Thursday 21 January 2021

Resensi -Bakti Anak Pada Ayah

 

Judul          :  Ayah, Aku Rindu

Penulis       : S. Gegge Mappangewa

Penerbit      : Indiva Media Kreasi

Cetakan       : Pertama, Maret 2020

Tebal           : 192  halaman

ISBN           : 978-602-495-290-7

Harga buku  : Rp45.000

Peresensi      : Ratnani Latifah. Penulis dan penikmat buku asal Jepara

Mengambil tema tentang bakti pada orangtua—khususnya kepada sang ayah, novel ini cukup menarik untuk disimak. Perlu kita sadari, tidak hanya kepada ibu bakti kepada ayah juga sangat penting. Karena seorang ayah pun memiliki peran tidak kalah penting dari seorang ibu. Jika ibu berjuang mengandung sampai sembilan bulan, bertaruh nyawa dan merawat kita dengan kasih sayang, seorang ayah pun memiliki peran tidak kalah penting. Ayah adalah pejuang tanggguh yang mau bekerja keras untuk memenuhi segala kebutuhan anak. Tidak peduli panas, atau hujan, lelah atau tidak ia terus berjuang.

Rudi tidak menyangka, bahwa kebersamaan dengan ibunya tidaklah lama. Pada usia yang masih cukup belia ia harus kehilangan sosok yang ia jadikan panutan dan sosok yang ia sayang. Tidak hanya itu, bersamaan dengan kepergian sang ibu, Rudi pun harus menelan pil pahit, melihat keadaan ayahnya, yang ternyata berubah total.

“Luka, duka, derita, tak menunggu orang dewasa dulu untuk kemudian ditimpanya. Semua kepahitan itulah yang akan menempa kedewasaan.” (hal 60).

Sang ayah seperti orang yang kehilangan arah. Ia masih belum bisa menerima kepergian istrinya. Ia tidak segan marah kepada Rudi, jika mengingatkannya kalau ibunya sudah tiada. Tidak hanya itu, sejak kepergian sang ibu, ayahnya seperti tidak lagi mengenali dirinya. Lebih parah, kadang sang ayah berusaha menyakiti dirinya.  Rudi tentu saja sangat sedih. Kesedihan muncul bertubi-tubi dalam kehidupannya.  Meski begitu, Rudi tidak pernah membenci ayahnya. Ia tetap berusaha merawat ayahnya dengan penuh perhatian. Ia sangat berharap suatu hari, ayahnya bisa sembuh sebagaimana sedia kala.

“Harapan selalu ada untuk orang-orang yang bersabar.”  (hal 56).

Di tengah kesedihan yang dialami Rudi, beruntung ada Pak Sadli, yang dengan senang hati selalu mengulurkan tangan untuk menolong Rudi. Gurunya itu entah kenapa selalu bersikap baik kepada dirinya. Hingga suatu hari sebuah tabir misteri tidak terduga, terkuak, dan menjawab segala kebingungan Rudi, atas segala kejadian yang menimpanya. Ia baru sadar bahwa setiap orang pasti memiliki masa lalu dan juga pernah melakukan kesalahan. Tinggal bagaimana menyikapinya. 

“Salah, masalah dan masa  lalu miliki semua orang.”  (hal 56).

Dari segi tema, novel ini memang cukup unik. Mengingat biasanya banyak penulis yang lebih sering menceritakan tentang bakti pada sang ibu daripada kepada ayah. Kebanyakan cerita juga sering menunjukkan bagaimana kedekatan anak pada ibu daripada ayahnya.  Selain mengangkat tema bakti kepada ayah, novel ini juga diselipi kisah-kisah lain yang cukup seru untuk disimak, yang membuat cerita  di dalamnya semakin kompleks dan membuat pembaca penasaran. Karena sedikit banyak kisah itu sangat dekat dengan kehidupan para remaja.  Dari masalah persahabatan, cinta dan hubungan kemasyarakatan.

Saya suka dengan sindiran halus yang disisipkan penulis tentang bagaimana menanggapi masalah cinta untuk para remaja yang masih sekolah. Bahasanya halus tapi sangat mengena.

“Bagiku jatuh cinta itu perlu, tapi untuk memainkanya, sepertinya buku pelajaranku masih butuh belaian lembut tanganku sebagai pelajar.” (hal 22).

Dari segi gaya bahasa, novel ini  sangat  mudah untuk dinikmati. Karena bahasanya lugas dan mudah dipahami. Kita tidak perlu berpikir keras untuk memahami setiap bagian cerita  atau bingung dengan kosakata-kosata baru, mengingat penulis langsung menyertakan catatan kaki untuk pemakaian bahasa daerah. Jadi membaca novel ini terasa sangat nyaman.

Untuk alur dan plot, penulis sebenarnya juga sudah merancangkan dengan sedemikian rupa, sehingga kisahnya terstruktur dengan baik. Hanya saja  dari beberapa segi, saya merasa ada yang kurang dan bahkan terkesan datar, untuk  cerita itu sendiri. Ada semacam rasa kurang greget dari konflik yang dipaparkan penulis.  

Kemudian, untuk pemakaian sudut pandang orang pertama yang tidak konsisten antara menggunakan saya dan aku—meski mungkin pilihan penggunaan aku dan saya memang disengaja penulis—jujur sedikit banyak membuat saya kurang nyaman.  

Sebagai “Pemenang Pertama pada Kompetisi Menulis Indiva 2019 Kategori Novel  Remaja”.  Jujur saya menantikan kisah unik,  seru dan menarik.  Akan tetapi ternyata harapan itu belum saya dapatkan ketika membaca novel ini.   Bahkan untuk ending cerita pun jadi terasa tidak  terlalu wow, karena sudah bisa tertebak sejak awal membaca. Beruntung hal itu cukup tertutupi dengan kejutan-kejutan kecil  yang sudah disiapkan penulis pada setiap babnya.  Jika diminta memilih saya lebih menikmati novel karya penulis yang berjudul “Sabda Luka” di mana kisahnya lebih mengena dan penuh intrik yang menarik dan menegangkan.

Namun lepas dari beberapa kekurangan yang ada, novel ini tetap sarat akan makna dan pembelajaran inspiratif. Selain dari tema dan gaya bahasa, novel ini memiliki cukup unggul dalam masalah penggambaran settingnya. Karena penulis memang dikenal sebagai sosok yang piawai dalam menggambarkan setting cerita dengan apik dan tidak terkesan tempelan.  Penulis juga piawai dalam menyelipkan lokalitas daerah Allakuang, Sidenreng  Rappang.

Di mana dari novel ini kita diingatkan tentang pentingnya berbakti kepada orangtua—di sini bakti kepada ayah—apa pun keadaannya. Sebagai seorang anak, kita memang harus selalu menjaga dan merawat orangtua apa pun keadaannya. Itulah yang digambarkan dalam novel ini. Rudi meski masih remaja, ia memiliki semacam semangat juang dalam merawat ayahnya.

Ia tidak ingin melupakan ayahnya karena masalah gangguan mental yang dialami.  Sebaliknya ia merengkuh dan memeluk, berusaha sekuat tenaga, agar ayahnya bisa sembuh sebagimana sedia kala.  Begitulah seharusnya seorang anak, merawat orangtua memangkewajibannya.  Karena orangtua sudah merawat sejak kecil dengan penuh kasih sayang. Jangan sampai ketika sudah merasa dewasa, kita memilih meninggalkan dan menitipkan orangtua di pantai jompo, ketika sudah usia senja.

 Kita juga diajarkan untuk bersikap jujur. Karena kejujuran adalah modal dalam segala hal. Bagaimana kita bisa dipercaya orang lain jika tidak memiliki kejujuran? Di sini kita bisa melihat Rudi berani mengakui dengan jujur bahwa dalam sebuah lomba yang ia ikuti, ia telah melakukan kecurangan dengan mengirim karya yang bukan miliknya. Ia juga siap dengan segala konsekuensi dari apa yang telah dia lakukan. Secara tidak langsung, penulis seolah mengajak, memotivasi kita untuk melakukan sikap-sikap terpuji salah satunya dengan berlaku jujur dalam segala keadaan.

Tidak putus asa selama berdoa, selalu memiliki harapan,  syukur, sabar dan banyak lagi.   Kadang kala banyak orang yang sudah berdoa tetapi ternyata Allah belum mengabulkan harapan itu. Sedih dan mungkin kecewa, tetapi di sini melalui kisah Rudi, kita diajarkan untuk selalu berbesar hati. Mungkin Allah telah menyiapkan rencana yang lebih baik, sebelum mengambulkan doa yang diinginkan.

Kita seolah diajarkan bahwa sebagai makhluk Allah kita harus selalu memiliki harapan dan berpikir positif terhadap Allah. Kita juga harus selalu mensyukuri apa pun keadaan yang telah Allah tetapkan. Kita juga harus selalu bersabar meski banyak cobaan datang bertubi-tubi. Mungkin melalui cobaan itu Allah telah menyiapkan sesuatu yang tidak terduga.  

 “Jangan terlalu banyak  memikirkan risiko jika yang ingin kamu lakukan adalah kebaikan! Kejujuran memang selalu ditakdirkan untuk merasa pahit di awal. Tapi jika sudah tertelan, pahitnya akan hilang, lalu menghasilkan khasiat.” (hal 150).

Srobyong, 20  Januari 2021

 


No comments:

Post a Comment