[Dimuat di Majalah Online Panchake. Edisi ke-2, 10 Oktober 2015]
Oleh Ratna Hana Matsura [Kazuhana El Ratna Mida]
Jantungku berdegup keras. Kakiku menegang. Aku menggigit bibir bawahku. Kuremas jemari yang basah oleh keringat. Sementara teriak dalam hati tidak aku pedulikan. Aku menarik napas panjang, lalu membuka mata perlahan. Ketika aku sadar bisikan itu lenyap. Kemudian berganti tepukan pelan di pundakku, yang membuatku sedikit terkejut.
“Kau baik-baik saja?”
Tatapanku tertuju pada sosok Mira yang melihatku bingung. Lantas aku mengangguk untuk menjawab pertanyaannya.
“Kalau begitu sebaiknya kita pulang sekarang.” Dia meraih tangan kananku. Menariknya agar aku berjalan dengan cepat.
Aku tersenyum tipis. Menuruti Mira. Namun dalam waktu singkat sesuatu yang luar biasa terjadi. Senyumku pudar dan sebuah perasaan aneh membuatku begidik ngeri. Hidungku mencium bau anyir, sementara tanganku terasa lengket oleh sesuatu yang begitu kental. Aku menatap Mira. Seketika aku membekap mulut menggunakan tangan kiriku. Aku melihat sesosok hitam besar menatapku dan semuanya mendadak gelap dengan cepat.
~*~
Aku terbangun dengan napas tersengal-sengal. Keringat dingin mengalir di tiap lekuk tubuhku. Mataku mengerjap beberapa kali.
“Dia tidak mungkin mengikutiku,” ucapku lirih. “Bagaimana ini?” Aku memegang kepala yang tiba-tiba terasa pening.
Aku mencoba mengontrol napas untuk berpikir jernih. Dia tidak mungkin mengejarku lagi. Dia sudah mati. Bahkan aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Penguntit itu ... dia sudah mati. Aku meyakinkan diri sendiri.
Tap ... tap ... tap!
Aku menelan ludah. Ini sudah tengah malam. Langkah siapa itu? Aku tinggal sendirian di apartemen ini. Aku memegang unjung seprei dengan wajah pias. Bayangan penguntit kembali berkelebat di kepala.
“Tenang .... Aku harus tenang.” Aku berbicara dengan diriku sendiri. Aku tidak boleh panik.
“Penguntit itu sudah mati sehari yang lalu.”
Aku mengingat dengan jelas kejadian itu. Saat itu tanpa sengaja aku yang sedang jalan-jalan dengan Mira dan kecelakaan itu terjadi. Dia terpental saat menyeberang jalan.
Tap ... tap ...tap!
Suara langkah itu kembali terdengar. Aku menelan ludah. Menyentuh tengkuk yang semakin merinding. Aku menatap sekeliling ruangan. Kosong, tak ada apa pun. Lalu kenapa aku merasa ada yang tengah mengintaiku?
Tenang, ini pasti hanya imajinasiku saja, aku membuat persepsi sendiri dalam membatin. Mataku kembali mengerjap ketika sosok tinggi besar membuatku terkejut. Jantungku serasa mau copot.
“Kya ...!” aku berteriak. Memundurkan langkah secara spontanitas. Napasku naik turun tidak beraturan.
“Apa itu barusan? Si penguntit, ‘kah? Tapi—” Aku menggigit bibir. Ketakutanku semakin membesar.
“Kenapa kau menguntitku? Apa salahku?” Aku ingin menangis. Aku mengeratkan tangan pada baju yang kukenakan. Terus memundurkan langkah karena kusadari pasti sosok itu tengah semakin mendekat bahkan aku bisa merasakan napasnya. Napasku tercekat. Aku menutup mata. Aku baru membuka mata secara perlahan ketika kurasakan langkahnya tak lagi terdengar.
~*~
Aku menarik napas panjang. Menetralkan perasaan yang sedang berkecamuk dalam dada. Sampai sekarang, yang masih tidak aku pahami adalah alasan orang itu menerorku. Orang atu ... ah entahlah! Siapa dia? Dan apa maunya? Lagi pula setahuku dia mengalami kecelakaan kemarin.
Aku mendesah. Pikiranku kusut tidak mampu mencerna apa-apa. Aku bersandar di kursi, namun jantungku sontak kembali jumpalitan ketika melihat bayangannya muncul dari balik kaca jendela. Aku menjerit keras dan langsung bangkit. Aku harus pergi dari sini. Segera! Itulah yang ada dipikiranku. Tidak memedulikan jam berapa saat ini. Aku mengambil kunci mobil.
Dalam perjalanan ingatanku terbang pada pertemuanku dengan seorang teman kantor beberapa hari lalu. Kami bertengkar karena beda pendapat. Tapi tidak mungkin bila temanku adalah si penerorku. Aku menggelengkan kepala. Lalu menggigit bibir sendiri. Mungkinkah karena kesalahan itu? Aku menerka mengingat satu rahasia yang sampai saat ini menjadi rahasiaku sendiri. Aib yang pernah aku buat. Tentang aku yang pernah membunuh seseorang.
Mobil kupacu dengan kecepatan tinggi. Ketika menyadari sosok itu telah duduk di bangku belakang dengan tatapan tajamnya yang kudapati dari kaca spion tengah, tiba-tiba saja tubuhku serasa mati. Kaku.
Oh, God, makhluk apa ini? Napasku naik turun. Perlahan aku menghentikan mobil dan buru-buru ke luar meninggalkan sosok itu. Aku berlari sekencang mungkin. Tapi lagi-lagi sosok itu bisa mengejarku.
Aku terjerembab. Dia semakin dekat. Aku menelan ludah yang terasa kering.
“A-apa mau-mu?” tanyaku terbata.
Dia tak menjawab pertanyaanku, tapi dia terus menatapku lekat. Membuatku bergidik ngeri dan ingin segera melarikan diri. Tapi ... entah kenapa tubuh ini beku tak bisa diajak kompromi.
“Ya, kata-kan se-su-at-u!” Aku sungguh ketakutan ketika sosok itu semakin mendekat. “A-pa alasanmu ... mem-per-la-ku-kan ... a-ku seper-ti in-i?”
Grap!
Dia tetap tak menjawab, malah kini dia mencekal kuat pergelangan tanganku. Aku mengeliat berusaha menjauh. Tapi semakin aku bergerak entah kenapa pegangan itu makin kuat membuatku tak bisa banyak bergerak. Aku memohon untuk dilepaskan. Tapi dia tak mendengarkan aku. Dia malah menyeretku, membawaku pada tempat yang membuatku ternganga.
Tempat dengan bau anyir yang membuatku ingin muntah. Lalu pemandangan yang kulihat membuatku ingin memejamkan mata. Sungguh buruk dan menyesakkan dada. Aku tidak ingin melihat ini.
“Kumohon ... biarkan aku pergi pada keluargaku.” Aku menarik napas. “Jangan menggangguku.” Aku berlari menjauh ketika dia mengendurkan cekalanku. Menyusuri jalan yang kuyakini itu menuju rumah orang tuaku. Aku harus minta tolong agar mereka membantuku.
Aku tersenyum senang ketika melihat Mira keluar dari rumah. Aku memanggilnya, tapi dia tak menyahut dan pergi berlalu begitu saja. Kulihat matanya sembap. Aku jadi khawatir padanya. Ingin aku mengejarnya tapi kuurungkan karena kulihat Ibu yang juga tengah menangis sesegukkan.
Bukan hanya Ibu tapi ternyata semua keluarga besarku. Mereka nampak berduka karena sesuatu. Tapi karena apa? Kenapa hanya aku yang tak tahu? Kulangkahkan kaki pada kerumunan orang yang ada di ruang tengah. Dan aku hampir tak bisa bernapas ketika melihat siapa yang tengah terbaring di sana.
Aku menatap sosok yang berdiri tak jauh dariku. Aku ingin kabur tapi dia segera mencekalku. Mengantarkan pada satu tempat yang sungguh kusesali. Seharusnya aku tidak bunuh diri, menabrakkan diri pada mobil di jalan itu.
Atau bisa dibaca langsung di http://www.panchake.com/2015/10/edisi-2-stalking-parade-cerpen-horor.html
Ampun...
ReplyDeleteShock begitu buka disambut gambar ituuuu...
Ampun Mbak Anggarani, tutup mata biar nggak takut pas lihat gambar hehhh
Delete