Dimuat di Duta Masyarakat, Minggu 12 Maret 2017
Judul : Tanah Merah Surga
Penulis : Arafat Nur
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Pertama, Januari 2017
Tebal :
312 hlm
ISBN : 978-602-03-3335-9
Persensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.
Bisa dibilang novel ‘Tanah Merah
Surga’— yang merupakan pemenang unggulan
“Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2016”
merupakan novel yang sangat berani. Bagaimana tidak? Dalam buku ini pembaca akan dikejutkan dengan
setiap kalimat yang menyentak dan
membuat kita mengangguk setuju. Karena memang begitulah keadaan yang sebenarnya
telah terjadi. Di sini penulis menjadikan konflik politik di Nangroe
Aceh Darussalam (NAD) sebagai latar cerita yang penuh kejutan dan perenungan.
Selain mengangkat isu politik, penulis juga mengemasnya dengan ide lain yang tidak
kalah segar—tentang kritik sosial juga tentang
minat baca yang rendah.
Kisahnya sendiri dimulai dengan
kembalinya Murad –mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) juga mantan anggota
Partai Merah yang sudah lima tahun
dijadikan buronan karena telah membunuh Jumadil, anggota dewan dan tokoh
penting Partai Merah (hal 24). Kerinduan
yang memuncak pada tanah kelahirannya, membuat Murad nekat untuk pulang
kampung. Bagaimana pun hidup di tanah
sendiri lebih menyenangkan dari pada harus hidup dalam pelarian.
Hanya saja meski sebisa mungkin
Murad sudah menyamarkan diri, ternyata masih banyak anggota Partai Merah yang
mengenalinya. Beruntung Murad masih bisa berkelit. Dia bersembunyi di rumah
sahabatnya, Abduh. Di sini Murad jadi mengetahui masalah minat baca yang
rendah masih terus menghantui warga Aceh.
“Tolong jangan paksa aku membaca
buku. Aku ini orang Aceh yang tidak suka baca buku. Jangan paksa aku. Membaca
buku bisa membuatku mati. Suruh saja aku lari seribu meter, aku akan lari
seribu meter daripada membaca satu halaman buku.” (hal 98-99).
Murad sungguh miris. Padahal dalam
Al-Quran sendiri para umat dianjurkan untuk membaca. Tapi sepertinya warga Aceh
sudah tidak terlalu peduli dengan kandungan Al-Quran. Di sisi lain, ketika dia
mengunjungi sahabat-sahabat seperjungannya dulu, Murad dikejutkan dengan
banyaknya perubahan yang tidak pernah dia duga.
“Tiba-tiba saja aku merasa asing
pada tanah kelahiranku yang pulang ke rumah sendiri pun harus diam-diam dan
sembunyi-sembunyi seperti pencuri. Orang-orang dekat dan sahabat karib kini
menjadi musuh, bahkan mereka hendak membunuhku. Sementara aku harus menjauhi
keluarga dan teman-teman dekat yang tidak terlibat politik. Sungguh asing
negeri ini. Tanah ini rumahku, surgaku; tanah merah surga.” (hal 129).
Dan yang lebih membuat Murad merasa
sedih adalah bagaimana roda pemerintah yang ada di Aceh saat itu. Aceh yang
katanya digadang-gadang sebagai Serambi Mekah yang menetapkan hukum Islam dalam segala peradilan, namun
kenyataan tidak sesuai dengan pernyataan.
“Tampaknya pemberlakukan hukum ini
gagal total dan tidak ada yang peduli. Sekalipun dicambuk, hubungan
terlarang—pacaran terus saja terulang. Lagi pula hukuman keras ini hanya bisa
diberlakukan untuk rakyat jelata yang lemah, sedangkan pejabat yang berzina
sama sekali luput dari hukuman. Bahkan yang terbukti korupsi akan segera
dibebaskan setelah menemukan kesepakatan bersama, dan hakim pun dengan senang
hati menerima bagian hasil jarahan daripada sibuk menghukum orang-orang jahat
yang punya banyak uang.” (hal 66-67).
Dan kisah semakin seru dengan
keberadaan Murad yang mulai tercium aparat. Di mana dia semakin dijadikan
kambing hitam dalam kisruh pemilu yang saat itu akan dilaksanakn dua bulan lagi.
Membaca novel ini kita akan
dikenalkan tentang dunia politik yang keras dan penuh intrik. Di mana kita
tidak tahu siapa kawan siapa lawan. Bahkan kadang jalan kotor bisa dijadikan
jalan asal membantu untuk mewujudkan ambisi yang dimiliki. Selain itu kita juga
diajak menyelami masalah kritik sosial. Di mana pemerintah gagal dalam menjaga
amanah yang dibebankan pada mereka. Banyak dana-dana yang tidak diberikan pada
tempatnya, juga perilah korupis hukum, menganut paham uang adalah raja, yang
bisa membeli apa saja. termasuk kebebasan dari jerat hukum.
Dipaparkan dengan gaya bahasa yang
tidak monoton membuat novel ini nyaman dibaca. Untuk kesalahan tulisan pun
sangat minim. Hanya saja untuk beberapa bagian saya merasa kurang konflik yang
membuat tegang dan terkejut. Tapi lepas dari itu, novel ini patut dibaca.
Karena novel ini memberi banyak pembelajaran yang bisa dijadikan renungan. Termasuk
masalah keagamaan yang kadang masih disepelekan.
Srobyong, 2 Maret 2017
No comments:
Post a Comment