Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 30 Desember 2018
Judul : Kambing dan Hujan
Penulis : Mahfud Ikhwan
Penerbit : Bentang Pustaka
Cetakan : Pertama, April 2018
Tebal : viii + 380 halaman
ISBN : 978-602-291-470-9
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara
“Tidak tepat
menebar permusuhan di antara sesama Muslim, apalagi dalam satu desa.”
(hal 107).
Novel “Kambing dan Hujan” selain terpilih sebagai Pemenang
Sayembara Novel DKJ 2014, pada tahun 2015, novel ini juga menjadi Karya
Sastra Terbaik versi Jakartabeat dan Buku Terbaik versi Mojok.co. Maka
tidak heran jika buku ini kemudian dicetak ulang dengan cover baru, karena masih diminati
pasar. Apalagi dengan desain cover baru yang menurut saya lebih menarik
daripada cover edisi pertama.
Mengangkat tema roman dan dipadukan dengan unsur
kehidupan sosial politik, sebuah sejarah kampung serta tradisi keagamaan,
membuat novel ini sangat menarik. Dengan gaya bercerita yang lugas, tidak rumit
dan mudah dipahami, membuat novel ini memiliki nilai kelebihan
tersendiri. Karena sebagaimana kita ketahui, novel yang diceritakan dengan gaya
bahasa yang terlalu rumit, kadang hanya akan membuat pembaca bingung dan bosan.
Menceritakan tentang roman cinta antara Miftahul
Abrar dan Nurul Fauzia yang terlahir dalam latar keluarga yang berbeda, meski
pun sama-sama memeluk agama Islam dan tinggal di Tegal Centong. Mif tumbuh di lingkungan keluarga dalam
tradisi Islam modern, atau lebih dikenal dengan sebutan Muhammadiyah dan Fauzia
lahir dan tumbuh dalam lingkungan Islam
tradisional, atau lebih sering disebut Nahdlatul Ulama (NU). Tersebab perbedaan itu-lah, hubungan mereka
terancam pupus.
Ada sebuah sejarah panjang kenapa kedua paham agama
itu tidak bisa berdamai meskipun tinggal di tanah yang sama. Bahkan ada garis pemisah bagi kedua paham
itu. Jika penganut paham Muhammadiyah maka
tinggalya di Centong Utara.
Sedangkan penganut paham Nahdliyin
tinggalnya di Centong Selatan. Keadaan
itulah yang kemudian membuat Mif dan Fauzia pelan-pelan membuka sebuah tabir di
masa lalu, untuk mengetahui dari mana akar ketegangan itu dimulai. Yang ternyata sejarah panjang itu memiliki
kaitan erat dengan Moek atau Fauzan, ayah Fauzia dan Is atau Kandar ayah Mif.
Pada awalnya Moek dan Is adalah dua sahabat yang tidak
terpisahkan. Mereka sering mengembala kambing
dan belajar bersama. Tempat
favorit mereka saat bersama adalah Gumuk Genjik (hal 62). Di sana mereka akan saling becerita apa
saja. Selain itu Is juga memiliki
kebiasaan meminjam berbagai buku dari Moek. Bahkan ketika Moek melanjutkan
pendidikan di pesantren, dia masih sering membawakan kitab agar bisa dibaca Is,
yang kebetulan tidak bisa melanjutkan pendidikan, karena masalah biaya.
Namun suatu hari kemunculan Cak Ali, ternyata
membawa perubahan besar pada Is. Hingga akhirnya kedekatannya itu telah membuat
Is dan Moek tidak berada pada satu kubu. Is merupakan salah satu tokoh islam
pembaharu bersma Cak Ali dan teman-temannya. Sedangkan Moek sejak awal dididik
untuk melanjutkan perjuangan Islam tradisional di Centong. Meski awalnya persahabatan mereka tetap
seperti dulu, bahkan diam-diam saling mengagumi, namun lambat laun, keadaan
lain telah menimbulkan kesalahpahaman yang berkepanjangan, hingga membuat
mereka enggan berkomunikasi lagi.
Kenyataan itu tentu saja membuat Mif dan Fauzia
bingung. Bagaimana mereka bisa bersatu jika kedua orangtuanya memiliki sejarah
panjang seperti itu? Sedangkan mereka
memahami, kebiasaan di desa Centong. “Orang tua di Centong tidak akan
memberika nakanya kepada orangtua atau keluarga yang tidak disukainya.
Lebih-lebih yang tidak menyukainya.” (hal 26).
Di sinilah kesabaran dan kekuatan Mif dan Fauzia
diuji. Mereka harus berjuang agar ayah mereka bisa berdamai. Karena dengan cara
itulah hubungan mereka bisa disetujui.
Selain tokoh Moek dan Is, ada pula tokoh lain yang juga akan
menghidupkan kisah novel ini bahkan akan membuat kita ikut emosi dan gemas.
Salut dengan penulis yang berani mengangkat tema
tentang perbedaan paham agama antara Muhammadiyah dan Nu, yang memang sering
terjadi di dalam masyarakat. Secara
keseluruhan novel ini benar-benar menarik dan memikat. Baik dari segi
bercerita, penokohan, percakapan, sudut pandang adan alur cerita. Ending
cerita yang dipilih penulis pun saya rasa sangat manusiai dan sangat pasa
dengan segala probelamatika yang dihadapi.
Dan yang paling saya suka dari novel ini adalah
nilai-nilai kehidupan serta nilai-nilai pembalajaran agama yang sangat banyak
ditemukan dalam kisah ini. Kita diingatkan untuk menjadi pribadi yang saling
memaafkan, cinta damai, rukun dan banyak lagi. Berbagai perbedaan paham agama
dijabarkan dengan luar oleh penulis yang membuat wawasan wacana saya bertambah.
Srobyong, 6 Oktober 2018
Resensi yang memikat seperti biasa, Ratna. ^^
ReplyDeleteTerima kasih Mbak 🙏😊
DeleteTerima kasih Mbak 🙏😊
Delete