Judul : Ayah, Aku Rindu
Penulis : S. Gegge
Mappangewa
Penerbit : Indiva Media
Kreasi
Cetakan : Pertama,
Maret 2020
Tebal : 192 halaman
ISBN :
978-602-495-290-7
Harga buku : Rp45.000
Peresensi : Ratnani
Latifah. Penulis dan penikmat buku asal Jepara
Mengambil tema tentang bakti pada orangtua—khususnya kepada sang ayah,
novel ini cukup menarik untuk disimak. Perlu kita sadari, tidak hanya kepada
ibu bakti kepada ayah juga sangat penting. Karena seorang ayah pun memiliki
peran tidak kalah penting dari seorang ibu. Jika ibu berjuang mengandung sampai
sembilan bulan, bertaruh nyawa dan merawat kita dengan kasih sayang, seorang
ayah pun memiliki peran tidak kalah penting. Ayah adalah pejuang tanggguh yang
mau bekerja keras untuk memenuhi segala kebutuhan anak. Tidak peduli panas,
atau hujan, lelah atau tidak ia terus berjuang.
Rudi tidak menyangka, bahwa kebersamaan dengan ibunya tidaklah lama.
Pada usia yang masih cukup belia ia harus kehilangan sosok yang ia jadikan
panutan dan sosok yang ia sayang. Tidak hanya itu, bersamaan dengan kepergian
sang ibu, Rudi pun harus menelan pil pahit, melihat keadaan ayahnya, yang
ternyata berubah total.
“Luka, duka, derita, tak menunggu orang dewasa dulu untuk kemudian
ditimpanya. Semua kepahitan itulah yang akan menempa kedewasaan.” (hal
60).
Sang ayah seperti orang yang kehilangan arah. Ia masih belum bisa
menerima kepergian istrinya. Ia tidak segan marah kepada Rudi, jika
mengingatkannya kalau ibunya sudah tiada. Tidak hanya itu, sejak kepergian sang
ibu, ayahnya seperti tidak lagi mengenali dirinya. Lebih parah, kadang sang
ayah berusaha menyakiti dirinya. Rudi
tentu saja sangat sedih. Kesedihan muncul bertubi-tubi dalam kehidupannya. Meski begitu, Rudi tidak pernah membenci
ayahnya. Ia tetap berusaha merawat ayahnya dengan penuh perhatian. Ia sangat
berharap suatu hari, ayahnya bisa sembuh sebagaimana sedia kala.
“Harapan selalu ada untuk orang-orang yang bersabar.” (hal 56).
Di tengah kesedihan yang dialami Rudi, beruntung ada Pak Sadli, yang dengan senang hati selalu mengulurkan tangan untuk menolong Rudi. Gurunya itu entah kenapa selalu bersikap baik kepada dirinya. Hingga suatu hari sebuah tabir misteri tidak terduga, terkuak, dan menjawab segala kebingungan Rudi, atas segala kejadian yang menimpanya. Ia baru sadar bahwa setiap orang pasti memiliki masa lalu dan juga pernah melakukan kesalahan. Tinggal bagaimana menyikapinya.
“Salah, masalah dan masa
lalu miliki semua orang.”
(hal 56).
Dari segi tema, novel ini memang cukup unik. Mengingat biasanya banyak
penulis yang lebih sering menceritakan tentang bakti pada sang ibu daripada
kepada ayah. Kebanyakan cerita juga sering menunjukkan bagaimana kedekatan anak
pada ibu daripada ayahnya. Selain
mengangkat tema bakti kepada ayah, novel ini juga diselipi kisah-kisah lain
yang cukup seru untuk disimak, yang membuat cerita di dalamnya semakin kompleks dan membuat
pembaca penasaran. Karena sedikit banyak kisah itu sangat dekat dengan
kehidupan para remaja. Dari masalah
persahabatan, cinta dan hubungan kemasyarakatan.
Saya suka dengan sindiran halus yang disisipkan penulis tentang
bagaimana menanggapi masalah cinta untuk para remaja yang masih sekolah.
Bahasanya halus tapi sangat mengena.
“Bagiku jatuh cinta itu perlu, tapi untuk memainkanya, sepertinya buku
pelajaranku masih butuh belaian lembut tanganku sebagai pelajar.” (hal
22).
Dari segi gaya bahasa, novel ini
sangat mudah untuk dinikmati.
Karena bahasanya lugas dan mudah dipahami. Kita tidak perlu berpikir keras
untuk memahami setiap bagian cerita atau
bingung dengan kosakata-kosata baru, mengingat penulis langsung menyertakan
catatan kaki untuk pemakaian bahasa daerah. Jadi membaca novel ini terasa
sangat nyaman.
Untuk alur dan plot, penulis sebenarnya juga sudah merancangkan dengan
sedemikian rupa, sehingga kisahnya terstruktur dengan baik. Hanya saja dari beberapa segi, saya merasa ada yang kurang
dan bahkan terkesan datar, untuk cerita
itu sendiri. Ada semacam rasa kurang greget dari konflik yang dipaparkan penulis.
Kemudian, untuk pemakaian sudut pandang orang pertama yang tidak
konsisten antara menggunakan saya dan aku—meski mungkin pilihan penggunaan aku
dan saya memang disengaja penulis—jujur sedikit banyak membuat saya kurang
nyaman.
Sebagai “Pemenang Pertama pada Kompetisi Menulis Indiva 2019 Kategori
Novel Remaja”. Jujur saya menantikan kisah unik, seru dan menarik. Akan tetapi ternyata harapan itu belum saya dapatkan
ketika membaca novel ini. Bahkan untuk ending
cerita pun jadi terasa tidak terlalu
wow, karena sudah bisa tertebak sejak awal membaca. Beruntung hal itu cukup
tertutupi dengan kejutan-kejutan kecil
yang sudah disiapkan penulis pada setiap babnya. Jika diminta memilih saya lebih menikmati
novel karya penulis yang berjudul “Sabda Luka” di mana kisahnya lebih mengena
dan penuh intrik yang menarik dan menegangkan.
Namun lepas dari beberapa kekurangan yang ada, novel ini tetap sarat
akan makna dan pembelajaran inspiratif. Selain dari tema dan gaya bahasa, novel
ini memiliki cukup unggul dalam masalah penggambaran settingnya. Karena penulis
memang dikenal sebagai sosok yang piawai dalam menggambarkan setting cerita
dengan apik dan tidak terkesan tempelan.
Penulis juga piawai dalam menyelipkan lokalitas daerah Allakuang,
Sidenreng Rappang.
Di mana dari novel ini kita diingatkan tentang pentingnya berbakti
kepada orangtua—di sini bakti kepada ayah—apa pun keadaannya. Sebagai seorang
anak, kita memang harus selalu menjaga dan merawat orangtua apa pun keadaannya.
Itulah yang digambarkan dalam novel ini. Rudi meski masih remaja, ia memiliki
semacam semangat juang dalam merawat ayahnya.
Ia tidak ingin melupakan ayahnya karena masalah gangguan mental yang
dialami. Sebaliknya ia merengkuh dan
memeluk, berusaha sekuat tenaga, agar ayahnya bisa sembuh sebagimana sedia
kala. Begitulah seharusnya seorang anak,
merawat orangtua memangkewajibannya.
Karena orangtua sudah merawat sejak kecil dengan penuh kasih sayang.
Jangan sampai ketika sudah merasa dewasa, kita memilih meninggalkan dan
menitipkan orangtua di pantai jompo, ketika sudah usia senja.
Kita juga diajarkan untuk
bersikap jujur. Karena kejujuran adalah modal dalam segala hal. Bagaimana kita
bisa dipercaya orang lain jika tidak memiliki kejujuran? Di sini kita bisa
melihat Rudi berani mengakui dengan jujur bahwa dalam sebuah lomba yang ia
ikuti, ia telah melakukan kecurangan dengan mengirim karya yang bukan miliknya.
Ia juga siap dengan segala konsekuensi dari apa yang telah dia lakukan. Secara
tidak langsung, penulis seolah mengajak, memotivasi kita untuk melakukan
sikap-sikap terpuji salah satunya dengan berlaku jujur dalam segala keadaan.
Tidak putus asa selama berdoa, selalu memiliki harapan, syukur, sabar dan banyak lagi. Kadang kala banyak orang yang sudah berdoa
tetapi ternyata Allah belum mengabulkan harapan itu. Sedih dan mungkin kecewa,
tetapi di sini melalui kisah Rudi, kita diajarkan untuk selalu berbesar hati. Mungkin
Allah telah menyiapkan rencana yang lebih baik, sebelum mengambulkan doa yang
diinginkan.
Kita seolah diajarkan bahwa sebagai makhluk Allah kita harus selalu memiliki harapan dan berpikir positif terhadap Allah. Kita juga harus selalu mensyukuri apa pun keadaan yang telah Allah tetapkan. Kita juga harus selalu bersabar meski banyak cobaan datang bertubi-tubi. Mungkin melalui cobaan itu Allah telah menyiapkan sesuatu yang tidak terduga.
“Jangan terlalu banyak memikirkan risiko jika yang ingin kamu
lakukan adalah kebaikan! Kejujuran memang selalu ditakdirkan untuk merasa pahit
di awal. Tapi jika sudah tertelan, pahitnya akan hilang, lalu menghasilkan
khasiat.” (hal 150).
Srobyong, 20 Januari 2021
No comments:
Post a Comment