Dimuat di Harian Bhirawa, Jumat 24 Agustus 2018
Judul : Bung Karno dan Revolusi Mental
Penulis : Sigit Aris Prasetyo
Penerbit : Imania
Cetakan : Pertama, November 2017
Tebal : 380 halaman
ISBN : 978-602-7926-37-0
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara
Revolusi mental dalam konteks historis jelas tidak
dapat dipisahkan dengan sang konseptor, Bung Karno. Pada tahun 1950-an, dia telah melihat berbagai bibit
penyakit mentalis yang menggerogoti mentalitas anak bangsa, baik di masyarakat
dan pemerintahan yang dianggapnya kontra revolusi (hal 11). Oleh karena itu
dalam pidato di hari kemerdekaan,
tanggal 17 Agustus 1957 Bung Karno mengajak segenap warga Indonesia
untuk melakukan revolusi mental.
“National building membutuhkan bantuannya Revolusi
Mental! Karena itu, adakanlah Revolusi Mental! Bangkitlah.”
(hal 18).
Di mana maksud revolusi mental adalah sebuah ajakan
untuk melakukan perubahan dan memperbaiki diri menjadi pribadi yang lebih baik.
Kita diharapkan meninggalkan sikap-sikap buruk yang akan merugikan diri sendiri
juga bangsa. Dan konon gasasan Bung Karno tentang “Revolusi Mental” saat ini,
tengah disemaikan dalam program Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Menilik dari sebab musabab tersebut, Sigit Aris
Prasetyo mencoba menguraikan secara sederhana perihal “Revolusi Mental” melalui
potret perkataan, tindakan, karakter dan kehidupan sehari-hari dari Bung Karno.
Dengan harapan kita bisa meneladani dan mengimplementasikan nilai-nilai positif
yang masih relevan dalam konteks kekinian sebagai upaya membangun bangsa negara
yang memiliki karakter unggul.
Di antaranya Bung Karno selalu menggemborkan
semangat nasionalisme kepada seluruh rakyat. Karena semangat
nasionalisme-lah yang akan menjadikan
warga negara selalu mencintai dan rela berkorban untuk kepentingan bangsa. Tanpa nasionalisme sebuah bangsa seperti
hidup tanpa roh. Tanpa nasionalisme sangatlah mustahil suatu bangsa dapat
tumbuh sebagai bangsa besar. Bahkan sebaliknya, dapat menjadi bangsa lemah, rapuh
dan mudah terombang-ambing dalam percaturan politik global (hal 26).
Kita juga harus membina kebhinekaan. Mengingat
Indonesia, merupakan negara yang terdiri dari berbagai suku, budaya, agama dan
bahasa. Oleh karenanya kita harus menjaga
persatuan tanpa membedakan perbedaan yang ada. Bung Karno pernah
berkata, “Kebhinekaan harus terus kita bina, karena justru kebhinekaan
inilah unsur menjadikan Ekaan. Bhineka tunggal ika harus kita pahami sebagai
satu kesatuan dialektis.” (hal 36). Dengan membina dan menjaga ke-Bhineka
Tunggal Ika-an, bangsa Indonesia dapat terus bersatu dan tidak mudah terpecah
belah seperti beberapa bangsa lain.
Tidak ketinggalan, Bung Karno mengingatkan kita
untuk selalu memiliki toleransi
beragama. Dia berkata, “Bhineka Tunggal Ika sudah jelas mengatur hidup soal
toleransi beragama. Walau kita berbeda agama, suku hingga warna kulit tapi kita
tetap satu.” (hal 47). Hal ini ditunjukkan dengan lokasi Masjid Istiqlal yang dibangun tepat
berhadapan dengan Gereja Katedral.
Inilah simbol toleransi bergama yang ingin ditunjukkan Bung Karno. Sikap Bung
Karno itu kemudian mengantarkannya sebagai pemimpin negara paling toleran
terhadap keberagamaan.
Selanjutnya Bung Karno mengkritisi para pelaku
koruptor. Di mana dia menganggap para koruptor sebagai pengkhianat negara.
Perilaku tersebut lebih buruk dan hina daripada kejahatan lainnya. Korupsi
bukan kejahatan biasa, namun sebagai kejahatan luar biasa. Menurutnya seorang
koruptor harus diposisikan ke dalam kasta sosial paling rendah di masyarakat,
lebih rendah dari kasta sudra sekalipun (hal 56).
Dalam
pidatonya di depan Kongres Persatuan Pamong Desa, tanggal 12 Mei 1964 di
Jakarta, dengan gambalang Bung Karno menista para pelaku koruptor. Bung Karno
juga mewanti-wanti rakyatnya untuk tidak melakukan praktik perilaku buruk
tersebut.
Selain beberapa hal tersebut, masih ada sikap-sikap
yang perlu kita miliki. Seperti anjuran untuk selalu mengayomi orang kecil,
selalu mandiri, meningatkan minat baca, tidak melupakan sejarah, selalu
bergotong royong, berani bermimpi dan
berimajinasi serta banyak lagi. Lalu
kita juga diingatkan untuk meninggalkan sikap-sikap, seperti ketamakan,
kemasalan, kemesuman, keinlanderan—selalu rendah diri, individualisme, dan
ego-sentrisme. Kita dituntut untuk menjadi warga Indonesia seutuhnya, menjadi
manusia pembina. Sebuah buku yang patut dibaca semua lapisan masyarakat sebagai
renungan dan perbaikan diri demi mewujudkan masyarakat unggul dan berkarakter.
Srobyong, 7 Desember 2017
No comments:
Post a Comment