Tulisan ini adalah potongaan fragmen dari
tantangan proyek menulis naskah “Misteri
Hilangnya Laras Pandanwangi” di grup
Titik Temu
Suara percakapan yang
tidak sengaja Leo dengar, membuat langkahnya terhenti. Dia menatap sosok yang tengah
berbicara dengan seseorang lewat handphone dengan suara setengah
berbisik. Orang itu berada di rumah makan tidak jauh dari kantornya. Duduk di
tempat yang memojok dekat jendela. “Apa
yang dilakukan perempuan itu?” gumam Leo. Dia berjalan mendekati. Memilih meja
tepat di samping perempuan itu. Perempuan
itu belum menyadari kehadiran Leo.
“Aku tahu, karena itu aku sangat berterima kasih padamu. Tapi
..., tak bisakah kamu keluar dari sana sekarang? Aku sangat mengkhawatirkanmu.”
“Em ..., aku juga mau seperti itu. Tapi ...,” lagi-lagi
perempuan itu menggigit bibir. Leo menghela napas melihat pembicaraan drama
itu. Mungkin dia salah dengan menguping pembicaraan orang. Hanya karena
perempuan itu adalah salah satu orang yang sempat dia curigai. Hingga Leo
berspekulasi apapun yang dibicarakan ada kaitannya dengan kasus yang tengah
diselidiki. Lagi pula sejak dia duduk pun tak banyak yang didengarnya. Kecuali
ekspresi sedih, gelisah dan suka menggigit bibir.
Leo pun berniat bangkit. Dia harus segera pergi. Masih banyak berkas yang harus dibaca. Tapi
sebuah nama yang muncul dari mulut perempuan itu, langsung menghentikan
langkahnya. Nama orang yang disebutkan
itu masuk dalam list daftar panjang nama orang yang sudah pernah
diwanwancarainya. Dan perempuan itu pernah mengatakan tidak ada hubungannya
dengan lelaki itu.
Eka—mantan pacar Laras Pandanwangi. Bertepatan Leo yang
hendak duduk kembali, perempuan itu menangkap bayangan Leo dan memutuskan
sambungan telepon, setelah berbasa basi di telepon. “Kebetulan, kita bisa
bertemu di sini.” Leo mengulurkan tangan, yang ditanggapi dengan agak kaku dan
rikuh. Dia yang sedari tadi duduk dengan gaya santai mendadak gelisah.
“Pak Leo ..., bagaiman—,” sebelum perempuan itu
melanjutkan ucapannya, Leo sudah memotong.
“Kantor saya tidak
jauh dari sini.” Tangannya menunjuk pada tempanya kerja. Perempuan itu mengangguk. Mungkin dalam hati
merutuki dirinya yang telah salah memilih tempat ketemuan.
“Jadi apa kamu sebenarnya mengenal Eka?” Leo
bertanya penuh selidik. Keramahan yang selalu dia pamerkan ketika bertemu
dengan orang mendadak berubah dalam sekejap. Ah, Leo memang paling anti dengan
seserang yang suka berbohong.
Perempuan itu—ida mengangguk lemah. Leo berdehem. “Apa hubunganmu dengannya? Teman, kekasih atau
....”
“Dia kakak sepupu saya.”
“Ah!” Leo menatap Ida. “Kenapa kemarin kamu memilih berbohong dan
menutupi ikatan persaudaraan dengan Eka?” Yah, sejak awal jumpa Leo saja bisa
menyimpulkan kemiripan di antara mereka berdua. Dia memang memiliki mata tajam
dan insting yang hebat.
“Sebelumnya saya minta maaf karena telah berbohong pada
Pak Leo.” Ida berucap dengan menunduk. Tangan kirinya memelintir rok yang dikenakan. Leo terus
mengamati.
“Jadi ...,” Leo menunggu Ida menjelaskan dengan gamblang.
“Ada alasan kenapa saya harus melakukan itu. Tolong Pak
Leo mengerti.”
“Dan kamu juga harus mengerti, kebohonganmu itu bisa
menyelakakanmu!” geram Leo.
“Apa lagi yang kamu sembunyikan?” Ida menggeleng.
“Percakapanmu dengan Eka. Apa yang kalian bicarakan tadi?”
Ida menarik napas. lagi-lagi menggigit bibir. Sepertinya keadaan
yang membuat cemas otomatis dia melakukan tindakan itu.
“Saya hanya disuruh pulang. Berhenti dari kerja saya.”
“Hanya itu saja?” Ida tak menjawab.
“Apa sebenarnya rencana yang kamu sembunyikan? Kenapa kamu
bekerja di rumah Laras Pandanwaangi?
“Saya hanya ingin membuat dia meminta maaf pada kakak
saya. Kejahatan yang dilakukan di masa lalu, yang membuat kakak saya cukup
menderita.”
“Kejahatan?”
Ida mengangguk. “Ini tentang sebuah aib keluarga. Tapi
dia benar-benar perempuan yang kejam dan egois. Membiarkan kakak saya
menanggung sendirian.” Ida menahan bulir air matanya. Leo tersentak mendengar
jawaban itu.
“Saya tidak terima kakak sepupu saya diperlakukan secara
tidak adil.” Ida menerawang. “Lihatlah dia hidup dengan enak. Memiliki keluarga
sempurna. Nama baik dan berbagai fasilitas yang luar biasa. Sedang kakak saya? Karena
mencintai perempuan gila itu ..., hidupnya menderita.”
“Jadi kau memang berencana membalas dendam?”
“Yah, harusnya aku melakukan itu. Tapi ... dia selalau
melarangku. Dia terlalu baik hati.”
“Dia yang kamu maksud itu Eka?”
Ida mengangguk.
Leo manarik napas panjang. Jengah dan lelah. Kasus ini
terus saja berputar-putar. Membuat dia bertanya-tanya seperti apa masalalu
Laras Pandawangi hingga dia disebutnya perempuan jahat?
“Apa Laras mengenalimu saat pertama kali datang?”
Ida menggeleng. “Tidak, kami sudah lama tidak bertemu.
Dan aku pun sudah berubah banyak sejak perkenalan kami dulu.” Ida menerawang. “Dia
baru tahu kalau aku adik sepupu bekas pacarnya itu ..., seminggu sebelum dia menghilang.”
“Apa yang membuatnya mengenalimu?”
“Dia mendengaar saya tengah menelepon Eka, saat mengawasi
Shafira dan Abeed yang tengah bermain.”
“Begitu? ”
Ida mengangguk.
“Apa yang dilakukan Laras setelah itu?”
“Hanya tersenyum kecil saja. Berbasa-basi. Setelah itu
saya diajak ke ruang pribadinya ...,” Ida berhenti sejenak.
“Ruang pribadi?”
“Yah, kami melakukan kesepakatan. Saling berjanji untuk
menutup mulut. Tapi dengan sebuah syarat.”
“Syarat?” Leo mengernyitkan dahi. Kenapa harus ada saling
mengancam di sini? ”
“Dia akan meminta maaf pada kakak saya, tapi saya harus
keluar dari pekerjaan saya. Takutnya keluarga besarnya bisa mencium masa lalu yang selama ini telah
dikubur dan dibuangnya.”
“Kamu menyetujuinya?”
“Tentu saja. Tapi belakangan saya tahu, dia telah menipu
saya. Dia bukannya meminta maaf pada kakak saya, malah bertemu pergi dengan pria
lain. Bertopi. Di hari menjelang natal. Dasar wanita tidak tahu diri. Memangnya
berapa lelaki yang dia simpan selama ini?” wajah Ida memerah karena menahan
amarah.
“Apa kau melihatnya?”
“Tentu saja. Saya sedang bermain di lantai dua bersama
anak-anak. Dan dia pergi dengan bergegas. Pria itu menggandeng tangannya. Kasihan
Pak Andi.”
“Apalagi yang kamu ketahui tentang Bu Laras?”
“Dia wanita serakah.”
“Jadi apa yang kamu lakukan setelah tahu dia berbohong?”
“Saya mendatanginya. Menuntut, tapi dia hanya diam saja.
Menatap dengan tatapan nanar dan ingin dikasihani. Tapi tentu saja saya tidak
peduli. Ingin sekali saya memukul atau menjambakkanya. Tapi saya urungkan niat
itu.”
“Alasan?”
“Suara mobil Pak Andi datang. Jadi saya memilih pamit,
tanpa mendengarkan penjelasan apapun.”
“Kamu tidak mencoba menemuinya?”
“Tentu saja saya ingin menemuinya ..., tapi sebelum
sempat terlaksana dia menghilang.”
“Dia perempuan licik seperti rubah. Tidak hanya saya yang
membecinya. Nona Vivi, adik Pak Andi juga tidak menyukainya.”
Mendengar nama Vibi disebut-sebut, Leo semakin menajamkan
pendengarannya. Menatap Ida dengan lekat.
“Kamu dekat dengan Vivi?”
“Tidak terlalu. Tapi kami sama-sama tidak menyukainya. Beberapa
kali Nona Vivi mengobrol dengan saya. Menceritakan tentang ketidaksukaannya
pada Bu Laras.”
“Kenapa kamu tidak memilih jujur dari awal?”
Ida menarin napas. “Karena saya tidak mau melibatkan
kakak saya dalam rencana ini. Kalau saya mengaku sejak awal, orang pasti
mengira saya adalah mata-mata yang dikirimkan kakak saya di rumah ini. ”
Le mengangguk. Yah, alasan yang cukup masuk akal. Namun, begitu Ida juga salah
karena telah memperlambat penyelidikan kasus ini.
“Baiklah, terima kasih untuk kerjasamanya.” Leo tidak
melewatkan satupun pengakuan Ida ini.
Setelah tidak ada lagi yang perlu diatanyakan. Leo mempersilahkan Ida
pergi. Sedang dia memutuskan kembali ke kantornya.
typonya bertebaran mbak...
ReplyDeletetpi isinya baguss lho
ada lanjutannya nggak ini,,,, heee
Terima kasih sudah mampir dan krisannya ^^.
ReplyDeleteLanjutannya nunggu teman-teman yang lain hehhh
Aku dataaang
ReplyDeleteSudah baca
Terima kasih Mbak Anggarani sudah berkanan mampir. ^^. Monggo masukannya ditunggu
ReplyDelete