Wednesday 31 March 2021

Resensi - Kisah Anak Disleksia yang Merindukan Ibu

 

Sumber : Ratnani Latifah


Judul                : Membeli Ibu

Penulis             : Riawani Elyta

Penerbit          : Indiva Media Kreasi

Cetakan           : Pertama, Maret 2021

Tebal               : 240 halaman

ISBN                 : 978-623-253-033-1

Harga              : 75.000

Peresensi         : Ratnani Latifah

“Membeli Ibu” merupakan novel juara pertama pada Kompetisi Menulis Indiva 2020. Dari segi judul novel ini memang sudah mengundang penasaran. Saya sendiri ketika melihat judul ini sebagai salah satu pemenang langsung bertanya apa maksud dari kata “Membeli Ibu” Dan akhirnya rasa penasaran itu terjawab setelah membaca novel ini.

Novel ini sendiri menceritakan tentang Athifa—lebih sering disapa Ifa—yang merupakan penderita disleksia, yaitu gangguan  yang terjadi karena adanya kelainan saraf pada otak, sehingga  mengalami kesulitan dalam  proses belajar yang ciri-cirinya  kesulitan saat menulis, membaca dan mengeja. Namun Ifa ini selain kesulitan dalam membaca ia juga kesulitan dalam mengenal arah.  Oleh sebab itu ia pun jadi mudah tersasar ketika bepergian.

Karena kekurangannya itu, ia harus rela tinggal kelas selama dua kali. Jadi tidak heran ketika usianya sudah empat belas tahun, ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Karena itu pula, banyak orang yang menganggap Athifa aneh. Sehingga ia pun selalu menjaga jarak dari orang-orang.

Suatu hari karena keadaan Ifa dibawa bibinya untuk tinggal di Panti Asuhan Al-Fitrah. Sejak ditinggal sang ibu menjadi TKW, dan ayahnya yang menghilang entah kemana Ifa tinggal dengan Bibik Esih. Namun karena bibinya sudah cukup kesulitan dalam masalah ekonomi, maka terpaksa ia melepas Ifa.  Meski sedih Ifa tidak dapat berbuah apa-apa. Padahal jika ia tinggal dengan bibinya, setidaknya ia dapat menabung. Dan mungkin suatu saat ia dapat bertemu sang ibu, ‘membeli ibunya’ sebagaimana yang pernah ayahnya katakan.

Namun karena berada di panti tersebut, Ifa bertemu Fairus, yang merubah seluruh episode hidupnya. Fairuz, gadis yang penuh semangat, yang ingin menjadi psikolog, yang tidak menganggap kekurangan Ifa sebagai keanehan, Fairuz yang selalu baik terhadapanya. Bersama Fairuz pula pembaca akan diajak menelusuris teta-teki tentang makna dari ‘membeli ibu”

Secara keseluruhan novel ini sangat menarik, seru dan sangat berbeda dari kebanyakan novel yang ada. Selain kisah Ifa, kita juga dapat menemukan kisah Fairuz yang tidak kalah kompleks dan menarik untuk disimak. Gadis yang membangun Taman Baca Sakinah, yang nampak ceria dan kuat ternyata juga menyimpan kesedihan mendalam karena takdir Allah telah membuatnya kehilangan sesuatu yang paling berharga bagi seorang wanita.

Selalu suka dengan novel Mbak Riawani Elyta.  Mbak Ria ini selalu memiliki kisah yang tidak sama dengan kebanyakan penulis lainnya. Misalnya dalam  novel The Secret of Room 403 yang mengangkat tragedi tanjung berdarah 1984 (yang juga termasuk pemenang harapan dalam LMNI 2014). Atau novel Rahasia Pelangi yang mengangkat isu konflik antara gajah dan manusia.  Begitu pula dengan novel ini. Mbak Ria memilih tokoh utamanya sebagai sosok disleksia dan gadis penderita kanker.  

Tidak kalah menarik, dalam novel ini disisipkan  pula isu soal masalah TKW dan bagaimana masyarakat menilai orang hanya dari tampilan luarnya saja. Misalnya saja pada kasus Ifa. Ia dicap bodoh karena kurang tanggap dalam belajar. Padahal ketika ia diajar dengan pendekatan yang berbeda Ifa tergolong sebagai anak yang cerdas.  

Novel ini diceritakan dengan sudut pandang orang pertama bergantian  antara Ifa dan Fairuz. Di mana penggunaan sudut pandang seperti ini tidaklah mudah. Penulis harus konsisten dalam menceritakan masing-masing tokoh agar tidak tertukar. Gaya bercerita antara tokoh Ifa dan Fairuz juga harus berbeda, agar pembaca tidak bingung. Dan saya pikir, novel ini sudah  berhasil. Sejak awal membaca, saya seolah sudah mengenal bagian cerita  Ifa dan Fairuz.

Keunggulan lain dari novel ini adalah bagaimana penulis menyisipkan lokalitas yang sangat kental  dengan menyelipkan kosa kata daeraih, baik dalam narasi cerita  bercerita juga dalam percakapannya. Terlebih lagi gaya bahasa dalam bercerita yang renyah, lugas dan mudah dipahami, semakin membuat pembaca larut dalam menikmati novel ini.

Membaca novel ini benar-benar membuat saya terhanyut, seolah dapat merasakan bagaimana perasaan Ifa yang harus memendam kerindungan sejak kecil pada sang ibu.  Begitu pula bagaimana perasaan Fairuz yang harus menerima takdirnya secara tidak terduga.

Saya merasa novel ini merupakan potret nyata yang masih sering dialami oleh sebagian orang di sekitar kita. Bahwa hidup itu tidak selalu sempurna, akan selalu ada cobaan bagi siapa saja. Melalui novel ini kita dapat mengambil hikmah, sepahit apa pun hidup kita, jika kita mau bersabar, ikhlas dan bersyukur, maka hidup itu akan terasa lebih ringan dan tenteram. Kita dapat belajar banyak hal dari sosok Ifa dan Fairuz. Meski berbeda, mereka menunjukkan tentang sikap gigih, ikhlas  dan sabar ketika menghadapi berbagai cobaan.

Tidak ketinggalan, khas sebagai kisah remaja, di novel ini pun diselipi sedikit masalah merah jambu yang diramu dengan apik oleh Mbak Ria. Kisah Fairus dan Azriel akan membuat kita tersenyum-senyum sendiri ketika membaca. Meski begitu, penulis juga menyisipkan bagaimana pergaulan yang baik antara laki-laki dan perempuan.

“Aku selalu ingat nasihat Abah dan Emak juga Bang Fadli sejak dia mondok, bahwa pacaran itu hanya miliki mereka yang sudah menikah. Jadi kalau aku ingin pacaran, syaratnya hanya satu : menikah.” (hal 102).

Kemudian melalui novel ini pula kita diingatkan untuk selalu menjadi pribadi yang bermanfaat orang lain. Artinya sebagai makhluk sosial kita janganlah egois dengan mementingkan diri sendiri. Jika kita mampu tidak ada salahnya menolong orang yang membutuhkan dengan ikhlas.  Sebagaimana niat baik Fairuz dalam membangun Taman Baca Sakinah—di mana taman baca itu,  tidak hanya sebagai upaya menarik anak membaca, tetapi juga memberikan keguatan seru lain yang membuat mereka betah belajar di sana—atau pun ketika ikhlas membantu Ifa.

 “Akak senang lihat orang bahagia. Akak ini bukanlah baik-baik sangat. Ada satu hadits yang  selalu Akak ingat, Bahwa manusia yang terbaik, adalah manusia yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (hal 203-204).

“Menolong itu harus ikhlas. Jamila  saja selalu ikhlas bantu-bantu Pai meski dia tak sekolah. Harusnya Pai yang lebih berpendidikan, bisa lebih ikhlas dari Jamila.” (hal 62).

Srobyong, 31 Maret 2021

 


No comments:

Post a Comment