Dimuat di Kabar Madura, Selasa 4 September 2018
Judul :
Kisah Hidup A.J. Fikry
Penulis : Gabrielle Zevin
Penerbit :
Gramedia
Cetakan :
Pertama, Oktober 2017
Tebal :
280 halaman
ISBN :
978-602-03-7581-6
Peresensi :
Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatu Ulama, Jepara
“Kita membaca untuk mengetahui kita tidak
sendirian. Kita membaca karena kita
sendirian. Kita membaca dan kita tidak sendirian.”
(hal 263).
Benar kata pepatah bahwa buku adalah teman paling
setia juga teman yang akan selalu menambah pengetahuan. Karena buku akan
membuka banyak jendela yang bisa kita masuki kapan saja. Tidak jauh-jauh dari masalah perbukuan, inilah
tema yang diangkat penulis dalam buku ini.
A.J. Fikry
adalah pemilik Island Books—toko
buku satu-satunya di Alice. Dulu dia
membangunnya bersama sang istri—Nicole. Namun sejak istrinya meninggal A.J
berubah. Dia mulai menjadi pribadi yang sinis dan emosi. Dia pernah bersikap
kasar pada Amelia Loman—wiraniaga penerbit yang menawarkan buku. Dia yang suka
membaca—meski hanya karya-karya sastra berat, tidak suka teenlit, chicklit, dan
genre lainnya—mulai menganggap buku adalah membosankan—bahkan tidak lagi
membaca.
Meski A.J tetap bertahan menjual buku, lambat laun penjualannya merosot tajam. Keadaan itu sungguh membuatnya maskin frustasi. Dia
benar-benar tidak memiliki semangat hidup. Dia menenggelamkan diri dengan
minum-minum. Hingga suatu haru, A.J menyadari koleksi puisi Poe yang langka
telah hilang (hal 34). Dan kemunculan sebuah paket menarik yang dia temukan di
pojok tokonya—dilengkapi sepucuk pesan—telah
merubah kehidupan A.J.
“Ini Maya. Umurnya 25 bulan. Ia sangat cerdas,
sangat pandai bicara untuk seusianya, dan anak yang sangat manis dan baik. Aku
ingin ia tumbuh sebagai anak yang gemar membaca. Aku ingin ia dibesarkan di
tempat dengan buku-buku dan di antara orang yang peduli dengan hal-hal semacam
itu.” (hal 53-54).
Sejak kehadiran Maya, A.J merasa memiliki kekuatan
baru untuk bertahan hidup. Meski tidak berpengalaman dalam merawat bayi, dia
berusaha yang terbaik merawat Maya.
Selain itu A.J juga mulai memperbaiki kesalahannya. Dia meminta maaf
pada Amelia dan mulai menata kembali bisnis bukunya. Hingga akhirnya bisnis bukunya mulai berangsur
membaik.
Maya pun tumbuh menjadi gadis yang cerita, semakin
menggemari buku dan bercita-cita menjadi penulis. Dia belajar banyak dari
tulisan-tulisan milik A.J juga dari koleksi buku di Island Books. Dan A.J pun
mulai membuka diri—sejak peritiwa pencurian buku itu, A.J menjadi dekat dengan
petugas polisi bernama Lambiase—yang awalnya tidak terlalu suka membaca, kini
kecanduan membaca—bahkan membuat klub baca polisi.
Kejutan yang tidak terkira adalah ketika A.J
menyadari bahwa dia memiliki ketertarikan dengan Amelia. Dia merasa memiliki
kecocokan ketika berdiskusi dengan gadis itu. Pengetahuannya tentang berbagai
buku dan kecerdasannya membuat A.J tertarik. Tentu saja selain sekelumit masalah itu, masih
banyak kejutan lain yang ditawarkan novel ini. Misalnya tentang misteri siapa
orang orangtua kandung Maya, hingga siapa sebenarnya pencuri buku puisi A.J.
Penulis menyelesaikan kisahnya dengan ekseskusi yang baik.
Novel ini cukup menghibur, alurnya menarik. Tema
buku sudah menjadi daya tarik tersendiri. Membuat kita penasaran dan tidak
ingin berhenti membaca sebelum menyelesaikan kisah ini. Hanya saja ada
beberapa bagian yang entah mengapa
menurut rasa saya sedikit membosankan. Tapi hal itu cukup terasamarkan dengan
banyaknya pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah ini.
Secara tidak langsung A.J menjabarkan bagaimana
proses yang perlu dilakukan bagi siapa saja yang ingin menulis—yaitu mau
membaca dan mulai menulis—itulah pokok utamanya. Di sini A.J juga menyuarakan
kekhawatirannya perihal buku elektronik yang sejatinya bisa menurunkan minat
baca.
“Buku elektronik bukan hanya akan menghancurkan
bisnisku, tapi lebih buruk lagi, membuat berabad-abda budaya baca yang kuat
mengalami penurunan dengan pasti dan cepat.” (hal 229).
Dari perjalanan hidup A.J, kita juga diajari untuk
menjadi sosok kuat dan harus bangkit, meski banyak cobaan yang menerpa kita.
Tak ada sesuatu yang abadi, oleh karena itu kita harus sabar ketika mendapat
ujian dan selalu kuat untuk bertahan semaksimal mungkin.
Dan saya sangat setuju dengan pemikiran Nicole dan
A.J sebelum mereka membangun Island Books ini di Alice “Sebuah tempat kurang
sempurna tanpa toko buku.” (hal 212).
Srobyong, 11 Februari 2018
Iya Mas. BebeB banget. Membaca itu obat jiwa.
ReplyDelete