Wednesday, 14 October 2015

Sebuah Surat dan Sketas Wajah


Tulisan ini adalah potongaan fragmen dari tantangan proyek  menulis naskah “Misteri Hilangnya Laras Pandanwangi”  di grup Titik Temu


            Leo Batubara meminta maaf pada  Andi Samir karena datang terlambat—tidak sesuai janji. Yah, mendadak ada yang harus dilakukan ketika akan menemui  Andi Samir.

            “Tidak apa-apa. silahkan duduk.”  Andi Samir menyambut kedatangan Leo Batubara dengan ramah. Mereka bertemu di ruang kerja  Andi Samir. Kebetulan ruangannya ini kedap suara, jadi bisa berbicara leluasa di sana.

            “Ini alasan saya memanggil Pak Leo.” Andi Samir meletakan sebuah surat dengan tinta merah darah dan sekta wajah.  “Semoga ini bisa membantu penyelidikan yang Pak Leo lakukan.”

            Melihat kedua barang itu ..., seketika wajah Leo  seketika memucat. Namun dengan cepat dia menguasai diri.

            “Ini sketsa siapa?” tanya Leo dengan suara agak serak. Dia tahu persis siapa wajah dalam sketsa itu. Wajah yang selama ini membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Namun yang menjadi pertanyaan kenapa dia memilik sangkut paut dengan hilangnya Laras Pandanwangi?

            “Saya tidak tahu. Baru kali ini saya melihatnya.” Andi Samir mengangkat bahu.

            “Dan sur-rat in-i—,” Andi Samir berkata terbata-bata.

            Leo segera memeriksa. Kaget bercampur kesal terlihat di gurat wajahnya.

          Aku selalu menunggumu. Menunggu darah segar yang harus kau bayar.

            Leo batubara mencengkeram kertas itu dengan kuat.  Gigi Leo bergemelatuk.

            “Pak Andi mendapatkan ini dari mana?”

            “Saya menemukan secara tidak sengaja di brangkas milik Laras. Saat itu Shafira dan Abeed yang mengotak atiknya.”

            Leo mengangguk. Sayangnya tulisaan itu tidak bisa diidentifikasi karena tulisan itu tidak tulisan tangan. tapi diketik rapi dengan warna merah darah.

            “Apa Bu Laras pernah menceritakaan tentang teror yang dialaminya?”

            Andi Samiri menggeleng. “Laras terlalu penutup. Setiap ada masalah dia jarang bercerita.”

            Leo memerhatikan dengan saksama seketsa dan surat itu. Lalu mencoba menghubungkannya dengan cerita yang didapat dari Tini tadi. Mungkin ini berkaitan. Tadi Leo pikir yang datang ke rumah Laras adalah mantan pacarnya dulu. Seseorang yang pernah dia temui beberapa hari lalu. Tapi melihat sketsa ini dan berdasarkan kesaksiaan Tini, ciri-ciri yang itu menunjukk lelaki dalam sketsa sebagai tamu itu. Namun yang menjadi masalah ..., ada hubungan apa antara Laras Pandangwangi dengan pria dalam sketsa itu?

            “Ada lagi yang ingin Pak Andi sampaikan?” Leo menatap Andi Samir yang  ingin mengatakan sesuatu namun sengaja ditahan.

            “Tidak ada, Pak.” Andi Samir menggeleng. “Saya hanya berharap Laras segera ditemukan. Shafira dan Abeed mulai menanyakan ibunya terus.” Wajah itu terlihat sendu.

            “Baiklah, Pak. Saya akan mencoba menyelidiki kasus ini secepat ini. Terima kasih atas kerjasamanya.” Leo Batubara berpamitan. Kepalanya semakin berdenyut tidak karuan. Mereka berjabat tangan.

            “Kalau ada info baru saya akan segera menghubungi Anda.”

            Leo Batubara menyusun satu persatu puzzle yang sama sekali tidak memiliki ujung itu.  Kasus ini sungguh rumit dan berbelit. Masa lalu apa yang sebenarnya dimiliki oleh seorang Laras Pandanwangi sehingga terjebak dalam situasi semacam ini?

            “Anda baik-baik saja, Pak?” anak buah Leo  yang baru datang kaget melihat atasannya yang nampak depresi di ruangannya.

            “Apa kau sudah menyelidiki tentang wanita gemuk dari Sleman itu?” Leo menatap tajam Sakti.

            “Ini hasil penyelidikan tentang perempuan gendut di Sleman. Saya sudah menemukan tempat tinggalnya. Saya permisi dulu, Pak.” Berkas itu ditaruh di meja dan Leo dengan segera membuka file-file itu. 

            “Kasus ini sungguh luar biasa.” Dia berdecak. Leo membaca satu persatu file yang ada di tangannya itu. Kasus unik yang mengantarkan pada masa lalu kelam manusia. Termasuk dirinya.

            “Oh ...,” Leo teringat sesuatu. Dia mengeluarkan skesta wajah yang sedari tadi disimpannya. Dia memperlihatkan pada Sakti. Pria yang lebih muda lima tahun darinya itu pun tidak kalah kaget. Sejak mereka menjadi mitra kerja Leo memang sering menceritakan kasus-kasus yang dulu pernah digarapnya. Juga sedikit masa lalu dikehidupannya. Termasuk masa lalu dengan orang dalam  sketsa itu.

“Cari tahu di mana orang ini.” Leo menyerahkan sketsa itu pada anak buahnya.

            “Pak, ini kan?—,”

            Leo mengangguk. “Ini ditemukan di berangkas Laras.” Leo memberi tahu.

            “Coba selidiki apa hubungan dia dengan Laras Pandanwangi.”

            “Kasus yang rumit. Apa Anda tidak apa-apa?”

          “Aku tidak apa-apa.” Leo menyakinkan Sakti. Walaupun sejatinya ada perasaan gemuruh yang saat ini mengaduk-aduk isi perutnya. Dan itu sangat memuakkan.

            “Kalau begitu saya permisi dulu, Pak.” Sakti sudah hilang di balik pintu.

            Leo menarik napas panjang. Memijat-mijat keningnya yang terasa pening. Sejak dulu pria itu selalu merusak kehidupannya. Setelah bertahun-tahun hilang, kenapa  sekarang dia kembali? Apalagi kembalinya dengan tersangkut dalam kasus penculikan yang amat pelik.

            Leo menatap handphone yang tergeletak di meja. Dia meraihnya. Mencari nomor seseorang dan menghubunginya.

            “Sial!” umpat Leo dalama hati. Nomor itu sudah tidak aktif lagi.

            Leo mengatur napas. tangannya membentuk piramida, menutupi hidung. Dia memikirkan kasus yang tengah dihadapinya. Munculnya Rapael dalam kasus hilangnya Laras Pandanwangi sungguh tidak pernah dia sangka. Pria kejam itu adalah masa lalu yang selalu ingin dia hapus. Karena pria itu kehidupan Leo kacau balau, keluarga bahkan kekasihnya. Semua hancur dalam sekejap mata.  Dulu.  Sketsa yang membuatnya muak. Apalagi dengan melihat surat itu. Karena Leo pernah mendapatkannya juga. Kata-katanya dan tinta merah darah itu ..., sungguh sama persis.

            Karenanya Leo sangat berang dengan Rapael. Bagaimana tidak? Pria itu dengan sadis membantai keluarganya. Juga membuh kekasihnya yang satu minggu akan dinikahi. Setelah melakukan pembunuhan itu dia bagai hilang ditelan bumi. Dan sekarang mendadak muncul lagi? Kali ini dia harus bisa menjebloskan perjahat itu. Dengan tangannya sendiri.

            Yang menjadi pertanyaanya ada hubungan apa antara Laras Pandangwangi dengan Rapael. Kenapa mereka bisa saling kenal? Leo tenggelam dalam masa lalunya. Tiba-tiba dering handpone-nya berbunyi, membuat dia terkesiap.

            “Pak, saya menemukan jejak Rapael di Slemam. Tapi sepertinya dia sudah berpindah tempat.” Sakti memberi laporan.

            “Lacak terus keberadaanya. Dia memang sangat licin.”

            “Baik Pak!”

            Leo bangkit. Dia tidak boleh diam saja. Dia teringat dengan file tentang wanita gemuk yang sudah ditemukan Sakti. Dia harus cepat ke sana. Kalau tidak mau buruannya juga hilang.

             Leo sudah berhadapan dengan wanita gemuk itu.  Namanya Hayati.

            “Apa hubungan Anda dengan Bu Laras Pandangwangi?”

            “Saya pegawainya, Pak.” Leo mengernyitkan dahi.

            “Di Sleman Bu Laras memiliki sebuah toko. Saya yang mengurusnya.” Hayati menerangkan.

            “Apakah Anda tahu kalau Bu Laras menghilang pada tanggal 31 Desembr lalu?”

            Hayati menutup mulut. “Apa itu benar, Pak? Saya sungguh tidak tahu. Tapi dua hari lalu Bu Laras menghubungi saya. Menanyakan perkembangan toko.”

            Leo mencatat pengakuan Hayati. Ada yang aneh di sini. Bagaimana Laras bisa menghubungi jika saat ini dia menghilang. Atau sebenarnya dia sengaja menghilang. Kemungkinan-kemungkinan itu terus berputar di kepala Leo. Atau bisa jadi wanita di depannya ini tengah berbohong.

            “Pada jam berapa Bu Laras menelepon. Apakah masih ada nomor yang digunkan untuk menelepon?

            Hayati mengangguk. Memberikan handphone-nya yang kemudian dicek Leo.  Sepengetahuannya handphone Laras tertinggal saat dia menghilang.

            “Anda yakin itu suara Laras?”

            “Sangat yakin Pak.”

            “Boleh saya menyalain nomor ini?”

            “Silahkan jika itu membantu Bapak.”

            Leo menulisnya lalu membuat panggilan. Panggilannya tersambung tapi tidak diangkat. Leo mencoba untuk kedua kalinya, namun  nomor itu sudah tidak diaktifkan lagi. Leo mengerang dalam hati.

            “Bagaimana, Pak?” tanya Hayati dengan mimik cemas.

            Leo mengangkat bahu dan menggeleng. Dia memilih undur diri setelah merasa tidak ada lagi yang perlu ditanyakan pada Hayati.


            

No comments:

Post a Comment