Dimuat di Koran Jakarta, Selasa 7 Februari 2017
Judul :
The Geography of Genius
Penulis : Eric Weiner
Penerbit : Qanita
Cetakan : Pertama, Juni 2016
Tebal : 576 hlm
ISBN : 978-602-402-024-8
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.
Naskah ini merupakan resensi versi ke-2 dari buku "The Geography of Genius" karya Eric Weiner. Versi Satu bisa dilihat di sini Dan ini adalah naskah asli ketika mengirim sebelum ada sedikit revisi dari redaksi yang bisa di baca di sini (Koran Jakarta)
Eric Winer memiliki pendapat bahwa
sejarah suatu negara memiliki keterkaitan dengan adanya orang jenius. Karena itu, dia mencoba mencari dan
mengulik tempat-tempat paling kreatif di dunia untuk menemukan hubungan antara
lingkungan dan ide-ide inovatif, lalu meredefinisi argumen tentang bagaimana
seorang jenius muncul.
Selama ini sebagian orang sering
mendefinisikan jenius sebagai seorang
yang sangat cerdas dan memiliki IQ tinggi. Padahal pendapat itu tidak seratus
persen benar. Pada kenyataan di lingkungan masyarakat, orang ber-IQ tinggi
belum tentu memiliki banyak prestasi dan sebaliknya orang yang memiliki IQ rata-rata bisa melakukan
hal-hal yang besar dan menakjubkan.
Negara yang pertama disambangi
adalah Athena, Yunani—pusat peradaban tertua di Eropa. Pada zaman keemasannya Yunani merupakan negara
yang paling menonjol dengan segala ilmu pengetahuan yang dimiliki. Banyak
orang-orang jenius yang berasal dari sana. Di antaranya adalah Plato,
Aristotales, Archimades, Thales dan banyak lagi. Dari perjalannya Eric
menyimpulkan bahwa Athena penuh dengan orang-orang jenius itu karena beberapa
alasan.
Mereka menghargai alam dan manfaat
berjalan. Hidup dengan sederhana dan
menyederhanakan diri. Suka persaingan,
tapi bukan untuk kejayaan pribadi. Tidak takut akan perubahan atau bahkan
kematian. Merangkul ketidak pastian
dengan segala resiko, tetap terbuka dalam segala hal, bahkan ketika akal sehat
mungkin memerintahkan sebaliknya. (hal 116).
Bahwa genius bukan hanya tentang akal tapi juga melibatkan emosi,
hubungan masyarakat dan berani mengambil resiko.
Dari Athena, Eric menuju Huangzhou,
China. Kota ini merupakan kota paling kaya dan berpenduduk paling padat di
dunia sekaligus kota yang paling inovatif. Di saat Amerika masih merangkak,
China sudah menunjukkan taringnya dengan segala peradaban ilmu pengetahuan yang
membawa kemajuan bagi negaranya. China
menciptakan bubuk mesiu, kembang api,
tekstil, porselen terbaik di dunia serta memelopori kemajuan di bidang
kelautan.
Apa yang membuat negara itu penuh
dengan orang-orang genius adalah Huangzhou merangkul teknologi baru, suka
membaca berbagai literatur klasik, memiliki cita rasa yang tinggi terhadap seni,
dan menganggap menulis adalah kegiatan kreatif dan tidak mudah putus asa.
Para jenius memiliki tekad sekuat
baja serta kerelaan untuk mengulangi
lagi dan lagi sehingga, walaupun tidak sesuai dengan gagasan romantis kita
mengenai penciptaan tanpa susah payah, tekad tetap menjadi faktor penting. Yang membedakan orang
genius dari orang gagal sebenarnya bukan berapa kali dia berhasil, melaikan
berapa kali dia memulai dari awal (hal 139). Selain itu di Huangzhou adalah negara yang
sangat menjunjung tinggi tradisi. “Tradisi bukan sesuatu yang perlu dijauhi oleh
orang-orang inovatif melainkan sesuatu yang perlu dirangkul” (hal 156).
Sedangkan di Florence, kejeniusan memiliki keterkaitan yang erat
dengan uang. Namun begitu, uang yang
dimiliki diinvestasikan pada pengetahuan. Hal itu bisa dilihat dari kecintaan
mereka pada buku dan kepedulian pada orang yang membutuhkan. Pada abad ke-15
buku sama dengan harga mobil saat ini dalam konteks relatif. Tapi buku tetap
diburu. Saat itu para humaris memang percaya buku itu mengandung tak
kurang dari rahasia kehidupan dan
kedatangan manuskrip baru disambut dengan antusiasme yang sama seperti bila
kita menyambut kedatangan iphone versi terbaru (hal 235).
Selain tiga negara itu masih ada
Edinburgh, Kolkata, Wina sampai Silicon Valley yang disambangi Eric demi
menuntaskan rasa ingin tahunya perihal kolerasi sejarah dan lingkungan suatu negara dengan makna jenius.
Membaca buku ini menambah wawasan luas yang sangat inspiratif. Yaitu mengenal
lebih dekat negara-negara yang memiliki sumbangsih besar dan kemajuan di dunia,
serta makna jenius dari sudut pandang yang berbeda. Dipaparkan dengan bahasa yang lugas dan
sesekali humor, membuat buku ini asyik untuk dibaca.
Di sini dapat disimpulkan jenius itu
bukan hanya masalah IQ yang dimiliki tapi tentang perilaku dan bagaimana mereka
membawa diri. Jika kebanyakan dari orang biasa hanya menatap, maka orang jenius
melihat. Dalam artian, mereka tidak mengabaikan keganjilan atau menyisihkan, tapi
menyelidiki lebih jauh, mengajukan berbagai pertanyaan untuk mengetahui
kebenaran (hal 285). Selain itu para jenius cenderung berani mengambil
tantangan dan tidak mudah menyerah.
Srobyong, 27 Januari 2017
yah saya suka kesimpulannya... orang yang jenius itu emng tidak harus di ukur dengan IQnya yang tinggi tapi dengan perilakunya..
ReplyDeletesangat keren ulasannya...
www.kananta.com
Terima kasih :)
DeleteMemang jenius itu bukan hanya dinilai dari IQ,tapi juga sikap dan bagaimana mereka beradaptasi. :)
DeleteBukunya bikin ngiler mbak 😂 masuk wishlist deh hihi
ReplyDeleteHhheh, sip semoga dang bisa digenggam ya bukunya :)
Delete