Wednesday, 14 October 2015

Tabir yang Terkuak


Tulisan ini adalah potongaan fragmen dari tantangan proyek  menulis naskah “Misteri Hilangnya Laras Pandanwangi”  di grup Titik Temu


            Suara percakapan yang tidak sengaja Leo dengar, membuat langkahnya terhenti. Dia menatap sosok yang tengah berbicara dengan seseorang lewat handphone dengan suara setengah berbisik. Orang itu berada di rumah makan tidak jauh dari kantornya. Duduk di tempat yang memojok dekat jendela.  “Apa yang dilakukan perempuan itu?” gumam Leo. Dia berjalan mendekati. Memilih meja tepat di samping perempuan itu.  Perempuan itu belum menyadari kehadiran Leo.

“Aku tahu, karena itu aku sangat berterima kasih padamu. Tapi ..., tak bisakah kamu keluar dari sana sekarang? Aku sangat mengkhawatirkanmu.”

“Em ..., aku juga mau seperti itu. Tapi ...,” lagi-lagi perempuan itu menggigit bibir. Leo menghela napas melihat pembicaraan drama itu. Mungkin dia salah dengan menguping pembicaraan orang. Hanya karena perempuan itu adalah salah satu orang yang sempat dia curigai. Hingga Leo berspekulasi apapun yang dibicarakan ada kaitannya dengan kasus yang tengah diselidiki. Lagi pula sejak dia duduk pun tak banyak yang didengarnya. Kecuali ekspresi sedih, gelisah dan suka menggigit bibir.

Leo pun berniat bangkit. Dia harus segera pergi. Masih banyak berkas yang harus dibaca. Tapi sebuah nama yang muncul dari mulut perempuan itu, langsung menghentikan langkahnya.  Nama orang yang disebutkan itu masuk dalam list daftar panjang nama orang yang sudah pernah diwanwancarainya. Dan perempuan itu pernah mengatakan tidak ada hubungannya dengan lelaki itu. 

Eka—mantan pacar Laras Pandanwangi. Bertepatan Leo yang hendak duduk kembali, perempuan itu menangkap bayangan Leo dan memutuskan sambungan telepon, setelah berbasa basi di telepon. “Kebetulan, kita bisa bertemu di sini.” Leo mengulurkan tangan, yang ditanggapi dengan agak kaku dan rikuh. Dia yang sedari tadi duduk dengan gaya santai mendadak gelisah.

“Pak Leo ..., bagaiman—,” sebelum perempuan itu melanjutkan ucapannya, Leo sudah memotong.

“Kantor saya  tidak jauh dari sini.” Tangannya menunjuk pada tempanya kerja.  Perempuan itu mengangguk. Mungkin dalam hati merutuki dirinya yang telah salah memilih tempat ketemuan.

“Jadi apa kamu sebenarnya mengenal  Eka?”  Leo bertanya penuh selidik. Keramahan yang selalu dia pamerkan ketika bertemu dengan orang mendadak berubah dalam sekejap. Ah, Leo memang paling anti dengan seserang yang suka berbohong.

Perempuan itu—ida mengangguk lemah. Leo berdehem.  “Apa hubunganmu dengannya? Teman, kekasih atau ....”

“Dia kakak sepupu saya.”

“Ah!” Leo menatap Ida.  “Kenapa kemarin kamu memilih berbohong dan menutupi ikatan persaudaraan dengan Eka?” Yah, sejak awal jumpa Leo saja bisa menyimpulkan kemiripan di antara mereka berdua. Dia memang memiliki mata tajam dan insting yang hebat.

“Sebelumnya saya minta maaf karena telah berbohong pada Pak Leo.” Ida berucap dengan menunduk. Tangan kirinya  memelintir rok yang dikenakan. Leo terus mengamati.

“Jadi ...,” Leo menunggu Ida menjelaskan dengan gamblang.

“Ada alasan kenapa saya harus melakukan itu. Tolong Pak Leo mengerti.”

“Dan kamu juga harus mengerti, kebohonganmu itu bisa menyelakakanmu!” geram Leo.

“Apa lagi yang kamu sembunyikan?” Ida menggeleng.

“Percakapanmu dengan Eka. Apa yang kalian bicarakan tadi?”

Ida menarik napas. lagi-lagi menggigit bibir. Sepertinya keadaan yang membuat cemas otomatis dia melakukan tindakan itu.

“Saya hanya disuruh pulang. Berhenti dari kerja saya.”

“Hanya itu saja?” Ida tak menjawab.

“Apa sebenarnya rencana yang kamu sembunyikan? Kenapa kamu bekerja di rumah Laras Pandanwaangi?

“Saya hanya ingin membuat dia meminta maaf pada kakak saya. Kejahatan yang dilakukan di masa lalu, yang membuat kakak saya cukup menderita.”

“Kejahatan?”

Ida mengangguk. “Ini tentang sebuah aib keluarga. Tapi dia benar-benar perempuan yang kejam dan egois. Membiarkan kakak saya menanggung sendirian.” Ida menahan bulir air matanya. Leo tersentak mendengar jawaban itu.

“Saya tidak terima kakak sepupu saya diperlakukan secara tidak adil.” Ida menerawang. “Lihatlah dia hidup dengan enak. Memiliki keluarga sempurna. Nama baik dan berbagai fasilitas yang luar biasa. Sedang kakak saya? Karena mencintai perempuan gila itu ..., hidupnya menderita.”

“Jadi kau memang berencana membalas dendam?”

“Yah, harusnya aku melakukan itu. Tapi ... dia selalau melarangku. Dia terlalu baik hati.”

“Dia yang kamu maksud itu Eka?”

Ida mengangguk.

Leo manarik napas panjang. Jengah dan lelah. Kasus ini terus saja berputar-putar. Membuat dia bertanya-tanya seperti apa masalalu Laras Pandawangi hingga dia disebutnya perempuan jahat?

“Apa Laras mengenalimu saat pertama kali datang?”

Ida menggeleng. “Tidak, kami sudah lama tidak bertemu. Dan aku pun sudah berubah banyak sejak perkenalan kami dulu.” Ida menerawang. “Dia baru tahu kalau aku adik sepupu bekas pacarnya itu ..., seminggu sebelum dia menghilang.”

“Apa yang membuatnya mengenalimu?”

“Dia mendengaar saya tengah menelepon Eka, saat mengawasi  Shafira dan Abeed yang tengah bermain.”

“Begitu?

Ida mengangguk.

“Apa yang dilakukan Laras setelah itu?”

“Hanya tersenyum kecil saja. Berbasa-basi. Setelah itu saya diajak ke ruang pribadinya ...,” Ida berhenti sejenak.

“Ruang pribadi?”

“Yah, kami melakukan kesepakatan. Saling berjanji untuk menutup mulut. Tapi dengan sebuah syarat.”

“Syarat?” Leo mengernyitkan dahi. Kenapa harus ada saling mengancam di sini?

“Dia akan meminta maaf pada kakak saya, tapi saya harus keluar dari pekerjaan saya. Takutnya keluarga besarnya  bisa mencium masa lalu yang selama ini telah dikubur dan dibuangnya.”

“Kamu menyetujuinya?”

“Tentu saja. Tapi belakangan saya tahu, dia telah menipu saya. Dia bukannya meminta maaf pada kakak saya, malah bertemu pergi dengan pria lain. Bertopi. Di hari menjelang natal. Dasar wanita tidak tahu diri. Memangnya berapa lelaki yang dia simpan selama ini?” wajah Ida memerah karena menahan amarah.

“Apa kau melihatnya?”

“Tentu saja. Saya sedang bermain di lantai dua bersama anak-anak. Dan dia pergi dengan bergegas. Pria itu menggandeng tangannya. Kasihan Pak Andi.”

“Apalagi yang kamu ketahui tentang Bu Laras?”

“Dia wanita serakah.”

“Jadi apa yang kamu lakukan setelah tahu dia berbohong?”

“Saya mendatanginya. Menuntut, tapi dia hanya diam saja. Menatap dengan tatapan nanar dan ingin dikasihani. Tapi tentu saja saya tidak peduli. Ingin sekali saya memukul atau menjambakkanya. Tapi saya urungkan niat itu.”

“Alasan?”

“Suara mobil Pak Andi datang. Jadi saya memilih pamit, tanpa mendengarkan penjelasan apapun.”

“Kamu tidak mencoba menemuinya?”

“Tentu saja saya ingin menemuinya ..., tapi sebelum sempat terlaksana dia menghilang.”

“Dia perempuan licik seperti rubah. Tidak hanya saya yang membecinya. Nona Vivi, adik Pak Andi juga tidak menyukainya.”

Mendengar nama Vibi disebut-sebut, Leo semakin menajamkan pendengarannya. Menatap Ida dengan lekat.

“Kamu dekat dengan Vivi?”

“Tidak terlalu. Tapi kami sama-sama tidak menyukainya. Beberapa kali Nona Vivi mengobrol dengan saya. Menceritakan tentang ketidaksukaannya pada Bu Laras.”

“Kenapa kamu tidak memilih jujur dari awal?”

Ida menarin napas. “Karena saya tidak mau melibatkan kakak saya dalam rencana ini. Kalau saya mengaku sejak awal, orang pasti mengira saya adalah mata-mata yang dikirimkan kakak saya di rumah ini.

Le mengangguk. Yah, alasan  yang cukup masuk akal. Namun, begitu Ida juga salah karena telah memperlambat penyelidikan kasus ini.


“Baiklah, terima kasih untuk kerjasamanya.” Leo tidak melewatkan satupun pengakuan Ida ini.  Setelah tidak ada lagi yang perlu diatanyakan. Leo mempersilahkan Ida pergi. Sedang dia memutuskan kembali ke kantornya.

4 comments:

  1. typonya bertebaran mbak...
    tpi isinya baguss lho
    ada lanjutannya nggak ini,,,, heee

    ReplyDelete
  2. Terima kasih sudah mampir dan krisannya ^^.

    Lanjutannya nunggu teman-teman yang lain hehhh

    ReplyDelete
  3. Terima kasih Mbak Anggarani sudah berkanan mampir. ^^. Monggo masukannya ditunggu

    ReplyDelete