Dimuat di Padang Ekspres, Minggu 16 Desember 2018
Judul : The Boy Who Gave His Heart Away
Penulis : Cole Moreton
Penerjemah : Indriani Gratika
Cetakan : Pertama, Maret 2018
Tebal : x + 307 halaman
ISBN : 978-602-947-414-5
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara
Diambil dari kisah nyata, novel ini benar-benar
syarat akan makna. Kasih sayang
orangtua, kesabaran, keikhlasan dan kemanusiaan, merupakan beberapa bagian yang
bisa kita petik melalui kisah ini. Selain itu novel ini merupakan pemenang “New York Festival Wordl’s Best
Radion Award” kategori Penulisan, Medis dan Isu sosial.
Orang tua mana yang tidak sedih, ketika mendapati
kenyataan bahwa putranya tengah berada diambang kematian? Inilah kisah Marc dan
Martin serta Linda dan Sue. Mereka tidak tinggal berada pada muara yang sama.
Tempat tinggal mereka terpisah jarak beberapa ratus mil. Dari Scotlandia hingga
Inggris. Namun ternyata takdir telah mendekatkan mereka dengan salah satu organ
tubuh mereka.
Marc awalnya adalah pemuda berusia 15 tahun yang
sangat sehat dan bugar. Dia sangat mecintai sepak bola, serta salah satu pemain
bintang dalam tim sepakbola di setempat. Namun suatu hari mendadak dia
ditemukan dalam keadaan tidak sehat dan divonis mengalami gagal hati. Tidak
hanya itu organ-organ tubuh yang lain juga mengalami gangguan. Oleh karena itu,
Marc harus dirujuk ke Royal Infirmary of Edinburgh (hal 8). Kenyataan itu tentu
saja membuat Linda limbung.
Dijelaskan bahwa, Jantung Marc tidak sehat dan bengkak,
serta hanya bisa bersenyut lemah hingga darahnya tidak bersirkulasi secara
normal. Organ-organ tubuhnya kekurangan oksigen yang dibutuhkan sehingga
mengalami kondisi gagal organ—hatinya mengering, kedua paru-parunya kondisi
banyak darah. Marc benar-benar kritis (hal 17-18). Dan salah satu cara agar bisa menyelematkan
Marc adalah dengan transaplantasi jantung. Hanya saja kadang sangat sulit
menemukan donor yang cocok.
Di sisi lain, tiga ratus mil ke selatan, Martin yang
juga sama-sama penikmat sepak bola,
terlihat bugar dan menikmati masa
rejamanya dengan wajar. Akan tetapi pada suatu malam dia ditemukan tidak
sadarkan diri, dan membuat ibunya, Sue kalang kabur. Di mana disinyalir Martin mengalami
pendarahan di otaknya, hingga harus
dibawa ke Nottingham, untuk menemui dokter spesialis (hal 35).
Di mana setelah pemeriksaan lebih lanjut, dokter
yang menangani Martin—Harish Vyas menjelaskan, “Hasil dari semua tes yang digabungkan bersamaan
menunjukkan bawa batang otaknya telah berhenti berfungsi secara efektif. Dengan
kata lain, Martin sudah mati otak.” (hal 73). Dalam hukum Amerika jika semua fungsi otak
sudah berhenti, maka seseorang dianggap sudah meninggal. Begitu juga di
Inggris. Lalu keluar korban memiliki dua
pilihan, mendonorkan organ tubuh untuk
menolong orang lain atau tidak.
Hal itu juga yang berlaku bagi Sue. Di saat dia
harus mengalami kesedihan karena harus menerima kematian anaknya yang sangat
mendadak, dia harus berpikir jernih demi kemanusian—dalam artian peduli
dengan pasien lain yang mungkin
membutuhkan donor tubuh dari anaknya.
Dan ternyata Marc adalah satu dari sekian orang yang menunggu donor dari
Martin.
Kisah ini sangat menggetarkan hati. Penulis berhasil
menghidupkan kisah ini hingga seperti
melihat secara nyata bagaimana kehidupan yang dialami Marc dan Linda, serta
Martin dan Sue. Pilihan sudut pandang
yang diambil penulis juga menjadi nilai tambah tersendiri dalam kisah ini. Sudut pandang orang ketiga bergantian
masing-masing tokoh di sini, membuat
kita mengenal masing-masing tokoh lebih dekat.
Dalam novel ini saya dapat merasakan kesedihan,
kebingungan, keputusasaan seorang ibu. di sisi lain saya juga dapat merasakan
kesabaran dan keikhlasan yang harus mereka terima ketika melihat keadaan putra
masing-masing. Ini benar-benar kisah
yang penuh haru. Belum lagi ketika takdir ternyata membuka peluang untuk saling
bertemu dan berkenalan. Ini adalah momen yang sangat jarang terjadi antara pendonor dan penerima donor.
Sedikit kesalahan tulis dalam novel ini tidak
mengurangi keseruan cerita. Membaca kisah ini saya belajar tentang pentingnya
usaha dan doa dalam setiap situasi. Selain itu kita diajak menjadi pribadi yang
selalu ikhlas, sabar dan syukur. Tidak
ketinggalan adalah sikap saling tolong menolong dan peduli pada sesama.
Srobyong, 7 September 2018
Duh, bukunya seru, ini.
ReplyDeleteIya Mbak
Delete