Marni masih ingat benar ketika dia memutuskan menikah dengan Burhan.
Pernikahan yang sejatinya memang sangat dia tunggu namun penuh
kontroversi. Bagaimana tidak, sebagian keluarga menentang pernikahan
ini. Padahal Marni pikir, kekhawatiran keluarganya terlalu berlebih.
Hanya karena sebuah adat budaya yang sudah mendarah daging. Orang
menyebutnya ‘Melangkahi lautan darah’ ini berdasarkan perhitungan
primbon; weton [1] yang dimiliki. Di daerah tempat tinggal Marni,
hitungan weton sebelum pernikahan masih sangat dipercaya. Juga karena
alasan yang menikah sama-sama anak pertama itu tidak baik. Sungguh picik
bukan? Padahal sekarang mereka sudah hidup dengan berpegang pada
Islam. Tapi adat jawa masih menjadi panutan.
Namun, bukan Marni
kalau tidak mencoba mempertahankan Burhan yang sudah lama sangat
dicintainya. Yah, meski ada desas-desus tidak enak mereka akhirnya tetap
melaksanakan pernikahan yang sudah disusun sedemikian rupa. Menyerahkan
semua pada Allah. Marni maupun Burhan membujuk kedua orang tua mereka
untuk mengerti kepercayaan mereka.
Hari itu pun menjadi
kebahagiaan yang tak terkira bagi Marni atau Burhan. Cinta mereka yang
telah membuncah akhirnya dapat dipersatukan.
“Alhamdulillah, ya,
Mas. Akhirnya semua terlaksana,” ucap Marni penuh syukur, ketika mereka
sudah melalui segala proses yang cukup rumit.
“Tapi, Mas masak
tadi pas aku memakai gaun pengantin, tiba-tiba gaun itu sobek. Nah,
mereka bilang itu pertanda buruk. Aku takut—,” Marni tak meneruskan
ucapannya.
“Hanya sebuah mitos, Dek. Bukankan kita sudah
menundukkan satu? Insya Allah semua baik-baik saja jika kita hanya
percaya pada Allah.”
Mendengar ucapan suaminya Marni merasa
tenang. Yah, suaminya memang tak terlalu percaya mitos atau adat-adat
yang nyleneh menurut pandangannya. Hanya Allah-lah yang Maha Tahu
segalanya. Terlepas dari semuanya. Kenapa harus takut pada adat jika
masih ada Allah?
~*~
“Ibu melamun? Ingat almarhum bapak, ya?” Nunik anak sulung Marni menepuk halus pundaknya.
“Iya, Nduk. Ibu kangen sama bapak. Kangen wejangan-wejangan [2] yang diberikan.”
Yah, betapa dulu semua begitu mudah tidak seperti sekarang. Ketika
Burhan masih hidup, Marni tak perlu banting tulang. Namun, Tuhan telah
berkehendak lain. Burhan telah berpulang karena mengalami kecelakaan
setelah pulang mengajar.
Sedih, dan seolah putus asa. Mereka
baru saja memiliki momongan baru. Merintis usaha bersama demi pendidikan
anak-anak. Tapi ..., kenapa?
Selentingan-selentingan pun
terdengar tentang pernihakan Marni dan Burhan. Di mana mereka tetap
melangsungkan pernikahan yang sejatinya pamali menurut sebagian warga.
Karena mereka telah menentang budaya adat yang pernah ada.
“Itu-lah akibatnya, Mar, kalau melawan adat. Pernikahanmu tak bertahan lama. Tuh buktinya suamimu meninggal dunia.”
“Oh, iya. Bukankah pas nikah gaun pengantinmu juga sobek, kan? Itu juga pertanda, Mar.” Asih berkomentar.
“Kamu sih, nggak mau dengerin saran orang tua. Kan, jadinya kualat,[3]” seloroh Asih lagi.
Marni hanya diam sambil memikirkan semua perkataan Asih.
“Coba dulu, kamu mau menikah dengan Hadi, hidupmu enak. Dadi wong sugeh rak usah rekoso.” [4]
Setelah ucapan panjang lebar Asih sudah mentok berhenti, kini Marni angkat suara.
“Aku tidak pernah menyesal, Sih, aku senang bisa menikah dengan Mas
Burhan. Yah, meski hidup sederhana tak terlalu mewah.” Lalu Marni
menghela napas.
“Masalah jodoh dan mati, kupikir itu kehendak
Allah. Kita tidak lantas mempercayai adat-adat budaya yang kadang hanya
sekadar mitos belaka. Kita punya Allah kenapa kita tidak berserah
pada-Nya?”
Marni mencoba menjelaskan pada Asih sama persis
dengan penjelasan yang selalu Burhan katakan ketika dia takut.
Beruntunglah dia yang bisa mengenal Burhan. Sosok yang penuh wibawa dan
memegang teguh agama.
Kalaupun sekarang dia harus banting tulang
untuk mengepulkan asap dapur dan biaya sekolah dua anaknya. Marni rela.
Dia ikhlas menggantikan tugas suaminya yang telah menitipkan amanah
untuk membesarkan dua pelita yang semoga bisa membanggakan orang tua. Tak hanya pintar tapi juga berbakti menjadi anak salihah.
~*~
“Ich, ibu melamun, lagi,” protes Nunik gemas lalu memegang tangan ibunya.
“’Maaf, Nduk. Kalau mengingat tentang bapakmu memang bisa lupa waktu.” Marni terkekeh.
“Ibu sangat mencintai bapak, ya?” tanya Nunik.
“Lho, iya to, Nduk. Kalau nggak cinta mana ada kamu dan Rian.”
"Jadi karena itu ibu tak mau menikah lagi?" tanya Nunik hati-hati.
Nunik pernah dengar ibunya itu sangat cantik. ketika bapaknya meninggal banyak yang berlomba untuk meminang janda kembang itu . tapi ibunya--Marni selalu menolak dengan alasan ingin merawat anak-anak Burhan dengan jerih payahnya sendiri. Ditambah dia memang belum bisa berpaling dari Burhan. Lima tahun cukup baginya untuk bermanja dengan Burhan. Selebihnya dia rela banting tulang. Yah, bahkan hingga sekarang.
"Begitulah, Nik. Ibu tidak mau mengkhianati bapakmu. Cukup kalian saja, sebagai penggantinya."
Nunik semakin bangga pada ibunya.
“Wah, kayaknya ada yang seru. Rian ketinggalan, ya, Bu.” Rian yang baru datang langsung ikut bergabung.
Marni menyambut putra keduanya yang sudah masuk kelas tiga aliyah. Betapa dia senang bisa berdiri tegak sampai sekarang untuk menyekolaahkan keduanya. Nunik yang saat ini sudah kuliah dan memaski semester tiga.
Syukur Marni pada Allah sungguh tak terkira. Bermodal uang peninggalan suami yang tak seberapa, dia mencoba melanjutkan usaha dagang yaang mereka rintis bersama. Alhamddulillah, pengetahuannya tentang mengatur uang bisa dimanfaatkan dalam bisnis dagang.
Meski sempat beberapakali memakan kerugian karena dia kurang pengalaman. Allah selalu ada untuk memberi pertolongan. Untuk anak, Marni rela berkorban apa saja, agar mereka memperoleh pendidikan yang layak.
Srobyong, 19 April 2015.
[1] weton = hari lahir seseorang berdasarkan pasarnya.
perhitungan weton di daerah Jepara masih sangat kental dipercaya. Adat budaya itu masih berkembang hinga sekarang. Kalau mau menetukan cocok tidaknya pasangan masih menjadi pegangan kuat. Juga untuk menentukan hari yang baik.
[2] wejangan = nasihat
[3] kualat = mendapat bencana
[4]Dadi wong sugeh rak usah rekoso = menjadi orang kaya tidak akan kesusahan.
Di desaku juga masih ada bnyak yg prcya sma hal itu, mbak...
ReplyDeleteIya, sama-lah di desaku juga masih percayaa begituan. menghitung hari baik dan lain sebaiaanyaa :)
Delete