Thursday, 16 February 2017

[Resensi] Belajar Menjadi Pribadi yang Sabar dan Ikhlas dari Novel

Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu 29 Januari 2017 


Judul               : Tentang Kamu
Penulis             : Tere Liye
Penerbit           : Republika
Cetakan           : Kedua, Oktober 2016
Tebal               : vi + 524 hlm
ISBN               : 978-602-0822-34-1
Peresensi         : Ratnani Latifah. Penikmah buku dan penyuka literasi. Alumni Universitas Islam Nahlatul Ulama, Jepara.


Sabar adalah sikap yang menunjukkan kekuatan emosi untuk selalu bertahan dalam segala situasi, meski itu sangat sulit.  Sabar juga berarti tidak mudah mengeluh dan memiliki jiwa yang kokoh. Membaca novel ini, kita akan dikenalkan pada sosok yang begitu sabar dan ikhlas meski cobaan keras datang bertubi-tubi.  Tere Liye, penulis asal Sumatra kembali menyapa penggemarnya dengan buku yang sangat inspiratif.  Dia selalu memiliki ide-ide segar dan unik.

Novel ini mengisahkan tentang jejak kehidupan Sri Ningsih yang akan dipaparkan melalui perjalanan panjang dari Zaman Zulkarnaen—seorang junior associate di Thompson & co, London.  Di mana dalam kasus ini Zaman harus menemukan ahli waris Sri. Karena siapa sangka, perempuan tua yang memilih tinggal di panti Jompo di Paris, ternyata memiliki kekayaan sebesar  satu miliar poundsterling dalam bentuk saham. Dan jika dirupiahkan itu akan sama nilainya dengan 19 triliun rupiah (hal 11). 

Zaman memiliki amanah untuk memecahkan misteri ini. Tidak menunggu lama Zaman segera bertindak. Pertama, dia mendatangi panti jompo di paris—di mana dia malah mengetahui kenyataan Sri telah meninggal dan hanya meninggalkan diary tipis.  Tapi dari benda itu, pada  akhirnya  membawa Zaman kembali ke negerinya tercinta untuk mengendus perjalanan Sri Ningsih.

Pulau Bungin menjadi langkah awal mengikuti isi cacatan tersebut. Karena di sanalah Sri dilahirkan. Di sini Zaman nampak terkejut mendapati kisah perjalanan hidup Sri yang tidak terduga. Dicap sebagai anak pembawa sial dan harus menjadi anak yatim piatu di usia kecil. Tidak cukup itu Sri pun harus rela diperlakukan kasar oleh ibu tirinya.  Namun Sri menerima semua itu dengan sabar dan ikhlas.

Ketika kebencian, dendam kesumat sebesar apa pun akan luruh oleh rasa sabar. Gunung-gunung akan rata, lautan akan kering, tidak akan ada yang mampu mengalahkan rasa sabar. Selemah apa pun fisik seseorang, semiskin apa pun dia,  sekali di hatinya punya rasa sabar, dunia tidak bisa menyakitinya. Tidak bisa (hal 48).

Setelah dari Bungin, Zaman melanjutkan perjalanan ke Surakarta, ke tempat Madrasah Kiai Ma’sum. Di sini Sri hanya memiliki Tilamuta, adik tirinya sebagai anggota keluarga. Ibu tirinya meninggal dalam insiden kebakaran. Pada bagian ini Sri akhirnya menemukan dua sahabat yang sangat disayanginya. Namun rasa iri dan benci ternyata mampu menggoyahkan rasa kekerabatan itu. Bahkan Sri sampai mengalami trauma yang mendalam akibat kejadia ini.

Rasa dengki telah menjadi kebencian luar biasa, yang bahkan bisa membuat pelakunya tega membabi-buta (hal 191).

Untuk mengobati traumanya itu ... Sri memutuskan tinggal di Jakarta. Dan Zaman pun dengan setia mengikut pola perjalanan hidup Sri. Kali ini selain ada diary tipis, Zaman juga mendapat surat-surat milik Sri yang cukup membantunya dalam penyelidikan. Namun lagi-lagi Sri bagai hilang di telan bumi, setelah berhasil menjadi wanita sukses—setelah berkali-kali jatuh bangun dan mengalami kebangkrutan.  

Ternyata Sri memilih London sebagai tempatnya bersembunyi. Di sana dia sempat memiliki keluarga yang begitu baik dan bahkan menikah. Namun, tak lama setelah itu ... Sri kembali menghilang tanpa pesan apa pun. Di sini Zaman merasa buntu. Dia bertanyaa-tanya apa yang membuat Sri selalu menghilang?

Belum selesai kebingungan Zaman perihal penyelidikannya, tiba-tiba ada seseorang yang mengaku sebagaia istri Tilamuta dan merupakan ahli waris kekayaan Sri. Padahal menurut penyelidikan Zaman, Tilamuta telah meninggal. Kehidupan Sri yang penuh  puzzle-puzzle ini, menjadi tantangan besar bagi Zaman. Dia bertekad akan mengungkapkan semua kebenarannya. Itulah prinsip yang selama ini dipegangnya.

“Jika berkata jujur akan membuat empat orang jahat terbunuh mengenaskan, sedangkan berbohong akan membuat selamat, maka pilihan yang akan aku ambil adalah bersedia mati bersama dengan empat orang jahat itu demi menegakkan kebenaran” (hal 512).

Dipaparkan memakai sudut pandang orang ketiga, membuat kisah terasa hidup. Gaya bahasanya pun renyah dan gurih. Penulis pandai menyimpan kebenaran hingga akhir. Menuntun pembaca agar menyelesaikan novel ini sampai akhir. Tidak ketinggalan kejutan akhir yang mungkin tidak pernah terbayangkan.  Beberapa kekurangannya tidak menutupi keasyikan dalam membaca.

Sebuah novel yang sarat makna dan menginspirasi. Kita diajak belajar menjadi sosok yang selalu sabar dan ikhlas. Selain itu kita juga diajarkan untuk menjadi pribadi yang tidak mudah menyerah dan selalu positif thinking.

Jadilah  seperti lilin, yang tidak pernah menyesal saat nyala api membakarmu. Jadilah seperti air yang mengalir dengan sabar. Jangan pernah takut memulai hal baru (hal 278).

Srobyong, 30 Desember 2016 

 
Resensi ini merupakan resensi versi kedua. Resensi versi pertama bisa dicek di sini (salah satu resensi terpilih dari lomba resensi Tentang Kamu yang diadakan Penerbit Republika)

4 comments:

  1. Reviewnya keren :D jado penasaran :) makasih sharingnya :)

    ReplyDelete
  2. Terima kasih Mbak Hana. Monggo dijemput bukunya. Sama-sama :) Makasih juga sudah mampir di sini :)

    ReplyDelete
  3. bagus resensninya... reviewnya yang padat dan jelas... makasih berbaginya... jadi tahu..


    www.kananta.com

    ReplyDelete