Dimuat di Tribun Jateng, Minggu 16 Desember 2018
Judul : Diary La Sorbonne
Penulis : Kualakata
Penerbit : Bhuana Sastra
Cetakan : Pertama, 2018
Tebal : xiv + 201 halaman
ISBN : 978-602-455-274-9
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara
Jangan pernah takut bermimpi dan memiliki harapan.
Karena mimpi dan harapan merupakan jalan
untuk meraih sebuah kesuksesan. Tanpa mimpi kita tidak mungkin melakukan usaha
dan bekerja keras. Soekarno pernah berkata, “gantungkan cita-citamu setinggi
langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di
antara bintang-bintang.”
Buku ini menceritakan tentang perjalan dan
pengalaman Kualakata ketika ingin belajar dan mengais ilmu di negara Eropa—tepatnya
di Sarbonne University. Siapa sih yang
tidak ingin melanjutkan pendidikan di luar negeri? Di sana kita bisa
mendapatkan banyak pengalaman dan kaya akan wawasan. Begitupula harapan yang
dimiliki Kualakata.
Terlahir dari keluarga yang mayoritas adalah pendidik, hal itu membuat
Kualakata memiliki semangat untuk belajar yang sangat tinggi. Dia meyakini tidak peduli
dari mana kita berasal, semua orang mampu menciptakan hal-hal besar (hal
4). Didukung oleh almarhum dosennya,
Monsieur Agoes Soeswanto, Kuala nekat untuk mulai mengejar impiannya untuk
belajari di Paris.
Sembari les bahasa Prancis, dia mulai mendaftarkan
diri untuk perkuliahan di Prancis. Dan dia diterima di Sarbonne University. Hanya
saja dia menyadari tantangan terberat
yang harus dia pertimbangankan adalah masalah biaya. Sedangkan biaya hidup di
Prancis jauh di atas standar hidup di Indonesia. Untuk itulah Kuala mulai berburu beasiswa
agar tetap bisa mengejar impiannya.
Dia memilih mendaftarkan diri pada beasiswa LPDP
(Lembaga Pengelola Dana Beasiswa). Karena menurutnya beasiswa ini sangat mengayomi penerimanya. Selain itu LPDP memang memiliki misi untuk
menjadi lembaga penyedia biaya pendidikan terbaik di wilayah regional dan
nasional. Jadi setelah menerima beasiswa
ini, dia tidak langsung menerima dana begitu saja. Sebelum berangkat para penerima beasiswa
ditempa dulu melalui Pelatihan Kepemimpinan selama seminggu. Mereka dibekali tentang nasionalisme, bahwa
mahasiswa yang kuliah di luar negeri, setelah ilmu dan pengalaman mencukupi,
maka harus pulang untuk mengabdi kepada bangsa, tidak melupakan asal meskipun
menjadi orang sukes di luar sana (hal 35).
Tantangan lain yang harus dia taklukkan lagi adalah
permasalahan adat dan budaya yang berbeda, serta perbedaan iklim antara
Indonesia-Parancis. Apalagi selama ini
Kuala belum pernah jauh dari tanah kelahirannya, Sidoarjo. Namun dengan tekad bulat, Kuala yakin bisa
melaluinya. Apalagi di sana dia bisa
belajar di tempat sastra dan seni melebur jadi satu.
Hanya saja untuk sistem belajar di Sarbonne, Kuala
merasa kurang cocok. Di Sarbonne umumnya
memiliki dua sistem perkuliahan atau sistem kelas. Ada kelas TD (Travaux
Dirige) –kelas kecil yang terdiri dari 20 mahasiswa, dan kelas besar disingkat
CM (Cour Magistraux)—kelas yang terdiri dari puluhan sampai ratusan siswa.
Sedang kelas yang diambil Kuala rata-rata CM. Dengan bahasa prancis pas-pas-an, dia
sering kurang memahami materi, karena
dosennya terlalu cepat dalam menyampaikan pembelajaran di kelas. Di sisi lain
dia juga kesulitan untuk mencari teman. Namun hal itu tetap tidak membuat Kuala
down dan minder. Dia memilih beradaptasi dengan upgrade cara belajar dan
bersosialisasi (hal 83).
Banyak suka dan duka yang pernah dialami Kuala
selama belajar di Prancis. Tapi hal itu tidak menyusutkan niat dan minatnya
untuk terus belajar. Dari kisah perjalannya, kita bisa mengambil keteladanan
bahwa agar sukses belajar di negeri eropa atau di negeri manapun, kita harus
memiliki pribadi yang ulet, semangat,
sabar dan tidak mudah menyerah.
Srobyong, 9 Desember 2018
No comments:
Post a Comment