Tuesday 21 February 2017

[Resensi] Mitos, Persahabatan dan Keindahan Pulau Bawean

Dimuat di Radar Surabaya, Minggu 5 Februari 2017

Judul               : Sang Penakluk Kutukan
Penulis             : Arul Chandrana
Penerbit           : Republika
Cetakan           : Pertama, Februari 2016
Halaman          : viii + 289 hlm
ISBN               : 978-602-0822-18-1
Peresensi         : Ratnani Latifah, lulusan Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara, Jateng.

Ini adalah naskah asli ketika mengirim ke Radar Surabaya. Hanya saja ketika dimuat sepertinya ada pemotongan sedikit dari redaksi. Dan yang lebih membuat agak nyesek adalah kesalahan penulisan nama peresensi yang ditulis Annisa L meski di kolom berikutnya tetap ada di tulis nama Ratnani Latifah. Tapi tetap saja sedikit banyak merasa entah. Kenapa nama penulis resensi keliru, ya? L

****

“Tidak semua yang diceritakan orang banyak adalah kebenaran, kadang kala kebenaran ada di dalam kisah yang paling jarang diceritakan.” (hal. 122)

Mitos memang selalu asyik untuk dibicarakan.  Dan kenyataanya,  banyak orang akan lebih mempercayai apa yang banyak didengar dari pada, sejarah yang jarang diungkapkan.  Sebagaimana yang termaktub dalam kisah ini.  Sebuah novel, yang selain menyuguhkan kisah persahabatan yang cukup unik, dipaparkan juga sebuah mitos yang menarik. Tidak ketinggalan, pembaca bisa menikmati keindahan Pulau Bawean—sebuah pulau yang terletak  di laut Jawa, kabupaten Gresik, Jawa Timur. 

Desa Kumalasa adalah salah satu desa kecil di Pulau Bawean. Wilayah laut Desa Kumalasa   bernama  Labbhuan. Ada sejarah kenapa diberi nama tersebut. Dan di sana ada sebuah  ada sebuah mitos tentang makhluk kutukan bernama Akdong yang tinggal di tempat itu.  sosok yang dienyahkan dari desa sepuluh tahun lalu (hal. 3).

Konon katanya, Akdong pernah terdampar di Pulau Karabillo—pulau yang terletak di sebelah selatan Pulau Bawean dan berada di wilayah Kecamatan Tambak. Di sana di kenal sebagai tempat para jin berada juga tempat pesugihan berada (hal. 78-79). Akdong disinyalir sebagai salah satu pengikut jin.
Sebagaimana warga pada umumnya, Ranti pada awalnya mempercayai mitos tersebut. Dia takut dengen keberadan Akdong dan membencinya. Sampai kemudian sebuah kejadian-- Ranti bertemu Akdong dan Aknang—putra Akdong, dan itu merubah pandangannya. Kejadian itu terjadi ketika Ranti pergi dengan ramanya ke Pantai Labbhuan—tempat yang unik. Dia berada di lereng perbukitan berhutan lebat yang membentang hampir di sepanjang pantainya.  Dan yang paling unik adalah, pada salah satu bagian kaki bukit yang mengitarinya terdapat sumber air tawar yang tak pernah kering (hal. 82-83).

Selain karena sudah bertemu dengan makhluk kutukan itu, Ranti pada akhirnya mengetahui kebenaran yang selama ini disembunyikan warga Bawean. Gadis yang masih duduk di bangku sekolah dasar itu, kemudian bersahabat dengan Aknang secara diam-diam.  Sayangnya persahabatan itu berbuah petaka pada keluarga Ranti, ketika kenyataan itu terkuak karena sahabat dekat Ranti lainnya—Hekma. Sahabat yang selalu setia membantu Ranti, ketika dirinya selalu dibully teman-temannya, karena tidak suka dengan pekerjaan ramanya, yang seorang tabib.  Entah bagaimana nasib Ranti dan keluarganya kemudian. Juga nasib Akdong dan Aknang yang semakin dibenci warga.

Novel ini diceritakan dengan gaya bahasa yang renyah, sehingga sangat asyik untuk diikuti. Selain itu, lokalitasnya pun sangat terasa. Hal itu bisa dililahat dari pemakaian asli bahasa daerah di sana, serta pemaparan setting-nya. Seperti benar-benar berada di Bawean. Saya jadi ingin berkunjung ke Pantai Labbhuan, yang kata kebanyakan turis pantai ini pantas dilestarikan dan dijadikan salah satu  icon pariwisata di Jawa Timur.   Belum lagi penokohan Ranti yang polos dan apa adanya.

Hanya saja saya masih menemukan beberapa typo yang berseliweran dalam buku ini. Selain itu saya lebih suka untuk arti bahasa daerahnya itu menjadi footnote daripada berada di halaman catatan di belakang.

Lepas dari kekurangannya, buku ini sangat direkomendasikan. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini. Seperti arti pentingnya kejujuran, rasa kemanusiaan, menghindari rasa iri, jangan berbuat jahat antara sesama makluk Tuhan,  tentang arti penting dari persahabatan.  “Persahabatan sesungguhnya hanya membutuhkan ketulusan perasaan, bukan manisnya perkataan” (hal. 136).  Serta anjuran untuk tidak suka memfitnah. “Menuduh seseorang melakukan kejahatan yang tidak dia lakukan adalah sebuah kejahatan. Buktikan dulu dugaanmu, barulah tunjukkan tuduhanmu.” (hal. 214). Menngajak kita berpikir ulang dalam berkata harus melihat situasi dan kenyataan yang ada. Hanya jangan asal menuduh tanpa ada bukti yang nyata.


Srobyong, 27 Oktober 2016 

2 comments:

  1. reviewnya keren... mau beli buku ini ah.. cari2 dahulu..hehe


    www.kananta.com

    ReplyDelete