Dimuat di Jateng Pos, Minggu 5 Maret 2017
Judul : Arabian Nights
Penulis : Husain Haddawy
Penerjemah :Rahmani Astuti
Penerbit : Qanita
Tebal : 700 hlm
Cetakan : Pertama,
Oktober 2016
ISBN :
978-602-402-046-0
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Unisnu Jepara.
Membicarakan asal mula munculnya
buku ini sejatinya, cukup membingungkan. Karena tercatat banyak versi hingga
akhirnya cerita ini tersebar dan kemudian menjadi karya klasik yang banyak
disukai. Buku ini unik dan sangat memikat. Gaya bahasa dalam bercerita lues dan
sangat lihai dalam mengajak pembaca ikut terjebak dengan rasa penasaran, hingga
ingin melanjutkan setiap kisah lagi dan lagi. Bisa dibilang kisah-kisah dalam
buku ini seolah mengalihkan, mengobati dan menyelamatkan jiwa. Karya ini
terdiri dari empat kategori cerita—kisah binatang, dongeng, roman dan komik
serta hikayat-hikayat sejarah (hal 11).
Kisah dimulai dengan kisah Raja
Syahrayar dan Syahrazad—putri wazirnya. Di mana dipaparkan bahwa Raja Syahrayar
yang memimpin kerajaan di India dan Indocina, memiliki adik yang juga memimpin
kerajaan di tanah Samarkand, bernama Syahzaman. Pada suatu waktu Syahzaman
memergoki istrinya berselingkuh dengan sang juru masak. Hal itu sungguh memukul Syahzaman
hingga lebih suka murung.
Dalam kemurungannya itu, Syahzaman
memutuskan mengunjungi kakaknya. Tapi tetap saja pertemuannya dengan sang
kakak, tidak bisa menyembuhkan kesedihan akibat sebuah penghianatan. Dia terus
bertanya-tanya, “Kenapa kesialan ini menimpa orang seperti aku! Tak seorang
pun pernah melihat apa yang telah kulihat.” (hal 51).
Sampai sebuah kejadian yang dilakukan
istri kakaknya, Syahrayar yang kemudian membuat Syahzaman kembali ceria. Dia
berkata, “ternyata yang terjadi padaku sungguh lebih kecil jika dibandingkan
dengan itu. Aku selama ini mengira bahwa akulah satu-satunya orang yang
menderita, tetapi dari apa yang aku lihat, ternyata semua orang menderita. Demi
Tuhan kemalanganku lebih ringan dibandingkan kemalangan kakakku.” (hal 53).
Syahrayar pun penasaran ada gerangan
apa yang membuat adiknya kembali semringah setelah sekian lama terjebak pada
kesedihan. Syahzaman sebenarnya tidak ingin memberitahu, dia tidak tega melihat
dampak apa yang akan terjadi pada kakaknya. Hanya saja kakaknya terus memaksa hingga
akhirnya perbutan tercela istri dan selir-selirnya dilihat dengan kepalanya
sendiri.
Syahrayar marah, lalu sejak itu dia
membuat keputusan akan menikah hanya untuk satu malam dan membunuh wanita itu
keesokan harinya, agar terhindar dari kelicikan dan kejahatan wanita. Kenyataan
ini tentu saja membuat semua ibu-ibu khawatir. Banyak wanita muda di India yang
meninggal. Keadaan itulah yang kemudian membuat Syahrazad ingin menikah dengan
raja, agar bisa mengentikan perbuatan keji itu. Dia memiliki strategi yang
menarik. Hanya saja berhasil atau tidaknya itu masih menjadi misteri.
Setalah kisah itu, perlahan pembaca
akan digiring dengan kisah-kisah lain di setiap malam yang sangat menarik dan
selalu mengundang rasa penasaran untuk terus membaca lagi dan lagi. Seperti kisah Pedagang dan Jin, lalu kisah Nelayan dan Jin Nabi Sulaiman, Kisah
Raja Yunan dan Orang Bijak, Kisah Suami dan Burung Beo, Kisah Raja yang
Tersihir dan masih banyak lagi.
Penulis sangat pandai membangun rasa penasaran
pembaca agar tidak berhenti membaca. Kelebihan lainnya adalah terjemahan buku
ini juga sangat lugas, enak dibaca. Hanya saja dalam buku ini masih ditemukan
beberapa kesalahan tulis. Namun tentu saja itu tidak mengurangi keseruan
cerita.
Buku ini sunggah sarat makna. Banyak
hal yang bisa dimbil untuk renungan dan muhasabah. Seperti anjuran untuk ikhlas
ketika menerima segala cobaan dari Allah.
Selalu berhati-hati dengan segala tindakan yang kita lakukan. Karena
karma itu masih berlaku. Selalu ada balasan dari perbuatan kita. Ada juga nasihat
tersirat agar tidak suka menggunjing.
“Barang siapa membicarakan apa yang
tidak bersangkutan dengan dirinya, akan mendengar apa yang tidak menyenangkan
darinya.” (hal 156).
Serta larangan agar tidak suka
berbohong “Meskipun suatu kebohongan mungkin dapat menyelamatkan nyawa
seseorang, kebenaran itu lebih baik dan lebih aman.” (hal282). Selalu berkata jujur, “Jujurlah, meskipun
kejujuran itu akan menyiksamu dengan api neraka.” (hal 290).
Srobyong, 20 Februari 2017
Memang cara mbak Ratna meresensi itu enak dibaca 😊
ReplyDeleteTerima kasih Mbak, sudah mampir membaca ^_^
ReplyDelete