Wednesday 9 January 2019

[Resensi] Semangat Belajar di Tanah Eropa

Dimuat di Tribun Jateng, Minggu 16 Desember 2018

Judul               : Diary La Sorbonne
Penulis             : Kualakata
Penerbit           : Bhuana Sastra
Cetakan           : Pertama, 2018
Tebal               : xiv + 201 halaman
ISBN               : 978-602-455-274-9
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Jangan pernah takut bermimpi dan memiliki harapan. Karena mimpi dan harapan merupakan  jalan untuk meraih sebuah kesuksesan. Tanpa mimpi kita tidak mungkin melakukan usaha dan bekerja keras. Soekarno pernah berkata, “gantungkan cita-citamu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.”

Buku ini menceritakan tentang perjalan dan pengalaman Kualakata ketika ingin belajar dan mengais ilmu di negara Eropa—tepatnya di Sarbonne University.  Siapa sih yang tidak ingin melanjutkan pendidikan di luar negeri? Di sana kita bisa mendapatkan banyak pengalaman dan kaya akan wawasan. Begitupula harapan yang dimiliki Kualakata. 

Terlahir dari keluarga yang  mayoritas adalah pendidik, hal itu membuat Kualakata memiliki semangat untuk belajar  yang sangat tinggi. Dia meyakini tidak peduli dari mana kita berasal, semua orang mampu menciptakan hal-hal besar (hal 4).  Didukung oleh almarhum dosennya, Monsieur Agoes Soeswanto, Kuala nekat untuk mulai mengejar impiannya untuk belajari di Paris.

Sembari les bahasa Prancis, dia mulai mendaftarkan diri untuk perkuliahan di Prancis. Dan dia diterima di Sarbonne University. Hanya saja dia menyadari  tantangan terberat yang harus dia pertimbangankan adalah masalah biaya. Sedangkan biaya hidup di Prancis jauh di atas standar hidup di Indonesia.  Untuk itulah Kuala mulai berburu beasiswa agar tetap bisa mengejar impiannya. 

Dia memilih mendaftarkan diri pada beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Dana Beasiswa). Karena menurutnya beasiswa ini  sangat mengayomi penerimanya.  Selain itu LPDP memang memiliki misi untuk menjadi lembaga penyedia biaya pendidikan terbaik di wilayah regional dan nasional.  Jadi setelah menerima beasiswa ini, dia tidak langsung menerima dana begitu saja.  Sebelum berangkat para penerima beasiswa ditempa dulu melalui Pelatihan Kepemimpinan selama seminggu.  Mereka dibekali tentang nasionalisme, bahwa mahasiswa yang kuliah di luar negeri, setelah ilmu dan pengalaman mencukupi, maka harus pulang untuk mengabdi kepada bangsa, tidak melupakan asal meskipun menjadi orang sukes di luar sana (hal 35).

Tantangan lain yang harus dia taklukkan lagi adalah permasalahan adat dan budaya yang berbeda, serta perbedaan iklim antara Indonesia-Parancis.  Apalagi selama ini Kuala belum pernah jauh dari tanah kelahirannya, Sidoarjo.  Namun dengan tekad bulat, Kuala yakin bisa melaluinya.  Apalagi di sana dia bisa belajar di tempat sastra dan seni melebur jadi satu.

Hanya saja untuk sistem belajar di Sarbonne, Kuala merasa kurang cocok.  Di Sarbonne umumnya memiliki dua sistem perkuliahan atau sistem kelas. Ada kelas TD (Travaux Dirige) –kelas kecil yang terdiri dari 20 mahasiswa, dan kelas besar disingkat CM (Cour Magistraux)—kelas yang terdiri dari puluhan sampai ratusan siswa. Sedang kelas yang diambil Kuala rata-rata CM.  Dengan bahasa prancis pas-pas-an, dia sering  kurang memahami materi, karena dosennya terlalu cepat dalam menyampaikan pembelajaran di kelas. Di sisi lain dia juga kesulitan untuk mencari teman. Namun hal itu tetap tidak membuat Kuala down dan minder. Dia memilih beradaptasi dengan  upgrade cara belajar dan bersosialisasi (hal 83).

Banyak suka dan duka yang pernah dialami Kuala selama belajar di Prancis. Tapi hal itu tidak menyusutkan niat dan minatnya untuk terus belajar. Dari kisah perjalannya, kita bisa mengambil keteladanan bahwa agar sukses belajar di negeri eropa atau di negeri manapun, kita harus memiliki pribadi yang ulet,  semangat, sabar dan tidak mudah menyerah.

Srobyong, 9 Desember 2018

No comments:

Post a Comment