Tahukah kita tentang ghibah? Ialah hal sepele, namun bisa menimbulkan banyak bencana. Saat kita berghibah, jika yang dighibahi mengetahui ulah kita, maka akan terjadi salah paham, bahkan bisa jadi saling benci. Jadi, bukankah dengan ghibah malah merusak persaudaraan? Padahal Allah tidak suka dengan hamba-Nya yang memutus tali persaudaraan.
Dari Anas Ra, Nabi Saw bersabda, “Janganlah kalian saling membenci, saling hasud, saling membelakangi dan saling memutuskan tali persaudaraan, tetapi jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara. Seorang Muslim tidak diperbolehkan mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.” (HR Bukhari dan Muslim)
Kita juga menyakiti korban ghibah-yang bisa jadi-dia tak pernah melakukan apa yang kita katakan. Berarti hal itu fitnah. Dan, tahukah kita bahwa Fitnah lebih kejam dari pembunuhan? Na’udzubillahi min dzalik.
“Dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan.” (QS al-Baqarah [2]:191)
Kata ghibah adalah satu akar kata dengan ghaib yang artinya tidak terlihat atau tersembunyi.
Rasulullah Saw pernah mengajukan pertanyaan kepada para sahabat, “Tahukah kalian apa yang dimaksud dengan gunjingan?”
Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”
Lalu Rasulullah pun menjelaskan, “Menggunjing adalah membicarakan tentang saudaramu (orang lain) apa yang tidak disenanginya.”
Tanya seorang sahabat, “Apabila keadaan orang itu memang seperti itu, apakah juga dinamai menggunjing?”
“Ya, itulah ghibah (menggunjing dan mengumpat). Sebab seandainya kejelekan yang dibicarakan tidak terdapat pada orang yang dibicarakan itu, maka yang ia lakukan adalah buhtan (kebohongan besar)”
Dari pengertian di atas ada yang berpendapat, disebut ghibah bila orang yang sedang dibicarakan kejelekannya tidak hadir di tengah-tengah pembicaraan.
Jadi bila orang tersebut ada, hal itu dinamakan syatam—memaki atau mencaci. Sebaliknya, jika tidak jelas nama dan orangnya, maka tidak dinamai ghibah, kecuali yang namanya disamarkan tapi terbatas, misalnya “Ketua Umum Parpol atau Kepala Kejaksaan Tinggi di sebuah Propinsi”, maka ini tetap ghibah karena orang dengan sendirinya akan mengetahui siapa yang dimaksud.
Ghibah sudah meluas di lingkungan sehari-hari. Misalnya, saat berkumpul dengan teman-teman dalam suatu tempat, kadang kita menggunjingkan sesuatu. Pun dengan maraknya pemberitaan infotainment—gosip juga salah satu dari ghibah. Namun, anehnya, ketika kita tidak up-date tentang gosip, kita malah dianggap tidak mengikuti zaman. Jangan bilang bergosip adalah mode zaman sekarang. Sebab ghibah sejatinya haruslah dijauhi.
Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat : 12).
Di mana dalam surat ini dijelaskan kita tidak boleh menggunjing karena saat kita menggunjing—ghibah kita disamakan dengan memakan daging saudara sendiri. Astagfirullah hal adzim. Bukankah sama saja kita menggunjing diri sendiri? Jadi hanya orang yang sehat akalnya-lah yang tidak mungkin mau memakan bangkia saudaranya. Perbuatan ghibah sudah pasti perbuatan yang keji.
Rasulullah saw bersabda : “Jauhilah menggunjing, karena ia lebih jahat dari pada zina. Rasululullah ditanya : “Bagaimana bisa seperti itu?” Rasulullah menjawab : Seseorang yang berzina kemudian bertaubat—dengan benar—maka Allah akan mengampuni, tetapi menggunjing, Allah tidak akan mengampuninya, hingga orang yang digunjing itu memberi manfaat kepadanya. (HR. Bagihaqi dan Tabrani dalam Irsyadul Ibda :68)
Karena itu dalam sebuah kitab (الالا تنال العلم إلا بستّة إلخ …) dari مكتبة محمّد بن أحمد صهان واولاده
Menjelaskan dalam sebuah syair agar kita senantiansa menjaga lisan.
يَمُوْتُ الْفَتَى مِنْ عَثْرَةٍ مِنْ لِسَانِهِ * وَلَيْسَ يُمُوْتُ الْمَرْءُ مِنْ عَثْرَةِ الرّجْلِ
مَاتِىَنى وَوعْ سَبَبْ كَفَلَيْسَيْتْ لِسَانِى * اَوْرَا كُؤْمَاتِنَى سَبَبْ كَفَلَيْسَيتْ سِيْكِيْلَىْ
فَعَثْرَتُهُ مِنْ فِيْهِ تَرْمِىْ بِرَأْسِهِ * وَعَثْرَتُهُ بِاالرِّجْلِ تَبْرَى عَلَى الْمَهْلِ
دَيْنَى مَلَيْسَيْتَىْ لِسَانْ نَكَأْكَيْ بَلاَعْ اَنْدَاسْ * دَيْنَيْ مَلَيْسَيْتَيْ سِكِيْل سُوَى۲بِيْصَاوَرَاسْ
Di mana artinya adalah seseorang itu tidak mati karena terpeleset kakinya, tapi dia meninggal karena terpeleset lisannya. Karena terpelesetnya kaki itu lama-kelamaan bisa pulih kembali. Sedang terpeleset lisannya akan mendatangkan balak (cobaan) hingga kelak di akhirat.
Berangkat dari beberapa keterangan yang ada, maka ulama bersepakat bahwa ghibah atau menggunjing itu hukumnya haram bahkan ada yang mengatakan dosa besar. Keharaman menggunjing tidak terbatas pada pelaku saja, tapi juga pada siapapun yang mendengar dan membiarkan ghibah berlanjut padahal dia bisa mengingatkan.
Bahkan menggunjing ternyata tidak hanya dengan lisan dan ucapan saja, tetapi juga bisa dengan tulisan, gerakan dan bahasa isyarat lainnya. Seperti menggunjing yang diarahkan pada badan adalah menyebut keterangan seseorang pendek, tinggi, hitam, juling dan lain sebagainya. Atau dengan mengucapkan nasab seseorang seperti bapaknya orang fasiq, pembohong, pencuri.
Jadi sudah tahukan, kenapa kita tidak boleh ghibah. Semoga kita terlindungi dari sikap ghibah, mari saling mengingatkan untuk kebaikan bersama. Aamiin.
Srobyong, 6 Mei 2015
[Kazuhana El Ratna/ Bersama Dakwah]
Sumber:
[1] Waryono Abdul Ghafur, M. Ag, Strategi Qurani mengenali Diri Sendiri dan Meraih Kebahagiaan Hidup, Yogyakarta : Belukar Budaya, 2004.
[2] Kitab Alala Tana Lul Ilma ….
Re-Post dari artikel saya yang pernah dimuat di web bersamadakwah. Atau kunjungi langsung ke http://bersamadakwah.net/kenapa-tak-boleh-ghibah/
No comments:
Post a Comment