Judul : Membeli Ibu
Penulis : Riawani Elyta
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Cetakan : Pertama, Maret 2021
Tebal : 240 halaman
ISBN : 978-623-253-033-1
Harga : 75.000
Peresensi : Ratnani Latifah
“Membeli Ibu” merupakan novel juara pertama pada Kompetisi Menulis
Indiva 2020. Dari segi judul novel ini memang sudah mengundang penasaran. Saya
sendiri ketika melihat judul ini sebagai salah satu pemenang langsung bertanya
apa maksud dari kata “Membeli Ibu” Dan akhirnya rasa penasaran itu
terjawab setelah membaca novel ini.
Novel ini sendiri menceritakan tentang Athifa—lebih sering disapa Ifa—yang
merupakan penderita disleksia, yaitu gangguan yang terjadi karena adanya kelainan saraf pada
otak, sehingga mengalami kesulitan dalam
proses belajar yang ciri-cirinya kesulitan saat menulis, membaca dan mengeja. Namun
Ifa ini selain kesulitan dalam membaca ia juga kesulitan dalam mengenal
arah. Oleh sebab itu ia pun jadi mudah
tersasar ketika bepergian.
Karena kekurangannya itu, ia harus rela tinggal kelas selama dua kali.
Jadi tidak heran ketika usianya sudah empat belas tahun, ia masih duduk di
bangku sekolah dasar. Karena itu pula, banyak orang yang menganggap Athifa
aneh. Sehingga ia pun selalu menjaga jarak dari orang-orang.
Suatu hari karena keadaan Ifa dibawa bibinya untuk tinggal di Panti
Asuhan Al-Fitrah. Sejak ditinggal sang ibu menjadi TKW, dan ayahnya yang
menghilang entah kemana Ifa tinggal dengan Bibik Esih. Namun karena bibinya
sudah cukup kesulitan dalam masalah ekonomi, maka terpaksa ia melepas Ifa. Meski sedih Ifa tidak dapat berbuah apa-apa.
Padahal jika ia tinggal dengan bibinya, setidaknya ia dapat menabung. Dan
mungkin suatu saat ia dapat bertemu sang ibu, ‘membeli ibunya’ sebagaimana yang
pernah ayahnya katakan.
Namun karena berada di panti tersebut, Ifa bertemu Fairus, yang
merubah seluruh episode hidupnya. Fairuz, gadis yang penuh semangat, yang ingin
menjadi psikolog, yang tidak menganggap kekurangan Ifa sebagai keanehan, Fairuz
yang selalu baik terhadapanya. Bersama Fairuz pula pembaca akan diajak
menelusuris teta-teki tentang makna dari ‘membeli ibu”
Secara keseluruhan novel ini sangat menarik, seru dan sangat berbeda dari
kebanyakan novel yang ada. Selain kisah Ifa, kita juga dapat menemukan kisah
Fairuz yang tidak kalah kompleks dan menarik untuk disimak. Gadis yang
membangun Taman Baca Sakinah, yang nampak ceria dan kuat ternyata juga
menyimpan kesedihan mendalam karena takdir Allah telah membuatnya kehilangan
sesuatu yang paling berharga bagi seorang wanita.
Selalu suka dengan novel Mbak Riawani Elyta. Mbak Ria ini selalu memiliki kisah yang tidak
sama dengan kebanyakan penulis lainnya. Misalnya dalam novel The Secret of Room 403 yang mengangkat
tragedi tanjung berdarah 1984 (yang juga termasuk pemenang harapan dalam LMNI
2014). Atau novel Rahasia Pelangi yang mengangkat isu konflik antara gajah dan
manusia. Begitu pula dengan novel ini.
Mbak Ria memilih tokoh utamanya sebagai sosok disleksia dan gadis penderita
kanker.
Tidak kalah menarik, dalam novel ini disisipkan pula isu soal masalah TKW dan bagaimana
masyarakat menilai orang hanya dari tampilan luarnya saja. Misalnya saja pada
kasus Ifa. Ia dicap bodoh karena kurang tanggap dalam belajar. Padahal ketika
ia diajar dengan pendekatan yang berbeda Ifa tergolong sebagai anak yang
cerdas.
Novel ini diceritakan dengan sudut pandang orang pertama bergantian antara Ifa dan Fairuz. Di mana penggunaan sudut
pandang seperti ini tidaklah mudah. Penulis harus konsisten dalam menceritakan
masing-masing tokoh agar tidak tertukar. Gaya bercerita antara tokoh Ifa dan Fairuz
juga harus berbeda, agar pembaca tidak bingung. Dan saya pikir, novel ini sudah
berhasil. Sejak awal membaca, saya
seolah sudah mengenal bagian cerita Ifa
dan Fairuz.
Keunggulan lain dari novel ini adalah bagaimana penulis menyisipkan
lokalitas yang sangat kental dengan
menyelipkan kosa kata daeraih, baik dalam narasi cerita bercerita juga dalam percakapannya. Terlebih lagi
gaya bahasa dalam bercerita yang renyah, lugas dan mudah dipahami, semakin
membuat pembaca larut dalam menikmati novel ini.
Membaca novel ini benar-benar membuat saya terhanyut, seolah dapat
merasakan bagaimana perasaan Ifa yang harus memendam kerindungan sejak kecil
pada sang ibu. Begitu pula bagaimana
perasaan Fairuz yang harus menerima takdirnya secara tidak terduga.
Saya merasa novel ini merupakan potret nyata yang masih sering dialami
oleh sebagian orang di sekitar kita. Bahwa hidup itu tidak selalu sempurna,
akan selalu ada cobaan bagi siapa saja. Melalui novel ini kita dapat mengambil
hikmah, sepahit apa pun hidup kita, jika kita mau bersabar, ikhlas dan
bersyukur, maka hidup itu akan terasa lebih ringan dan tenteram. Kita dapat
belajar banyak hal dari sosok Ifa dan Fairuz. Meski berbeda, mereka menunjukkan
tentang sikap gigih, ikhlas dan sabar ketika
menghadapi berbagai cobaan.
Tidak ketinggalan, khas sebagai kisah remaja, di novel ini pun
diselipi sedikit masalah merah jambu yang diramu dengan apik oleh Mbak Ria.
Kisah Fairus dan Azriel akan membuat kita tersenyum-senyum sendiri ketika
membaca. Meski begitu, penulis juga menyisipkan bagaimana pergaulan yang baik
antara laki-laki dan perempuan.
“Aku selalu ingat nasihat Abah dan Emak juga Bang Fadli sejak dia
mondok, bahwa pacaran itu hanya miliki mereka yang sudah menikah. Jadi kalau
aku ingin pacaran, syaratnya hanya satu : menikah.” (hal
102).
Kemudian melalui novel ini pula kita diingatkan untuk selalu menjadi
pribadi yang bermanfaat orang lain. Artinya sebagai makhluk sosial kita
janganlah egois dengan mementingkan diri sendiri. Jika kita mampu tidak ada
salahnya menolong orang yang membutuhkan dengan ikhlas. Sebagaimana niat baik Fairuz dalam membangun
Taman Baca Sakinah—di mana taman baca itu, tidak hanya sebagai upaya menarik anak membaca,
tetapi juga memberikan keguatan seru lain yang membuat mereka betah belajar di
sana—atau pun ketika ikhlas membantu Ifa.
“Akak senang lihat orang
bahagia. Akak ini bukanlah baik-baik sangat. Ada satu hadits yang selalu Akak ingat, Bahwa manusia yang
terbaik, adalah manusia yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (hal
203-204).
“Menolong itu harus ikhlas. Jamila
saja selalu ikhlas bantu-bantu Pai meski dia tak sekolah. Harusnya Pai
yang lebih berpendidikan, bisa lebih ikhlas dari Jamila.” (hal 62).
Srobyong, 31 Maret 2021
No comments:
Post a Comment