Sunday, 24 January 2016

[Review] Pendidikan di Mata Orang Rimba



Judul               : Sokola Rimba
Penulis             : Butet Manurung
Editor              : Tim Sokola
Penerbit           : Kompas
Cetakan           : Ketiga, November 2015
Halaman          : xxviii + 384 halaman
ISBN               : 978-979-709-996-1

Kebanyakan orang sering menganggap bahwa Orang Rimba itu  primitif, bodoh dan ketinggalan zaman. Mereka tidak mengenal huruf dan tidak bisa membaca, hidup hanya bergantung pada hutan dan terkurung pada kegelapan. Namun, kadang mereka sering lupa, bahwa ketika di dunia terang Orang Rimba terlihat ketinggalan zaman, bukankah itu bisa terjadi ketika orang-orang dari dunia terang memasuki hutan? Mereka akan menjadi orang yang paling ketinggalan zaman. Tidak tahu jalan dan adat yang berlaku. Jadi manusia memang tidak bisa menilai hanya dari luarnya. Orang Rimba mungkin ketinggalan zaman tapi mereka lebih bisa memperlakukan alam dibanding orang-orang di dunia terang yang kadang memperlakukan hutan dengan sewenang-wenang.

Sokola Rimba menceritakan tentang pengalaman Butet Manurung ketika bekerja di WARSI sebagai antropolog untuk fasilitator pendidikan di hutan. (hal. 5) Dia memiliki keinginan besar agar Orang Rimba setidaknya bisa membaca dan menulis. Namun sejatinya Butet masih bingung bagaimana caranya untuk menarik Orang Rimba belajar.

Kelompok  Orang Rimba sendiri tersebar di kawasan hutan Bukit Duabelas yang luasnya lebih dari 60.000 hektar. Dan atas usaha WARSI bersama beberapa Orang Rimba, berdasarkan SK Menteri Kehutanan pada bulan Agustus tahun 2000, kawasan itu telah berubah status menjadi Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) dengan luas 60.500 hektar. (hal. 9)

Langkah awal yang dilakukan Butet tentu saja mendekati para Orang Rimba, belajar membaur dan menjadi teman. Yang pertama kali Butet kunjungi dari tiga kabupaten di TNBD adalah Rombang Sungai Tangkuyungon. Di sana dia disambut cukup baik, dia diajak mengambil  mengambil madu. Di sana Butet baru tahu bahwa pohon madu itu seperti “benda Pusaka” dan jika mau memanjat pohon untuk mengambil Orang Rimba melantunkan mantra “mengusir hantu kayu”.  Butet juga diajak menangkap ikan dan bisa balas dendam dengan pacet yang pernah menghisap darahnya ketika dulu dikejar lebah. Ada juga kejadian lucu di mana Butet dicemburui disangka mau merebut suami salah satu Orang Rimba dan disangka sakti karena bisa cepat menghapal lagu Rimba.  (hal. 31)

Inilah kesempatan menurutnya, Butet menjelaskan tentang menulis, namun tidak dengan agresif. Lalu pada suatu waktu saat anak-anak sedang bermain, Butet menggambar  dan melengkapinya dengan tulisan dan meminta mereka menyebutkan  gambar itu.  Mereka terlihat tertarik. Tentu saja Butet sangat senang namun, karena terlewat senang dia kelepasan menawari anak-anak itu sekolah. Yang hasilnya dia malah diceukin. (hal. 33)

Rombang Sungai Tangkuyungon belum ada harapan untuk mengajak sekolah, Butet  kini ke Rombang DAS Terap.  Sesuai kebijakan WARSI dia memang tidak diperbolehkan datang ke satu kelompok Orang Rimba. Pada kunjungan kali ini, Butet kembali mendapat serangan dari lebah hingga dia harus berendam lama di sungai untuk menghindari sengatan para lebah. Dan seperti di kelompok sebelumnya, masalah pendidikan juga kurang diminati  di sana. Meski beberapa anak laki-laki ada yang tertarik belajar, namun ketika  kedua Bepak, Lidapenado dan Ngelemboh mendengar Robert bertanya tentang keinginan untuk bisa membaca dan menulis, mereka dengan tegas menolak.  “Itu tidak ada dalam adat kami Orang Rimba.” (hal. 47)

Butet lalu melanjutkan kunjungannya ke Sungai Belambun Pupus, anak sungai DAS Bernai. Namun sebuah kesalahan fatal telah terjadi karena dua teman Butet, Willy dan Hadi mengatakan kedatangan mereka untuk mengajar membaca dan menulis. Dan secara otomatis pada Orang Rimba dewasa marah-marah dan mereka harus rela untuk pergi.

Namun di balik banyaknya Orang Rimba dewasa yang menolak, ternyata ada juga yang malah menunggu untuk diajarkan baca dan menulis dan mengatakan, “Baca tulis tidak mengubah agama kami atau adat kami, tetapi baca tulis membantu kami dalam bekerja.” (hal. 65) Masalahnya Orang Rimba yang menyatakan tertarik kemudian tidak muncul lagi.

Selama hampir dua tahun pencarian murid akhirnya Butet bisa membuat Orang Rimba tertarik untuk belajar baca dan menulis. Mungkin karena melihat dari berbagai peristiwa yang terjadi. Mereka kini yang malah meminta sendiri untuk belajar. Dan ternyata mereka cukup cepat tanggap dalam belajar.  Namun yang jadi masalah kemudian, bagaimana kelanjutan Orang Rimba setelah bisa belajar menulis dan membaca. Itulah yang kemudian menjadi dilema bagi Butet. Belum lagi ada masalah ketidak sinkronan atas pemikiran WARSI dan dirinya. Akhirnya pada 1 Oktober 2003, Butet mengundurkan diri.

Butet bersama Indit, Dodi, Oceu dan Willy serta teman-teman yang memiliki pemikiran yang sama berjuang membangun Sokola Rimba. Mereka mengabdikan secara total untuk kepentingan Sokola Rimba meski dengan biaya sendiri.

Rasanya membahas buku ini tidak akan selesai jika harus dijabarkan semua. Karena dari setiap cerita memiliki keunikan sendiri-sendiri. Pengalaman nyata yang dituangkan dalam buku ini sungguh luar biasa. Memberikan pencerahan dan keteladanan. Saya seperti diajak langsung ke hutan melihat secara langsung apa yang tengah terjadi di sana. Keseruan petualangan dan melihat keluguan dan ketakutan-ketakutan  dengan hal-hal baru yang dilihatnya.

Namun menilik dari apresiasinya pada orang baru, Orang Rimba itu sejatinya ramah. Mereka memiliki sikap yang polos yang kemudian suka dimanfaatkan orang terang. Karena itulah menurut Butet, Orang Rimba harus diberi bekal menulis, membaca dan menghitung agar tidak selalu dibodohi.  Belajar bukan berarti mereka harus meninggalkan hutan bukan?

Saya tidak bisa membayangkan ketika Butet dikejar lebah  dan juga harus berperang dengan para pacet-pacet yang menempel pada tubuh dan menyeodot darahnya. Atau ketika dia harus beredam di sungai dan demi menghindari lebah. Lalu disuruh makan ulat bahkan didatangi beruang.  Pengalaman seru dan mendebarkan pastinya. Membaca ini saya jadi suka senyum-senyum sendiri dan juga ikut miris dengan segala yang terjadi.  Hanya saja masih ada beberapa kesalahan penulisan. Tapi selebihnya buku ini keren dan inspiring. Banyak muatan pendidikan yang bisa dicontoh bagi para pendidik.   Buku ini bahkan sudah pernah difilmkan  tahun 2013  di mana disutradarai oleh Riri Riza. 

Beberapa quote yang menarik, inspiring dan perlu dipikirkan.

  • Intinya, memang tidak semua orang yang melek huruf akan menjadi dokter atau insinyur atau pemimpin masyarakat. Tidak harus, kan? Tetapi yang jelas, tidak mungkin bisa menjadi dokter kalau baca tulis saja tidak bisa. Baca tulis setidaknya akan memberikan mereka lebih banyak pilihan karena hanya lewat pendidikanlah (yang tidak sekadar baca tulis hitung, tapi juga peningkatan kapasitas dan jaminan habitat tempat hidup) mereka mampu memposisikan diri terhadap dunia luar dan dengan merdeka mentukan arah pembangunannya sendiri.  (hal. 17)
  • Pilih  orang yang memegang teguh kata-katanya dan abaikan orang yang melanggar janjinya.  (hal. 172)
  • Dalam mengajar, ada hal yang lebih penting daripada kepintaran, yaitu cara kita memberi pelajaran, yang membuat murid merasa bawah itu menyenangkan. Tapi yang terpenting dari semua itu adalah pemahaman mengapa pendidikan itu penting bagi Orang Rimba. Supaya alasan itu yang menjadi spirit, yang merasuki jiwa mereka bergerak ke mana-mana saat menjelajah rimba.  (hal. 180)

  • “Bu, kenapa hutan masih saja habis, padahal kami sudah sekolah?” (hal. 224)

  • “Ma, kenapa masih ada orang membunuh dan merampok, padahal sudah beragama.” (hal. 224)

  • Orang Rimba memilih memakai pakaian tradisional atau jeans, itu terserah mereka. Kita tidak berhak mengatakan mana yang lebih baik untuk mereka. (hal. 232)
  • Bahwa terkadang hidup ini memang terlihat keras. Tetapi sebenarnya itu  hal-hal yang memang layak terjadi (hal. 292)
  • Menjaga hutan memang sulit, orang pemerintah saja tidak mampu, apalagi saya yang baru bisa baca tulis?” ~Peniti Benang, salah satu kader Sokola Rimba~ (hal. 313)

  • Ranting akan tetap di pohon, rumput akan tetap tegak jika henggang (burung rangkong) atau gajah belum menapakinya. Bahwa  keadaan rimba dan penghuninya baik-baik saja sampai modernisasi tiba di dalam sana. (hal. 325)


No comments:

Post a Comment