Dimuat di Radar Surabaya, Minggu 5 Februari 2017
Judul : Sang Penakluk Kutukan
Penulis : Arul Chandrana
Penerbit : Republika
Cetakan : Pertama, Februari 2016
Halaman : viii + 289 hlm
ISBN : 978-602-0822-18-1
Peresensi : Ratnani Latifah, lulusan Universitas
Islam Nahdlatul Ulama Jepara, Jateng.
Ini
adalah naskah asli ketika mengirim ke Radar Surabaya. Hanya saja ketika dimuat
sepertinya ada pemotongan sedikit dari redaksi. Dan yang lebih membuat agak
nyesek adalah kesalahan penulisan nama peresensi yang ditulis Annisa L meski di kolom berikutnya tetap ada di tulis nama Ratnani Latifah.
Tapi tetap saja sedikit banyak merasa entah. Kenapa nama penulis resensi
keliru, ya? L
****
“Tidak semua yang diceritakan orang
banyak adalah kebenaran, kadang kala kebenaran ada di dalam kisah yang paling
jarang diceritakan.” (hal. 122)
Mitos memang selalu asyik untuk
dibicarakan. Dan kenyataanya, banyak orang akan lebih mempercayai apa yang
banyak didengar dari pada, sejarah yang jarang diungkapkan. Sebagaimana yang termaktub dalam kisah
ini. Sebuah novel, yang selain menyuguhkan
kisah persahabatan yang cukup unik, dipaparkan juga sebuah mitos yang menarik.
Tidak ketinggalan, pembaca bisa menikmati keindahan Pulau Bawean—sebuah pulau
yang terletak di laut Jawa, kabupaten Gresik,
Jawa Timur.
Desa Kumalasa adalah salah satu desa
kecil di Pulau Bawean. Wilayah laut Desa Kumalasa bernama
Labbhuan. Ada sejarah kenapa diberi nama tersebut. Dan di sana ada
sebuah ada sebuah mitos tentang makhluk
kutukan bernama Akdong yang tinggal di tempat itu. sosok yang dienyahkan dari desa sepuluh tahun
lalu (hal. 3).
Konon katanya, Akdong pernah
terdampar di Pulau Karabillo—pulau yang terletak di sebelah selatan Pulau
Bawean dan berada di wilayah Kecamatan Tambak. Di sana di kenal sebagai tempat
para jin berada juga tempat pesugihan berada (hal. 78-79). Akdong disinyalir
sebagai salah satu pengikut jin.
Sebagaimana warga pada umumnya,
Ranti pada awalnya mempercayai mitos tersebut. Dia takut dengen keberadan
Akdong dan membencinya. Sampai kemudian sebuah kejadian-- Ranti bertemu Akdong
dan Aknang—putra Akdong, dan itu merubah pandangannya. Kejadian itu terjadi
ketika Ranti pergi dengan ramanya ke Pantai Labbhuan—tempat yang unik. Dia
berada di lereng perbukitan berhutan lebat yang membentang hampir di sepanjang
pantainya. Dan yang paling unik adalah,
pada salah satu bagian kaki bukit yang mengitarinya terdapat sumber air tawar
yang tak pernah kering (hal. 82-83).
Selain karena sudah bertemu dengan
makhluk kutukan itu, Ranti pada akhirnya mengetahui kebenaran yang selama ini
disembunyikan warga Bawean. Gadis yang masih duduk di bangku sekolah dasar itu,
kemudian bersahabat dengan Aknang secara diam-diam. Sayangnya persahabatan itu berbuah petaka
pada keluarga Ranti, ketika kenyataan itu terkuak karena sahabat dekat Ranti
lainnya—Hekma. Sahabat yang selalu setia membantu Ranti, ketika dirinya selalu
dibully teman-temannya, karena tidak suka dengan pekerjaan ramanya, yang
seorang tabib. Entah bagaimana nasib
Ranti dan keluarganya kemudian. Juga nasib Akdong dan Aknang yang semakin
dibenci warga.
Novel ini diceritakan dengan gaya
bahasa yang renyah, sehingga sangat asyik untuk diikuti. Selain itu, lokalitasnya
pun sangat terasa. Hal itu bisa dililahat dari pemakaian asli bahasa daerah di
sana, serta pemaparan setting-nya. Seperti benar-benar berada di Bawean.
Saya jadi ingin berkunjung ke Pantai Labbhuan, yang kata kebanyakan turis
pantai ini pantas dilestarikan dan dijadikan salah satu icon pariwisata di Jawa Timur. Belum lagi penokohan Ranti yang polos dan
apa adanya.
Hanya saja saya masih menemukan
beberapa typo yang berseliweran dalam buku ini. Selain itu saya lebih suka
untuk arti bahasa daerahnya itu menjadi footnote daripada berada di
halaman catatan di belakang.
Lepas dari kekurangannya, buku ini
sangat direkomendasikan. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini.
Seperti arti pentingnya kejujuran, rasa kemanusiaan, menghindari rasa iri,
jangan berbuat jahat antara sesama makluk Tuhan, tentang arti penting dari persahabatan. “Persahabatan sesungguhnya hanya
membutuhkan ketulusan perasaan, bukan manisnya perkataan” (hal. 136). Serta anjuran untuk tidak suka memfitnah. “Menuduh
seseorang melakukan kejahatan yang tidak dia lakukan adalah sebuah kejahatan.
Buktikan dulu dugaanmu, barulah tunjukkan tuduhanmu.” (hal. 214). Menngajak
kita berpikir ulang dalam berkata harus melihat situasi dan kenyataan yang ada.
Hanya jangan asal menuduh tanpa ada bukti yang nyata.
Srobyong, 27 Oktober 2016
reviewnya keren... mau beli buku ini ah.. cari2 dahulu..hehe
ReplyDeletewww.kananta.com
Terima kasih. Sok atuh ayao diburu. ^_^
Delete