Wednesday, 12 September 2018

[Resensi] Revolusi Mental Sebagai Jalan Membangun Karakter Bangsa

Dimuat di Harian Bhirawa, Jumat 24 Agustus 2018


Judul               : Bung Karno dan Revolusi Mental
Penulis             : Sigit Aris Prasetyo
Penerbit           : Imania
Cetakan           : Pertama, November 2017
Tebal               : 380 halaman
ISBN               : 978-602-7926-37-0
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Revolusi mental dalam konteks historis jelas tidak dapat dipisahkan dengan sang konseptor, Bung Karno. Pada tahun  1950-an, dia telah melihat berbagai bibit penyakit mentalis yang menggerogoti mentalitas anak bangsa, baik di masyarakat dan pemerintahan yang dianggapnya kontra revolusi (hal 11). Oleh karena itu dalam pidato di hari kemerdekaan,  tanggal 17 Agustus 1957 Bung Karno mengajak segenap warga Indonesia untuk melakukan  revolusi mental.

“National building membutuhkan bantuannya Revolusi Mental! Karena itu, adakanlah Revolusi Mental! Bangkitlah.” (hal 18).

Di mana maksud revolusi mental adalah sebuah ajakan untuk melakukan perubahan dan memperbaiki diri menjadi pribadi yang lebih baik. Kita diharapkan meninggalkan sikap-sikap buruk yang akan merugikan diri sendiri juga bangsa. Dan konon gasasan Bung Karno tentang “Revolusi Mental” saat ini, tengah disemaikan dalam program Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Menilik dari sebab musabab tersebut, Sigit Aris Prasetyo mencoba menguraikan secara sederhana perihal “Revolusi Mental” melalui potret perkataan, tindakan, karakter dan kehidupan sehari-hari dari Bung Karno. Dengan harapan kita bisa meneladani dan mengimplementasikan nilai-nilai positif yang masih relevan dalam konteks kekinian sebagai upaya membangun bangsa negara yang memiliki karakter unggul.

Di antaranya Bung Karno selalu menggemborkan semangat nasionalisme kepada seluruh rakyat. Karena semangat nasionalisme-lah  yang akan menjadikan warga negara selalu mencintai dan rela berkorban untuk kepentingan bangsa.  Tanpa nasionalisme sebuah bangsa seperti hidup tanpa roh. Tanpa nasionalisme sangatlah mustahil suatu bangsa dapat tumbuh sebagai bangsa besar. Bahkan sebaliknya, dapat menjadi bangsa lemah, rapuh dan mudah terombang-ambing dalam percaturan politik global (hal 26).

Kita juga harus membina kebhinekaan. Mengingat Indonesia, merupakan negara yang terdiri dari berbagai suku, budaya, agama dan bahasa. Oleh karenanya kita harus menjaga  persatuan tanpa membedakan perbedaan yang ada. Bung Karno pernah berkata, “Kebhinekaan harus terus kita bina, karena justru kebhinekaan inilah unsur menjadikan Ekaan. Bhineka tunggal ika harus kita pahami sebagai satu kesatuan dialektis.” (hal 36). Dengan membina dan menjaga ke-Bhineka Tunggal Ika-an, bangsa Indonesia dapat terus bersatu dan tidak mudah terpecah belah seperti beberapa bangsa lain. 

Tidak ketinggalan, Bung Karno mengingatkan kita untuk  selalu memiliki toleransi beragama. Dia berkata, “Bhineka Tunggal Ika sudah jelas mengatur hidup soal toleransi beragama. Walau kita berbeda agama, suku hingga warna kulit tapi kita tetap satu.” (hal 47). Hal ini ditunjukkan dengan lokasi  Masjid Istiqlal yang dibangun tepat berhadapan dengan  Gereja Katedral. Inilah simbol toleransi bergama yang ingin ditunjukkan Bung Karno. Sikap Bung Karno itu kemudian mengantarkannya sebagai pemimpin negara paling toleran terhadap keberagamaan.

Selanjutnya Bung Karno mengkritisi para pelaku koruptor. Di mana dia menganggap para koruptor sebagai pengkhianat negara. Perilaku tersebut lebih buruk dan hina daripada kejahatan lainnya. Korupsi bukan kejahatan biasa, namun sebagai kejahatan luar biasa. Menurutnya seorang koruptor harus diposisikan ke dalam kasta sosial paling rendah di masyarakat, lebih rendah dari kasta sudra sekalipun (hal 56).

Dalam  pidatonya di depan Kongres Persatuan Pamong Desa, tanggal 12 Mei 1964 di Jakarta, dengan gambalang Bung Karno menista para pelaku koruptor. Bung Karno juga mewanti-wanti rakyatnya untuk tidak melakukan praktik perilaku buruk tersebut.

Selain beberapa hal tersebut, masih ada sikap-sikap yang perlu kita miliki. Seperti anjuran untuk selalu mengayomi orang kecil, selalu mandiri, meningatkan minat baca, tidak melupakan sejarah, selalu bergotong royong, berani bermimpi  dan berimajinasi serta  banyak lagi. Lalu kita juga diingatkan untuk meninggalkan sikap-sikap, seperti ketamakan, kemasalan, kemesuman, keinlanderan—selalu rendah diri, individualisme, dan ego-sentrisme. Kita dituntut untuk menjadi warga Indonesia seutuhnya, menjadi manusia pembina. Sebuah buku yang patut dibaca semua lapisan masyarakat sebagai renungan dan perbaikan diri demi mewujudkan masyarakat unggul dan berkarakter.

Srobyong, 7 Desember 2017

No comments:

Post a Comment