Friday 24 February 2017

[Resensi] Hubungan Kegeniusan dengan Lingkungan Negara

Dimuat di Koran Jakarta, Selasa 7 Februari 2017 

Judul               :  The Geography of Genius
Penulis             : Eric Weiner
Penerbit           : Qanita
Cetakan           : Pertama, Juni 2016
Tebal               : 576 hlm
ISBN               : 978-602-402-024-8
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.

Naskah ini merupakan resensi versi ke-2 dari buku "The Geography of Genius" karya  Eric Weiner.  Versi Satu bisa dilihat di sini Dan ini adalah naskah asli ketika mengirim sebelum ada sedikit revisi dari redaksi yang bisa di baca di sini (Koran Jakarta)

Eric Winer memiliki pendapat bahwa sejarah suatu negara memiliki keterkaitan dengan adanya orang  jenius. Karena itu, dia mencoba mencari dan mengulik tempat-tempat paling kreatif di dunia untuk menemukan hubungan antara lingkungan dan ide-ide inovatif, lalu meredefinisi argumen tentang bagaimana seorang jenius muncul.

Selama ini sebagian orang sering mendefinisikan jenius  sebagai seorang yang sangat cerdas dan memiliki IQ tinggi. Padahal pendapat itu tidak seratus persen benar. Pada kenyataan di lingkungan masyarakat, orang ber-IQ tinggi belum tentu memiliki banyak prestasi dan sebaliknya orang  yang memiliki IQ rata-rata bisa melakukan hal-hal yang besar dan menakjubkan.  

Negara yang pertama disambangi adalah Athena, Yunani—pusat peradaban tertua di Eropa.  Pada zaman keemasannya Yunani merupakan negara yang paling menonjol dengan segala ilmu pengetahuan yang dimiliki. Banyak orang-orang jenius yang berasal dari sana. Di antaranya adalah Plato, Aristotales, Archimades, Thales dan banyak lagi. Dari perjalannya Eric menyimpulkan bahwa Athena penuh dengan orang-orang jenius itu karena beberapa alasan.

Mereka menghargai alam dan manfaat berjalan. Hidup  dengan sederhana dan menyederhanakan diri.  Suka persaingan, tapi bukan untuk kejayaan pribadi. Tidak takut akan perubahan atau bahkan kematian. Merangkul  ketidak pastian dengan segala resiko, tetap terbuka dalam segala hal, bahkan ketika akal sehat mungkin memerintahkan sebaliknya. (hal 116).  Bahwa genius bukan hanya tentang akal tapi juga melibatkan emosi, hubungan masyarakat dan berani mengambil resiko.

Dari Athena, Eric menuju Huangzhou, China. Kota ini merupakan kota paling kaya dan berpenduduk paling padat di dunia sekaligus kota yang paling inovatif. Di saat Amerika masih merangkak, China sudah menunjukkan taringnya dengan segala peradaban ilmu pengetahuan yang membawa kemajuan bagi negaranya.  China menciptakan bubuk mesiu,  kembang api, tekstil, porselen terbaik di dunia serta memelopori kemajuan di bidang kelautan.

Apa yang membuat negara itu penuh dengan orang-orang genius adalah Huangzhou merangkul teknologi baru, suka membaca berbagai literatur klasik, memiliki cita rasa yang tinggi terhadap seni, dan menganggap menulis adalah kegiatan kreatif dan tidak mudah putus asa.   

Para jenius memiliki tekad sekuat baja serta kerelaan  untuk mengulangi lagi dan lagi sehingga, walaupun tidak sesuai dengan gagasan romantis kita mengenai penciptaan tanpa susah payah, tekad tetap  menjadi faktor penting. Yang membedakan orang genius dari orang gagal sebenarnya bukan berapa kali dia berhasil, melaikan berapa kali dia memulai dari awal (hal 139).  Selain itu di Huangzhou adalah negara yang sangat menjunjung tinggi tradisi. “Tradisi bukan sesuatu yang perlu dijauhi oleh orang-orang inovatif melainkan sesuatu yang perlu dirangkul” (hal 156).

Sedangkan di Florence,  kejeniusan memiliki keterkaitan yang erat dengan uang.  Namun begitu, uang yang dimiliki diinvestasikan pada pengetahuan. Hal itu bisa dilihat dari kecintaan mereka pada buku dan kepedulian pada orang yang membutuhkan. Pada abad ke-15 buku sama dengan harga mobil saat ini dalam konteks relatif. Tapi buku tetap diburu. Saat itu para humaris memang percaya buku itu mengandung tak kurang  dari rahasia kehidupan dan kedatangan manuskrip baru disambut dengan antusiasme yang sama seperti bila kita  menyambut kedatangan iphone  versi terbaru (hal 235). 

Selain tiga negara itu masih ada Edinburgh, Kolkata, Wina sampai Silicon Valley yang disambangi Eric demi menuntaskan rasa ingin tahunya perihal kolerasi sejarah dan lingkungan  suatu negara dengan  makna jenius.  Membaca buku ini menambah wawasan luas yang sangat inspiratif. Yaitu mengenal lebih dekat negara-negara yang memiliki sumbangsih besar dan kemajuan di dunia, serta makna jenius dari sudut pandang yang berbeda.   Dipaparkan dengan bahasa yang lugas dan sesekali humor, membuat buku ini asyik untuk dibaca.

Di sini dapat disimpulkan jenius itu bukan hanya masalah IQ yang dimiliki tapi tentang perilaku dan bagaimana mereka membawa diri. Jika kebanyakan dari orang biasa hanya menatap, maka orang jenius melihat. Dalam artian, mereka tidak mengabaikan keganjilan atau menyisihkan, tapi menyelidiki lebih jauh, mengajukan berbagai pertanyaan untuk mengetahui kebenaran (hal 285). Selain itu para jenius cenderung berani mengambil tantangan dan tidak mudah menyerah.


Srobyong, 27 Januari 2017 

5 comments:

  1. yah saya suka kesimpulannya... orang yang jenius itu emng tidak harus di ukur dengan IQnya yang tinggi tapi dengan perilakunya..
    sangat keren ulasannya...

    www.kananta.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. Memang jenius itu bukan hanya dinilai dari IQ,tapi juga sikap dan bagaimana mereka beradaptasi. :)

      Delete
  2. Bukunya bikin ngiler mbak 😂 masuk wishlist deh hihi

    ReplyDelete