara halus melalui
rentetan ceritanya. Ketika membaca ini, saya hanya bisa tersenyum dan mulai
menyadari bahwa saya masih jauh dari jiwa nasionalisme.
Srobyong, 14 Agustus 2015
No comments:
Post a Comment