Judul : Sokola Rimba
Penulis :
Butet Manurung
Editor :
Tim Sokola
Penerbit :
Kompas
Cetakan :
Ketiga, November 2015
Halaman :
xxviii + 384 halaman
ISBN :
978-979-709-996-1
Kebanyakan orang sering menganggap bahwa Orang
Rimba itu primitif, bodoh dan ketinggalan
zaman. Mereka tidak mengenal huruf dan tidak bisa membaca, hidup hanya
bergantung pada hutan dan terkurung pada kegelapan. Namun, kadang mereka sering
lupa, bahwa ketika di dunia terang Orang Rimba terlihat ketinggalan zaman, bukankah
itu bisa terjadi ketika orang-orang dari dunia terang memasuki hutan? Mereka
akan menjadi orang yang paling ketinggalan zaman. Tidak tahu jalan dan adat
yang berlaku. Jadi manusia memang tidak bisa menilai hanya dari luarnya. Orang Rimba
mungkin ketinggalan zaman tapi mereka lebih bisa memperlakukan alam dibanding
orang-orang di dunia terang yang kadang memperlakukan hutan dengan
sewenang-wenang.
Sokola Rimba menceritakan tentang pengalaman Butet
Manurung ketika bekerja di WARSI sebagai antropolog untuk fasilitator
pendidikan di hutan. (hal. 5) Dia memiliki keinginan besar agar Orang Rimba
setidaknya bisa membaca dan menulis. Namun sejatinya Butet masih bingung
bagaimana caranya untuk menarik Orang Rimba belajar.
Kelompok Orang Rimba sendiri tersebar di kawasan hutan
Bukit Duabelas yang luasnya lebih dari 60.000 hektar. Dan atas usaha WARSI
bersama beberapa Orang Rimba, berdasarkan SK Menteri Kehutanan pada bulan Agustus tahun 2000, kawasan itu telah berubah status menjadi Taman Nasional
Bukit Duabelas (TNBD) dengan luas 60.500 hektar. (hal. 9)
Langkah awal yang dilakukan Butet tentu saja
mendekati para Orang Rimba, belajar membaur dan menjadi teman. Yang pertama
kali Butet kunjungi dari tiga kabupaten di TNBD adalah Rombang Sungai Tangkuyungon.
Di sana dia disambut cukup baik, dia diajak mengambil mengambil madu. Di sana Butet baru tahu bahwa
pohon madu itu seperti “benda Pusaka” dan jika mau memanjat pohon untuk
mengambil Orang Rimba melantunkan mantra “mengusir hantu kayu”. Butet juga diajak menangkap ikan dan bisa
balas dendam dengan pacet yang pernah menghisap darahnya ketika dulu dikejar
lebah. Ada juga kejadian lucu di mana Butet dicemburui disangka mau merebut
suami salah satu Orang Rimba dan disangka sakti karena bisa cepat menghapal
lagu Rimba. (hal. 31)
Inilah kesempatan menurutnya, Butet
menjelaskan tentang menulis, namun tidak dengan agresif. Lalu pada suatu waktu
saat anak-anak sedang bermain, Butet menggambar
dan melengkapinya dengan tulisan dan meminta mereka menyebutkan gambar itu.
Mereka terlihat tertarik. Tentu saja Butet sangat senang namun, karena
terlewat senang dia kelepasan menawari anak-anak itu sekolah. Yang hasilnya dia
malah diceukin. (hal. 33)
Rombang Sungai Tangkuyungon belum ada harapan
untuk mengajak sekolah, Butet kini ke
Rombang DAS Terap. Sesuai kebijakan
WARSI dia memang tidak diperbolehkan datang ke satu kelompok Orang Rimba. Pada kunjungan
kali ini, Butet kembali mendapat serangan dari lebah hingga dia harus berendam
lama di sungai untuk menghindari sengatan para lebah. Dan seperti di kelompok
sebelumnya, masalah pendidikan juga kurang diminati di sana. Meski beberapa anak laki-laki ada
yang tertarik belajar, namun ketika
kedua Bepak, Lidapenado dan Ngelemboh mendengar Robert bertanya tentang
keinginan untuk bisa membaca dan menulis, mereka dengan tegas menolak. “Itu tidak ada dalam adat kami Orang Rimba.”
(hal. 47)
Butet lalu melanjutkan kunjungannya ke Sungai
Belambun Pupus, anak sungai DAS Bernai. Namun sebuah kesalahan fatal telah
terjadi karena dua teman Butet, Willy dan Hadi mengatakan kedatangan mereka
untuk mengajar membaca dan menulis. Dan secara otomatis pada Orang Rimba dewasa
marah-marah dan mereka harus rela untuk pergi.
Namun di balik banyaknya Orang Rimba dewasa
yang menolak, ternyata ada juga yang malah menunggu untuk diajarkan baca dan
menulis dan mengatakan, “Baca tulis tidak mengubah agama kami atau adat kami,
tetapi baca tulis membantu kami dalam bekerja.” (hal. 65) Masalahnya Orang
Rimba yang menyatakan tertarik kemudian tidak muncul lagi.
Selama hampir dua tahun pencarian murid
akhirnya Butet bisa membuat Orang Rimba tertarik untuk belajar baca dan
menulis. Mungkin karena melihat dari berbagai peristiwa yang terjadi. Mereka kini
yang malah meminta sendiri untuk belajar. Dan ternyata mereka cukup cepat
tanggap dalam belajar. Namun yang jadi
masalah kemudian, bagaimana kelanjutan Orang Rimba setelah bisa belajar menulis
dan membaca. Itulah yang kemudian menjadi dilema bagi Butet. Belum lagi ada
masalah ketidak sinkronan atas pemikiran WARSI dan dirinya. Akhirnya pada 1
Oktober 2003, Butet mengundurkan diri.
Butet bersama Indit, Dodi, Oceu dan Willy
serta teman-teman yang memiliki pemikiran yang sama berjuang membangun Sokola
Rimba. Mereka mengabdikan secara total untuk kepentingan Sokola Rimba meski
dengan biaya sendiri.
Rasanya membahas buku ini tidak akan selesai
jika harus dijabarkan semua. Karena dari setiap cerita memiliki keunikan
sendiri-sendiri. Pengalaman nyata yang dituangkan dalam buku ini sungguh luar
biasa. Memberikan pencerahan dan keteladanan. Saya seperti diajak langsung ke
hutan melihat secara langsung apa yang tengah terjadi di sana. Keseruan
petualangan dan melihat keluguan dan ketakutan-ketakutan dengan hal-hal baru yang dilihatnya.
Namun menilik dari apresiasinya pada orang
baru, Orang Rimba itu sejatinya ramah. Mereka memiliki sikap yang polos yang
kemudian suka dimanfaatkan orang terang. Karena itulah menurut Butet, Orang
Rimba harus diberi bekal menulis, membaca dan menghitung agar tidak selalu dibodohi. Belajar bukan berarti mereka harus
meninggalkan hutan bukan?
Saya tidak bisa membayangkan ketika Butet
dikejar lebah dan juga harus berperang
dengan para pacet-pacet yang menempel pada tubuh dan menyeodot darahnya. Atau ketika
dia harus beredam di sungai dan demi menghindari lebah. Lalu disuruh makan ulat
bahkan didatangi beruang. Pengalaman seru
dan mendebarkan pastinya. Membaca ini saya jadi suka senyum-senyum sendiri dan
juga ikut miris dengan segala yang terjadi. Hanya saja masih ada beberapa kesalahan
penulisan. Tapi selebihnya buku ini keren dan inspiring. Banyak muatan
pendidikan yang bisa dicontoh bagi para pendidik. Buku ini bahkan sudah pernah difilmkan tahun 2013 di mana disutradarai oleh Riri Riza.
Beberapa quote
yang menarik, inspiring dan perlu dipikirkan.
- Intinya, memang tidak semua orang yang melek huruf akan menjadi dokter atau insinyur atau pemimpin masyarakat. Tidak harus, kan? Tetapi yang jelas, tidak mungkin bisa menjadi dokter kalau baca tulis saja tidak bisa. Baca tulis setidaknya akan memberikan mereka lebih banyak pilihan karena hanya lewat pendidikanlah (yang tidak sekadar baca tulis hitung, tapi juga peningkatan kapasitas dan jaminan habitat tempat hidup) mereka mampu memposisikan diri terhadap dunia luar dan dengan merdeka mentukan arah pembangunannya sendiri. (hal. 17)
- Pilih orang yang memegang teguh kata-katanya dan abaikan orang yang melanggar janjinya. (hal. 172)
- Dalam mengajar, ada hal yang lebih penting daripada kepintaran, yaitu cara kita memberi pelajaran, yang membuat murid merasa bawah itu menyenangkan. Tapi yang terpenting dari semua itu adalah pemahaman mengapa pendidikan itu penting bagi Orang Rimba. Supaya alasan itu yang menjadi spirit, yang merasuki jiwa mereka bergerak ke mana-mana saat menjelajah rimba. (hal. 180)
- “Bu, kenapa hutan masih saja habis, padahal kami sudah sekolah?” (hal. 224)
- “Ma, kenapa masih ada orang membunuh dan merampok, padahal sudah beragama.” (hal. 224)
- Orang Rimba memilih memakai pakaian tradisional atau jeans, itu terserah mereka. Kita tidak berhak mengatakan mana yang lebih baik untuk mereka. (hal. 232)
- Bahwa terkadang hidup ini memang terlihat keras. Tetapi sebenarnya itu hal-hal yang memang layak terjadi (hal. 292)
- Menjaga hutan memang sulit, orang pemerintah saja tidak mampu, apalagi saya yang baru bisa baca tulis?” ~Peniti Benang, salah satu kader Sokola Rimba~ (hal. 313)
- Ranting akan tetap di pohon, rumput akan tetap tegak jika henggang (burung rangkong) atau gajah belum menapakinya. Bahwa keadaan rimba dan penghuninya baik-baik saja sampai modernisasi tiba di dalam sana. (hal. 325)
No comments:
Post a Comment