Thursday, 3 December 2015

[Resensi] Ketika Subardjo Menjadi Caleg



Judul               : Namaku Subardjo
Penulis             : Hapsari Hanggarani
Penerbit           : Metamind, Imprint of Tiga Serangkai
cetakan            : 1, Juli 2015
Halaman          :  viii+ 240 halaman
ISBN               : 978-602-72834-0-4

            Sebegitu pentingkah sebuah nama yang moderen itu? Sehingga Jojo alias Subarjdo kehilangan pacar dengan alasan tidak masuk akal. Padahal Jojo memiliki wajah yang lumayan tampan dan tidak pelit kalau masalah traktir mentraktir. “Sori, Jo, aku jadi ilfil kalo ... mmm ... kukira ‘Jojo’ nama asli kamu.” (hal. 15). Ternyata kejadian semacam itu tidak hanya sekali dialami Jojo. Diputus gara-gara namanya tidak keren.

            Kaget dan sedih tentu saja Jojo rasakan. Apalagi ditambah dengan masalah kuliahnya yang tidak juga kelar dan masih berkutat di bab awal dalam tugas akhirnya. Hidup Jojo sungguh suram. Tapi di balik kesuraman hidup itu ..., ada juga sisi keren dari Jojo. Dia adalah pemuda yang berhasil dalam usaha wiraswasta telur asin. Usaha warisan keluarga.

            Dalam masa suramnya ini tiba-tiba saja fenoma caleg merubah hidupnya. Semua gara-gara usul dari Rudy anak buahnya. Terdampar pada dunia caleg, membuatnya memahami bagaimana cara kerja dunia politik di negerinya dan sedikit melupakan patah hati karena memiliki nama yang tidak moderen. Bersama Rudy dan Dina—adik Jojo, mereka mulai berjalan pada jalan yang tidak biasa.

            Jojo sejak awal sebenarnya tidak terlalu tahu politik—bisa dibilang gaptek. Tapi karena sudah menjeburkan diri ..., mau tidak mau dia harus belajar. Belajar membuka jaringan; mengenal dunia politik lebih jauh. Sebagaimana yang dikatakan Rudy. “Membuka jaringan politik itu nggak semudah membalikkan tangan.” “... seperti buang mangga. Boleh saja kulitnya berwana hijau, tapi kalau sudah dikupas ternyata isinya berwarna kuning atau oranye. Atau apel, luarnya merah tapi dalamnya berwarna putih. Atau semangka, berkulit hijau ternyata dalamnya merah .... Jadi dunia politik, sesuatu dan orang-orang di dalamnya nggak selalu sama dengan penampakan luar mereka. Boleh saja bajunya hijau, tapi sebenarnya hatinya kuning dan seterusnya ...” (hal. 79-80)

Untungnya keikutsertaan Jojo buat nyaleg mendapat restu dari orangtuanya. Meskipun  ibunya sempat sangki juga. Apakah menjadi caleg partai Peduli Amat bisa menjamin masa depan cerah. Tepatnya apakah menjadi caleg bisa mendatangkan uang? Bisa biki kaya? (hal. 99)

Karena memang sudah terlanjur ..., mau tidak mau Jojo harus terjun juga. Memulai kampanye untuk menjaring pendukung. Seperti yang digembar-gemborkan Rudy setiap waktu. Meski pada dasarnya Jojo tidak terlalu senang dengan cara yang dipakai. “Kita menolong orang kan biar dapat pahala, kenapa mengharapkan suara? Salah niat, tahu!” (hal. 161) “Rud, apa nggak ada cara lain untuk menarik simpati orang lain selain memanfaatkan musibah orang lain?” (hal. 197)

Lalu pertanyaan yang mengusik Jojo ketika berkampanye. “Memangnya masyarakat kita terlalu matrealistis hingga harus selalu meminta uang dari pada caleg? Atau si caleg yang kegeeran dikira kalau sudah memberi uang, terus bakalan dipilih?” (hal.207)

Jojo sungguh tidak menyangka dengan barbagai jalan yang telah dilakukan demi mensukseskan misi kampanyenya. Walaupun dia memang tidak terlalu ngoyo untuk dipilih. Yang jadi perhatiannya itu ..., malah keadaan ibunya yang tiba-tiba memekik dan  jatuh pingsan. Entah apa yang terjadi. Dan tentang nasib Jojo sebagai caleg ..., kelanjutannya bisa langsung menuntaskan sendiri.


Novel yang unik dengan mengambil tema yang jarang diambil. Hawa segar untuk bacaan yang biasanya lebih sering mengusung tema cinta. Recomended untuk dibaca. Meski ada kesan kurang dalam cerita ini. Tentang arti sebuah nama yang disinggung tapi pada kelanjutannya cerita lebih fokus pada Jojo yang menjadi caleg. Juga tentang karakter Dina yang kurang kuat. Tapi tetap tidak mengurangi keasyikan dalam membaca. Banyak pesan yang sebenarnya dalam di ambil. Tentang seseorang tidaklah harus diukur melalui nama. Dan bagaimana politik di mata masyarakat juga caleg itu sendiri.  [Ratnani Latifah, tinggal di Desa Srobyong-Mlonggo, Jepara]

[Dimuat di Radar Sampit, Edisi; Minggu, 29 November 2015] 


No comments:

Post a Comment