Wednesday 17 February 2021

Resensi -Menyusuri Jejak yang Hilang dan Balada Anak Broken Home



Judul                : Mencari Jejak Caraka

Penulis             : I’ir Hikma

Penerbit          : Indiva Media Kreasi

Cetakan           : Pertama, November 2020

Tebal               : 216 halaman

Harga              : 60.000

ISBN                 : 978-623-253-015-7

Peresensi         : Ratnani Latifah

“Ketika  kamu sakit, ingatlah satu hal. Kamu hanya sedang diberi kekuatan untuk bertahan. Kamu senang diberi keistimewaan untuk mendapatkan hikmah. Kamu hanya sedang sangat disayang oleh sang Pencipta.” (hak 7).

Meski tidak terpilih sebagai pemenang utama,  novel “Mencari Jejak Caraka” ini tidak kalah seru daripada ketiga novel lainnya. Karena itulah novel ini menjadi salah satu novel favorit dalam Kompetisi  Menulis Novel Remaja Indiva 2019.  Kisah yang disampaikan memang menarik, Sejak awal membaca, pembaca akan digiring untuk  menemukan jejak Caraka—lebih sering dipanggil Raka, yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak, juga mengungkap alasan atau misteri alasan Raka menghilang.

Memadukan tema anak broken home, misteri, persahabatan dan  traveling, novel ini sangat menarik untuk dibaca. Apalagi kisah ini dipaparkan dengan alur campuran maju mundur, yang akan membuat kita gregetan.

Di sekolah Raka terkenal sebagai anak yang antisosial. Ia tidak pernah mau bergaul dengan teman-temannya. Karena itu pula teman-teman sekelas—kelas Bahasa—pun tidak terlalu peduli dengan Raka. Bagaimana mau peduli, ketika setiap kali didekati Raka selalu menjaga jarak? Hingga suatu hari Raka tiba-tiba menghilang tanpa jejak.

Awalnya tentu saja teman-temannya tidak terlalu ambil pusing. Mereka pikir Raka hanya membolos sebagaimana kebiasaannya sejak dulu. Sampai kemudian, Hana, sang ketua kelas dipanggil wali kelas Bahasa—yang lebih sering disebut Sensei—untuk membuat tim untuk mencari jejak Raka—Tim Peka (Pencari Raka).   Di mana salah satu alasannya karena masalah ujian yang semakin dekat.

“Satu minggu lagi stimulasi ujian akan dilaksanakan. Jadwal kalian mulai  nanti akan terus padat. Belum bimbingan belajar tiap Senin dan Jumat. Saya tidak ingin mendengar ada yang tidak ikut ujian nanti.” (hal 58).

Pada awalnya Hana merasa bingung. Kenapa ia dan kawan-kawannya yang harus mencari Raka? Bukankah mudah bagi gurunya itu untuk menghubungi orang tua Raka? Namun Hana akhirnya mengikuti perintah gurunya, meski dengan berbagai pertanyaan yang menggumpal di kepalanya. Namun dari pencarian itulah, pada akhirnya Hana dan teman-temannya semakin mengenal Raka dari cara yang tidak biasa.

Dari jurnal yang tidak sengaja Hana temukan di rumah Raka, ia dan teman-temannya—Farel,  Alden, Hasna, Indira, Nata dan Sia—berusaha menelusuri jejak Raka yang tidak mudah. Karena teman yang dianggap sebagai arca itu cepat sekali pergi dari satu tempat ke tempat lain. Raka ternyata melakukan pendakian dari satu gunung ke gunung lain, menjejak ke pantai, juga mengunjungi tempat-tempat tidak terduga, seolah ia ingin menjelajahi Indonesia. Pertanyaannya kenapa Raka melakukan hal itu?

Jika dilihat dari temanya, sebenanya tema utamanya cukup umum—anak broken home yang berusaha mencari pelarian dari masalahnya. Namun dipadukan dengan traveling, misteri pencarian jejak juga masalah lainnya, kisah ini menjadi lebih menarik dan hidup.  Apalagi cerita ini dipaparkan dengan cukup apik dan lugas. Melihat bagaimana penulis menceritakan kisahnya,  saya jadi teringat dengan kebiasaan  S Gegge Mappangewa, yang selalu memberikan quote di setiap awal bab, dan  gaya Azzura Dayana dalam novel traveling-nya. 

(Ranu Kumbolo, Gunung Semeru. Unplash/Fajruddin Mudzakkir)

Meski perjalanan yang diceritakan memang sepotong-potong, hal itu tidak mengurangi rasa penasaran pembaca untuk ikut menikmati petualangan yang dilakukan Raka.  Karena tempat-tempat yang dikunjungi Raka dipaparkan dengan cukup detail dan menarik. salut dengan riset yang telah dilakukan penulis. Rasanya seru sekali menjadi Raka yang bisa bebas bepergian ke tempat-tempat yang ia suka. Ups.🤭 (Jujur baca novel ini membuat saya langsung googling untuk survei lokasi. Berikut saya bagikan beberapa hasil pencarian tempat yang dikunjungi Raka 😁) 

(Gunung Rinjani. Pixabay/arhnue)

(Gunung Rinjai. Pixabay/Alzarrin63)

Keunggulan lain dari novel ini adalah alur cerita yang tidak terduga. Penulis pandai menyembunyikan klue-klue sehingga pembaca akan terus menebak-nebak tentang apa sih sebenarnya masalah Raka? Kenapa ia jadi seperti itu? Kenapa Raka nampak menjaga jarak dan permasalahan lainnya. Salut buat penulisnya.  Gaya bahasa penyajian pun sangat mudah dipahami. Kisahnya nampak hidup—apalagi dengan diselingi kata-kata daerah, yang menunjukkan lokalitas daerah Jawa.

(Air Terjun Binangalom.Tripadvisor.com)

Hanya saja untuk bagian cerita di jurnal dan kisah Hana dan kawan-kawan dalam pencarian Raka, agak tumpang tindih, karena bagian jurnal ditulis dengan huruf yang sama. Andaikan jurnal dituliskan dalam huruf yang berbeda, mungkin akan lebih memudahkan untuk memisahkan masa kisah yang berasal dari Jurnal Raka, juga dan keseharian Hana dalam upaya pencarian.


(Danau Toba. Pixabay/Zx4354453)

Begitupula dengan masalah penanggalan, ada beberapa bagian yang tidak konsisten dalam memberikan tanggal, bulan dan tahun. Kadang hanya ada info tempat kejadian, tanpa tanggal atau tahun. Atau  kadang hanya info lokasi dan jam kejadian. Padahal jika ada keterangan  waktu—baik dari tanggal, bulan, tahun, lokasi dan jam, pasti lebih rapi. Kalau tidak diulang atau diperjelas, kadang suka bingung. (Hehheh). Mungkin saya saja sih yang merasakan ini. Karena nulis novel semacam ini tentu sulit. Kemudian saya juga agak kurang sreg dengan terlalu banyaknya tokoh, yang membuat cerita kadang tidak fokus.

(Danau Kelimutu. Liputan6.com/ Ola Keda)

Satu lagi ketika membaca novel ini saya menemukan  berapa kesalahan tulisan.

Hana menggeleng. “Biasanya Raka selalu seperti ini. Kalau sudah begini, artinya dia bolos sekolah.” Raka menjelaskan kebiasaan teman sekelasnya. è Bukankah seharunya Hana? Saat itu Sensei berbicara dengan Hana. (hal 56).

“Kamu sekamar sama kamu bertiga.” è Mungkin maksudnya kami. (hal 80).

15 Januari 2018, Tebing  Breksi, Jogjakarta 14.23. è Bukankah perjalanan study campus harusnya 2019?  (hal 99).

Namun lepas dari kekurangan yang ada, saya suka dengan banyak selipan-selipan membangun, memotivasi dan menginspirasi. Yah, banyak pelajaran yang bisa kita petik dari kisah ini.

Misalnya tentang arti penting keluarga, seperti figur orang tua dalam merawat dan mendidik anak. Sebagaimana kisah Raka sendiri. Meski terlahir dari keluarga terpandang, namun ia tidak bahagia karena kesepian dan juga menjadi korban perceraian orang tuanya. Padahal seorang anak membutuhkan dekapan kasih sayang dan bimbingan selalu.

Karena masalah itulah Raka terluka. Apalagi sosok yang selama ini paling dekat dengan dirinya tiba-tiba menghilang. Raka memilih bertualang untuk menyembuhkan lukanya. Melalui kisah ini kita seolah diingatkan bahwa, cara menyembuhkan luka bukanlah dengan perjalanan saja, tetapi membiarkan diri rela—menerima dan berdamai dengan diri sendiri.

“Penyembuhan itu bukan perjalanan. Tapi pendewasaan berpikir. Lakukan petualangan untuk mendewasakan cara berpikir. Aku jamin kamu akan lebih bisa berdamai dengan masalah.” (hal 149).

Ada pula selipan religi yang mengingatkan kita bahwa selalu ada Allah di dekat kita, jika kita mau mendekat dan berserah.

“Jangan khawatir. Hidup tidak seberat yang kau lihat. Kau masih punya Allah dan aku. Ketika kamu sakit ada aku yang siap merawatmu untuk kembali sembuh. Tapi, Allah akan lebih menyabarkan hatimu.” (hal 154).

Ada pula sindiran halus agar kita selalu menjaga kebersihan di mana pun berada, termasuk di tempat-tempat wisata. Mencinta alam dan tidak merusaknya.

“Patai yang  seindah ini, sayang sekali jika harus dirusak dengan sampah. Miris tempat-tempat wisata yang indah harus rusak dengan kehadiran  sampah-sampah. Mungkin faktor banyaknya pengunjung yang datang dan tidak adanya rasa tanggung jawab terhadap alam, sehingga siapa pun dengan seenaknya membuang sampah sembarangan.” (hal 23).

Ada pula tentang persahabatan. Ini terlihat bagaimana cara  gurunya mengarahkan anak didiknya untuk saling peduli kepada teman sekelas. Dan memang dari pencarian Raka ini, teman-temannya kemudian menyadari tentang pentingnya saling mengenal dan memahami.

Selain itu, dari novel ini kita diingatkan untuk memiliki sikap kompak, dan saling bekerjasama dalam kebaikan. Juga  tentang perlunya memiliki sikap peduli pada sesama, peduli pada kesulitan teman dan tidak segan untuk membantu. Ada pula ajakan untuk menjadi pribadi yang lebih terbuka. Jangan memendam kesedihan sendiri, karena bersama itu lebih baik dari pada sendiri. Kita tidak harus lari dari masalah, tetapi menghadapi dengan lebih lapang. Dan ujian itu tanda bahwa Allah masih sayang kepada kita.

 

“Katakan, jangan hanya kau pendam sendirian. Kau hanya manusia biasa. Kau tidak akan kuat. Ada bahu-bahu kami yang siap berbagi beban. Ada telinga-telingan kami yang akan selalu mendengarkan kesah. Kau tidak pernah sendirian, kawan.” (hal 25).

Srobyong, 16 Februari 21


 

2 comments:

  1. kalau baca novel tentang petualangan gini, selalu tergoda untuk jalan-jalan deh
    jadi ingat novel-novelnya mbak azura dayana deh, yang idenya tentang gunung semua.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul sekali Mbak. Hawanya ingin mengunjungi semia destinasi yang ada di novel. Hehhehe.

      Nah kalau baca novel Mbak Azura, isinya pengen mendaki. Hehhe

      Delete