Wednesday 17 February 2021

Resensi - Memaknai Hidup Lewat Pendakian

Dimuat di Kabar Madura, 30 Oktober 2019

Judul               : Altitude 3159 Miquelli

Penulis             : Azzura Dayana

Penerbit           : Indiva Media Kreasi

Cetakan           : Pertama, September 2019

Tebal               : 288 halaman

ISBN               : 978-602-495-252-5

Peresensi         : Ratnani Latifah. Penulis dan penikmat buku asal Jepara


Hidup itu seperti jalur pendakian. Kadang mulus, kadang juga penuh jalan terjal dan tantangan. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Jika ingin sukses dan berhasil meraih puncaknya, kita harus siap untuk terus bergerak  dan berjuang. Karena  ketika kita memilih stagnan, maka kita akan terus berada di jalur aman dan tidak akan berkembang, apalagi sekadar mencicipi keberhasilan.


(Biasa setelah membaca novel Mbak Azzura Dayana, tuh langsung pengen selancar mencari lokasi traveling yang dikunjungi. Salah satunya Gunung Prau. Pixcabay/ Mas Fajar) 

Bisa dibilang novel ini sedikit banyak tidak jauh berbeda dari dua novel sebelumnya—Altitude 3676; Tahta Mahameru atau  Altitude 3088; Rengganis—di mana keduanya sama-sama menawarkan tentang perjalanan pendakian. Namun jangan khwatir meski mengusung tema yang serupa, kisah yang dihadirkan penulis ini sangat berbeda.  Apalagi dengan bumbu kisah cinta yang tidak kalah seru dari pendakian itu sendiri. Novel terbaru karya penulis asal Palembang ini, sangat menarik untuk kita baca. Membaca novel ini selain kita bisa melihat dan menikmati asam manis perjuangan meraih cinta dan meraih puncak Gunung Dempo, lewat kisah ini, kita juga bisa menemukan makna kehidupan yang kadang sering kita lupakan.

(Kalau ini kawah putih di Gunung Patuha. Pixabay/Abietams) 

Fathan dan Hilda, sudah bersahabat sejak kecil. Sejak dulu mereka selalu berada di sekolah yang sama, dan tinggal di daerah yang sama. Namun perjalanan waktu, membuat kehidupan mereka berubah. Hilda yang dulunya bak putri jelita, kini berubah menjadi gadis gunung yang tangguh dan gemar bertualang. Tidak tanggung-tanggung Hilda bertualang mendaki satu gunung ke gunung yang lain.


(Kalau ini Gunung Dempo. Travelingyuk/ Wildan Carbon) 

Sebaliknya Fathan yang dulu dianggap dekil karena terlahir dari keluarga yang kurang mampu, kini tumbuh menjadi sosok yang elit yang sukses. Meski memiliki kegemaran yang sama dalam urusan traveling, tapi Fathan lebih mencintai keindahan bangunan-bangunan klasik nan megah di negara-negara yang dipenuhi bangunan tinggi dan gemerlap teknologi. Dalam kamusnya tidak ada enaknya pergi bersusah payah mendaki gunung. Namun janji lama yang pernah ia ucapkan pada Hilda serta kesadaran yang terlambat tentang perasaannya sendiri, menuntun Fathan untuk keluar dari zona nyaman yang selama ini ia nikmati. Fathan  yang awam dan belum pernah sekalipun mendaki gunung, nekat ikut bergabung dengan tim Hilda, demi ingin mendapat perhatian gadis itu.


(Dan ini Danau Thebat Gheban. Tangkap Layar Pinterest/KSMTour) 

Bersama Lukman sang ketua, Hilda, Doni, Zen dan juga Rifhan, Fathan memulai babak baru dari perjalanan yang jauh dari kebiasannya. Ia harus siap dengan trek-trek  pendakian di Gunung Dempo, yang bisa dibilang sangat mendebarkan.


“Trek pendakian  termasuk cukup sulit, terjal, dipenuhi akar dan juga kadang bebatuan. Hanya ada satu bonus yaitu ketika mendekati puncak pertama. Untuk membantu memanjat trek, bisa berpegangan pada sisa batang pohon mati yang ada di kiri kanan.” (hal  96).


Secara keseluruhan novel ini sangat menarik dan seru.  Penulis berhasil menghadirkan ruh petualangan yang benar-benar nyata. Membaca buku ini kita seperti ikut terlibat langsung dalam perjalanan panjang dalam pendakian. Kita akan ikut merasakan ketegangan, ketakutan juga kebahagiaan setiap kali para tokoh berhasil menyelesaikan satu trek ke trek lainnya.


Dengan gaya bertutur yang lugas dan mudah dipahami, ia berhasil menyihir pembaca agar tidak berhenti sebelum menyelesaikan novel ini. Dan sebagaimana novel sebelumnya untuk urusan setting lokasi,  penulis yang juga memiliki kegemaran traveling, berhasil menghadirkan latar cerita yang benar-benar hidup. Dan dipadukan dengan alur campuran kita akan dibuat penasaran dengan bagaimana akhir kisah perjalanan Fathan. Apalagi dengan kehadiran bidadari lain yang berhasil mencuri perhatiannya.


Membaca kisah ini kita akan menemukan banyak sekali nilai-nilai kehidupan. Di antaranya kita diingatkan untuk selalu waspada dan tidak sombong di mana pun kiat berada.


“Tolong diingat untuk menjaga semangat, hindari sifat egois dan sombong, banyak berzikir, tidak mengeluh selama pendakian.” (hal 96-97).


Kemudian melalui pendakian ini, kita diajarkan tentang arti penting rasa syukur, setia kawan, saling tolong menolong, menghormati lingkungan dan banyak lagi. Pendakian adalah satu cara untuk memahami bahwa dalam hidup kita harus terus berjuang tak kenal lelah, jangan mudah menyerah apalagi kalah, karena jika tidak kita tidak akan bisa menyelesaikan masalah. Beberapa kekurangan yang ada tidak mengurangi keseruan cerita.

Srobyong, 11 Oktober 2019


 

No comments:

Post a Comment