Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 19 Februari 2017
Judul : Laba-Laba yang Terus Merajut
Sarangnya
Penulis : Adi Zam Zam
Penerbit : UNSA Press
Cetakan : Pertama, Juli 2016
Halaman : viii + 174 hlm
ISBN : 978-602-74393-0-6
Peresensi : Ratnani Latifah.
Dalam ilmu mantiq (ilmu logika)
manusia dikatakan sebagai, al insanu hayawanun natiq, yang artinya
manusia adalah binatang yang berakal atau bisa berpikir. Dalam Al-quran juga disinggung, perihal
orang-orang yang zalim, kurang bersykur
digambarkan setara atau lebih rendah dari binatang.
Hanya akal atau pikiran-lah yang
menjadi pembeda antara manusia dan binatang. Melalui konsep ini, Adi Zam Zam
penulis asal Jepara, mencoba menuangkan ide yang menggambarkan perilaku manusia
melalui metafora binatang. Penulis berharap dengan adanya buku ini bisa dijadikan
perenungan diri. Kumpulan cerpen ini terdiri dari 17 cerita ini sangat memikat
dan penuh perenungan yang inspiratif.
Cerpen “Laba-laba yang Terus Merajut
Sarangnya” Menggambarkan persamaan nasib perempuan yang selalu mengalah, pemaaf dan
pejuang sejati. Laksana laba-laba. Meski
berkali-kali sarangnya dihancurkan, dia masih saja selalu merajut sarangnya
kembali. Seperti tidak pernah merasa lelah dan sakit hati (hal 9).
Sedangkan perempuan yang dikekang suaminya,
digambarkan sebagai burung yang tekurung
dalam sangkar. Mereka sama-sama terkurung dan tidak bisa terbang dengan bebas.
Kisah ini bisa ditemukan dalam cerpen “Sangkar di Atas Leher.” (hal 11).
Tidak kalah menarik adalah “Lolongan
Tengah Malam”. Dalam kisah ini penulis menggambarkan kesamaan nasib anjing dan
perempuan pelacur di sebuah stasiun. Mereka sama-sama menunggu. Berharap sebuah
pertolongan. Namun tidak seorang pun yang mau menolong.
Ada sindiran halus mengenai
kebiasaan manusia yang hanya melihat seseorang dari penampilan saja.
Ketika orang memiliki jabatan, maka
mereka dihormati. Berbeda jika orang itu memiliki strata rendah. Mereka hanya
dianggap sampah, tidak berguna.
Atau
“Kepala Tikus”. Cerpen ini mengambarkan para koruptor sebagai seekor
tikus yang selalu mengambil apa-apa yang bukan miliknya. Kisah ini dijabarkan
dengan baik melalui tokoh Pak Brojo dan tokoh ‘aku’ (hal 39).
Selain menggunakan metafora tipe
manusia lewat binatang, penulis juga menggugah jiwa lewat cerpen yang sangat
kental dengan unsur religius. Mengajarkan pembaca agar selalu menjaga
lisan. “Karena prasangka buruk dan lisan yang tak terjaga hanya akan membuat
kita seperti memakan daging saudara, menelan bau busuk di sepanjang masa” (hal
139).
Gaya bahasanya halus namun sangat
menyentil. Pemilihan sudut pandang, plot
dan alur juga dieksekusi dengan sangat baik. Judul-judul cerpen yang memikat,
mengundang rasa penasaran dan ditutup dengan twist ending yang memukau. Sebuah
buku yang recomended untuk dibaca. Pesan-pesan yang tersirat dan tersurat
dari buku ini bisa dijadikan renungan untuk memperbaiki diri. Beberapa kelemhannya tidak mengurangi
keunikan buku ini.
Srobyong, 11 November 2016
keren resendinya... salam blogger mbak
ReplyDeletewww.kananta.com
Terima kasih, salam blogger juga ^_^
DeleteSepertinya cerita yang menarik :)
ReplyDeleteIya, ceritanya menarik Mbak ^_^
Delete