Tulisan ini adalah potongaan fragmen dari
tantangan proyek menulis naskah “Misteri
Hilangnya Laras Pandanwangi” di grup
Titik Temu
Leo Batubara meminta maaf
pada Andi Samir karena datang terlambat—tidak
sesuai janji. Yah, mendadak ada yang harus dilakukan ketika akan menemui Andi Samir.
“Tidak apa-apa. silahkan
duduk.” Andi Samir menyambut kedatangan
Leo Batubara dengan ramah. Mereka bertemu di ruang kerja Andi Samir. Kebetulan ruangannya ini kedap
suara, jadi bisa berbicara leluasa di sana.
“Ini alasan saya memanggil
Pak Leo.” Andi Samir meletakan sebuah surat dengan tinta merah darah dan sekta
wajah. “Semoga ini bisa membantu
penyelidikan yang Pak Leo lakukan.”
Melihat kedua barang itu
..., seketika wajah Leo seketika memucat. Namun dengan cepat dia
menguasai diri.
“Ini sketsa siapa?” tanya
Leo dengan suara agak serak. Dia tahu persis siapa wajah dalam sketsa itu.
Wajah yang selama ini membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Namun yang menjadi
pertanyaan kenapa dia memilik sangkut paut dengan hilangnya Laras Pandanwangi?
“Saya tidak tahu. Baru kali
ini saya melihatnya.” Andi Samir mengangkat bahu.
“Dan sur-rat in-i—,” Andi
Samir berkata terbata-bata.
Leo segera memeriksa. Kaget
bercampur kesal terlihat di gurat wajahnya.
Aku selalu
menunggumu. Menunggu darah segar yang harus kau bayar.
Leo batubara mencengkeram
kertas itu dengan kuat. Gigi Leo bergemelatuk.
“Pak Andi
mendapatkan ini dari mana?”
“Saya
menemukan secara tidak sengaja di brangkas milik Laras. Saat itu Shafira dan
Abeed yang mengotak atiknya.”
Leo
mengangguk. Sayangnya tulisaan itu tidak bisa diidentifikasi karena tulisan itu
tidak tulisan tangan. tapi diketik rapi dengan warna merah darah.
“Apa Bu
Laras pernah menceritakaan tentang teror yang dialaminya?”
Andi
Samiri menggeleng. “Laras terlalu penutup. Setiap ada masalah dia jarang
bercerita.”
Leo
memerhatikan dengan saksama seketsa dan surat itu. Lalu mencoba menghubungkannya
dengan cerita yang didapat dari Tini tadi. Mungkin ini berkaitan. Tadi Leo
pikir yang datang ke rumah Laras adalah mantan pacarnya dulu. Seseorang yang
pernah dia temui beberapa hari lalu. Tapi melihat sketsa ini dan berdasarkan
kesaksiaan Tini, ciri-ciri yang itu menunjukk lelaki dalam sketsa sebagai tamu
itu. Namun yang menjadi masalah ..., ada hubungan apa antara Laras Pandangwangi
dengan pria dalam sketsa itu?
“Ada
lagi yang ingin Pak Andi sampaikan?” Leo menatap Andi Samir yang ingin mengatakan sesuatu namun sengaja
ditahan.
“Tidak
ada, Pak.” Andi Samir menggeleng. “Saya hanya berharap Laras segera ditemukan.
Shafira dan Abeed mulai menanyakan ibunya terus.” Wajah itu terlihat sendu.
“Baiklah,
Pak. Saya akan mencoba menyelidiki kasus ini secepat ini. Terima kasih atas
kerjasamanya.” Leo Batubara berpamitan. Kepalanya semakin berdenyut tidak
karuan. Mereka berjabat tangan.
“Kalau
ada info baru saya akan segera menghubungi Anda.”
Leo Batubara
menyusun satu persatu puzzle yang sama sekali tidak memiliki ujung itu. Kasus ini sungguh rumit dan berbelit. Masa lalu
apa yang sebenarnya dimiliki oleh seorang Laras Pandanwangi sehingga terjebak
dalam situasi semacam ini?
“Anda
baik-baik saja, Pak?” anak buah Leo yang
baru datang kaget melihat atasannya yang nampak depresi di ruangannya.
“Apa kau
sudah menyelidiki tentang wanita gemuk dari Sleman itu?” Leo menatap tajam
Sakti.
“Ini hasil
penyelidikan tentang perempuan gendut di Sleman. Saya sudah menemukan tempat
tinggalnya. Saya permisi dulu, Pak.” Berkas itu ditaruh di meja dan Leo dengan
segera membuka file-file itu.
“Kasus
ini sungguh luar biasa.” Dia berdecak. Leo membaca satu persatu file yang ada
di tangannya itu. Kasus unik yang mengantarkan pada masa lalu kelam manusia. Termasuk
dirinya.
“Oh ...,”
Leo teringat sesuatu. Dia mengeluarkan skesta wajah yang sedari tadi
disimpannya. Dia memperlihatkan pada Sakti. Pria yang lebih muda lima tahun
darinya itu pun tidak kalah kaget. Sejak mereka menjadi mitra kerja Leo memang
sering menceritakan kasus-kasus yang dulu pernah digarapnya. Juga sedikit masa
lalu dikehidupannya. Termasuk masa lalu dengan orang dalam sketsa itu.
“Cari tahu di mana orang ini.” Leo
menyerahkan sketsa itu pada anak buahnya.
“Pak,
ini kan?—,”
Leo
mengangguk. “Ini ditemukan di berangkas Laras.” Leo memberi tahu.
“Coba
selidiki apa hubungan dia dengan Laras Pandanwangi.”
“Kasus
yang rumit. Apa Anda tidak apa-apa?”
“Aku
tidak apa-apa.” Leo menyakinkan Sakti. Walaupun sejatinya ada perasaan gemuruh
yang saat ini mengaduk-aduk isi perutnya. Dan itu sangat memuakkan.
“Kalau
begitu saya permisi dulu, Pak.” Sakti sudah hilang di balik pintu.
Leo
menarik napas panjang. Memijat-mijat keningnya yang terasa pening. Sejak dulu
pria itu selalu merusak kehidupannya. Setelah bertahun-tahun hilang, kenapa sekarang dia kembali? Apalagi kembalinya
dengan tersangkut dalam kasus penculikan yang amat pelik.
Leo menatap
handphone yang tergeletak di meja. Dia meraihnya. Mencari nomor seseorang dan
menghubunginya.
“Sial!” umpat Leo dalama hati. Nomor itu sudah
tidak aktif lagi.
Leo
mengatur napas. tangannya membentuk piramida, menutupi hidung. Dia memikirkan kasus yang tengah dihadapinya.
Munculnya Rapael dalam kasus hilangnya Laras Pandanwangi sungguh tidak pernah
dia sangka. Pria kejam itu adalah masa lalu yang selalu ingin dia hapus. Karena
pria itu kehidupan Leo kacau balau, keluarga bahkan kekasihnya. Semua hancur
dalam sekejap mata. Dulu. Sketsa yang membuatnya muak. Apalagi dengan melihat
surat itu. Karena Leo pernah mendapatkannya juga. Kata-katanya dan tinta merah
darah itu ..., sungguh sama persis.
Karenanya
Leo sangat berang dengan Rapael. Bagaimana tidak? Pria itu dengan sadis
membantai keluarganya. Juga membuh kekasihnya yang satu minggu akan dinikahi. Setelah
melakukan pembunuhan itu dia bagai hilang ditelan bumi. Dan sekarang mendadak
muncul lagi? Kali ini dia harus bisa menjebloskan perjahat itu. Dengan
tangannya sendiri.
Yang menjadi
pertanyaanya ada hubungan apa antara Laras Pandangwangi dengan Rapael. Kenapa mereka
bisa saling kenal? Leo tenggelam dalam masa lalunya. Tiba-tiba dering
handpone-nya berbunyi, membuat dia terkesiap.
“Pak,
saya menemukan jejak Rapael di Slemam. Tapi sepertinya dia sudah berpindah
tempat.” Sakti memberi laporan.
“Lacak
terus keberadaanya. Dia memang sangat licin.”
“Baik
Pak!”
Leo
bangkit. Dia tidak boleh diam saja. Dia teringat dengan file tentang wanita
gemuk yang sudah ditemukan Sakti. Dia harus cepat ke sana. Kalau tidak mau buruannya
juga hilang.
Leo sudah berhadapan dengan wanita gemuk itu. Namanya Hayati.
“Apa
hubungan Anda dengan Bu Laras Pandangwangi?”
“Saya
pegawainya, Pak.” Leo mengernyitkan dahi.
“Di
Sleman Bu Laras memiliki sebuah toko. Saya yang mengurusnya.” Hayati
menerangkan.
“Apakah
Anda tahu kalau Bu Laras menghilang pada tanggal 31 Desembr lalu?”
Hayati
menutup mulut. “Apa itu benar, Pak? Saya sungguh tidak tahu. Tapi dua hari lalu
Bu Laras menghubungi saya. Menanyakan perkembangan toko.”
Leo mencatat
pengakuan Hayati. Ada yang aneh di sini. Bagaimana Laras bisa menghubungi jika
saat ini dia menghilang. Atau sebenarnya dia sengaja menghilang. Kemungkinan-kemungkinan
itu terus berputar di kepala Leo. Atau bisa jadi wanita di depannya ini tengah
berbohong.
“Pada
jam berapa Bu Laras menelepon. Apakah masih ada nomor yang digunkan untuk
menelepon?
Hayati mengangguk.
Memberikan handphone-nya yang kemudian dicek Leo. Sepengetahuannya handphone Laras tertinggal saat dia menghilang.
“Anda
yakin itu suara Laras?”
“Sangat
yakin Pak.”
“Boleh
saya menyalain nomor ini?”
“Silahkan
jika itu membantu Bapak.”
Leo
menulisnya lalu membuat panggilan. Panggilannya tersambung tapi tidak diangkat.
Leo mencoba untuk kedua kalinya, namun nomor itu sudah tidak diaktifkan lagi. Leo
mengerang dalam hati.
“Bagaimana,
Pak?” tanya Hayati dengan mimik cemas.
Leo
mengangkat bahu dan menggeleng. Dia memilih undur diri setelah merasa tidak ada lagi yang
perlu ditanyakan pada Hayati.
No comments:
Post a Comment