Tulisan ini adalah potongan fragmen dari
tantangan proyek menulis naskah "Misteri Hilangnya Laras Pandanwangi" di grup Titik Temu
Leo Batubara Menghela
napas. Dia duduk di kursi kerjanya sambil mempelajari kasus hilangnya Laras
Pandanwangi yang sampai sekarang belum mendapat titik temu. Bahkan setelah
semua daftar nama yang harus diwawancarai selesai. Leo Batubara merasa ada
sesuatu yang masih tersembunyi dalam kasus ini. Ah, tepatnya disembunyikan. Dia
memainkan pena, lalu mengetuk-ngetuk jarinya di meja dinasnya. Tapi siapa dari sekian banyak
orang yang berkata bohong padanya? Pertanyaan itu menggema di kepala Leo. Lalu
Leo terkesiap, sepertinya dia luput belum mewawancari Tini. Perempuan itu dua
hari lalu baru kembali dari kampung halamannya setelah menghadiri pernikahan
anak saudaranya. Jangan-jangan perempuan itu menghindari wawancara terhadap
kesaksiannya.
Leo yakin, hari
di mana Tini pulang kampung, adalah tepat di mana harusnya dia menemuinya untuk
wawancara mengenai hilangnya Laran Pandanwangi.
“Sepertinya aku harus
kembali ke rumah itu lagi.” Segera Leo mengambil jaket dan bergegas
pergi meninggalkan ruangan. Dia bahkan sampai tidak memedulikan panggilan
handphonenya yang terus berdering.
Sesampainya di rumah Andi
Samir, Tini menyambut kedatangannya dengan ramah. mempersilahkan masuk dan
membuatkan minum. Sepertinya Leo salah dalam menilai perempuan itu. Tapi
penilaiannya akan terjawab setelah sesi wawancara ini.
“Bisa kita berbicara
sebentar.” Lao Batubara menatap lekat pada Tini. Perempuan itu nampak tenang
dengan tatapan intimidasi itu. Dan Leo sungguh takjub. Karena biasanya setiap
orang yang mendapat tatapan seperti itu biasanya akan takut, gematar bahkan
mengeluarkan keringat dingin. Apalagi bagi seseorang yang belum bersinggungan
dengan hukum. Ini menarik pikir Leo sendiri.
“Silahkan, Pak. Kalau ini
untuk kepentingan penyelidikan Bu Laras.”
“Kamu sangat menghawatirkan
majikanmu?”
“Tentu saja, Pak. Bu Laras
selama ini sangat baik pada saya. Saya akan sanngat sedih jika terjadi sesuatu
padanya.” Wajahnya kini berubah sendu. Tampak menekan perasaan agar tidak
menangis.
“Kamu dekat dengannya?”
Tini menggeleng. “ Tidak
terlalu. Tapi Bu Laras selalu baik.”
Leo Batubara mencatat
setiap yang dikatakan Tini.
“Kudengar kamu sempat
pulang ke kampung halaman setelah Bu Laras mengilang, betul?”
Tini mengangguk. “Iya,
Pak. Untk menghadiri hajat pernikahan saudara sepupu saya.”
Leo menganggukkan
kepala. “Bukan untuk menyusun sebuah rencana?” Leo mengamati lekuk wajah Tini
yang kini berubah masam dan penuh amarah. “Ah, waktu tiga hari pasti cukup
untuk melakukan sesuatu.”
“Saya tidak mengerti
maksud perkataan Pak Leo.” Tini mulai merasa tidak nyaman. Berbanding terbalik
ketika saat awal diwawancari yang begitu terlihat tenang. Namun, perempuan itu
dengan cepat menguasaia diri lagi. Melihat gelatat itu, Leo menyadari bahwa mungkin ada
sesutu yang saat ini ditutupi pembantu rumah tangga itu. Siapa tahu?
“Di mana kampung halamanmu?”
Tini diam sebentar. Keningnya
berkerut. Dia menggingit bibir dan
menarik napas lalu mengeluarkan kata Sleman dengan terbata. Leo Batubara tersenyum dan mencatat kesaksian
Pembantu rumaah tanggaa itu. Kasus yang unik. Leo berkesimpulan. Bagaiamana tidak? Orang-orang di sekitar Laras ternyata semua berasal dari Slema. Belum lagi
tentang cerita dari Andi Samir tentang seorang tamu yang pernah dilihat putrinya—Shafira
bersama Tini dulu. Tamu itu juga membicarakan Sleman.
“Jadi kau satu daerah
dengan Bu Laras?”
Tini menganggku. “Tapi saya baru mengenalnya
ketika saya bekerja di sini. Sleman itu luas, Pak.” Leo merasakan Tini tidak
terlalu suka jika dia disangkut pautkan dengan menghilangnya sang majikan.
Perempuan itu kini seperti
cacing kepanasan yang ingin segera mengakhiri sesi wawancara.
“Masih ada yang
ingin Pak Leo tanyakan? Saya harus menyiapkan makan siang.”
“Kamu sangat sibuk? Baiklah
satu pertanyaan lagi.” Leo manarik napas.
“Apa tidak ada yang
mencurigakan sebelum Bu Laras menghilang?”
Tini nampak berpikir. “Mungkin
ada tamu yang mencurigakan?” Leo menatap Tini yang kini membelalakkan mata.
“Bapak sudah tahu tentang
tamu itu?” Tini malah balas bertanya.
“Sedikit banyak. Kami masih
dalama proses menyelidikinya.”
“Yah, Pak Leo harus
menyelidiknya. Tamu ini sungguh misterius. Saat dia tiba-tiba datang, wajah Bu
Laras langsung ketakutan. Pias dan merah padam.” Tini menghentikan ceritanya
sebentar.
“Kalau saya lihat Bu Laras
terlihat kaget dan ingin marah.”
“Siapa tamu itu?”
Tini menggeleng. “Saya
tidak tahu. Karena setelah saya kembali untuk membawakaan minuman, tamu itu
sudah hilang. Pun dengan Bu Laras.”
“Kapan kejadian itu
terjadi?”
“Satu minggu sebelum Bu
Laras hilang.”
“Kau yakin tidak mengenal
tamu itu?”
Tini menggeleng. “Itu
pertama kali datang.”
“Jadi maksudmu tamu itu
bukan wanita gemuk yang diceritakan Shafira.”
Tini tercekat dan kemudian
menggeleng. “Bukan tamu itu laki-laki.”
Leo mengeryitkan dahi. Potongan
puzle tentang hilangnya Laras Pandanwangi semakin lebar.
“Bagaimana
ciri-cirinya?”
Tini menarik napas panjang.
“Dia setinggi Pak Leo. Saya tidak terlalu ingat wajahnya, karena saat itu
tertutup topi. Tapi sorot matanya sangat tajam.”
“Apa kamu sempat
mendengar apa yang mereka bicarakan?”
Tini mengangguk. “Sedikit
Pak.”
Leo tersenyum, mungkin ada
titik terang dari kesaksian Tini.
“Apa yang mereka
bicarakan?” Leo Mengejar. “Bisa kmau ceritakan pertemuan mereka secara detail?”
Tini mengangguk pelan.
“Hari itu tanggal 24
Desember 2014. Hujan turun dengan deras. Saya sedang menyiapkaan makan siang. Anak-anak
sedang bersama dengan Ida seperti biasa. Dan Bu Laras mengurung diri di ruang
pribadinya. Bu Lara sangat suka melukis. Itulah yang sering dilakukaan di ruang
pribadinya.” Tini menghela napas sebelum melanjutkan ceritanya.
Satu lagi berita yang Leo
Batubara baru tahu, bahwa Laras padanwangi adalah seorang yang suka melukis.
“Ketika tibaa-tiba bel
berbunyi, saya pun bergegas untuk membukakan pintu. Tapi ..., di sana ternyata
sudah ada Bu Laras yang berdiri mematung melihat sosok di depannya. Saya memincingkan
mata mencoba ingin melihat siapa yang datang. Tapi tidak telihat jelas. Seperti
yang saya katakan tadi. Lelakai itu bertopi. Tapi saat saya sampai di sana,
saya mendengar Lelaki itu menyebut tentang masa lalu antara dia dan Bu Laras
semacam SMA.”
Leo Batubara terkesiap. Apa
itu mungkin? Dia bertanya-tanya.
“Tamunya tidak
dipersilahkan masuk, Bu? Saya memecahkan kekagetan Bu Laras. Bu Laras menatap
sekilas padaa saya. Lalu tersenyum kecil
dan menyuruh saya kembali ke dapur. Tentu saja saya menurut. Dan segera
menyiapkan minuman untuk tamu itu. Tapi ketika saya kembali, Bu Laras dan tamu
misterius itu sudah tidak ada.” Tini mengakhiri cerita.
Leo Batubara menganggukkan
kepala. Kesaksian ini sangat penting.
“Jadi begitu, Pak. Apa sekarang
saya sudah boleh kembali dengan pekerjaan saya. Sa
ya harus menyiapkan makan
siang.” Tini memecahkan pikiran Leo yang tengah meraba-raba kasus ini.
“Silahkan. Terima kasih
atas waktunya. Apa kamu tidak keberataan jika suatu saat saya datang lagi
untuk meminta kesaksiaan lagi?”
“Dengan senang hati, Pak. Saya
akan membantu agar Bu Laras segera ditemukan.”
Leo Batubara tersenyum
simpul. Dia meyerutup kopi yang tadi Tini berikan hingga tandas. Lalu memeriksa
handphone-nya yang ternyata ada banyak panggilan dari Andi Samir sampai sembilan kali.
Ada apa lagi ini? Leo Batubara segera menghubungi Andi Samir
dan bergegas pergi.
No comments:
Post a Comment