Sunday 14 September 2014

Terimakasih Sahabat



Terimakasih Sahabat

            Sakit yang aku rasa semakin membuatku ngilu. Entah sejak kapan rasa ini menjalar diseluruh tubuhku. Menjadi racun yang terus mengerogoti kekebalan tubuh ini. aku terbangun dari tidurku. Masih kurasakan pening di kepalaku. Semakin lama rasa sakit ini menyiksaku. Aku menjadi lemah dan tak bergairah. Setiap sakit ini muncul, rasanya inginku benturkan saja kepala. Biar tidak ku rasakan lagi sakit yang menyiksa ini.
            “Dimana ya obatku?” aku mencoba mencari obat yang seringku konsumsi untuk sekedar menghilangkan nyeri yang ku rasakan ini.
            Aku membuka setiap laci yang  ada, melihat kesemua pejuru ruangan, namun aku tidak menemukan benda kecil itu. Padahal saat ini aku sangat membutuhkannya. Entah di mana aku tadi meletakkanya. Aku lupa, tapi biasanya aku selalu menaruhnya di sampingku, bahkan selalu dalam genggaman tanganku. Aku mencoba mencari lagi, namun hasilnya nihil.
            Aku mulai menagis merasakan sakit yang luarbiasa di kepalaku ini. aku harus cepat menemukannya. Beruntung aku bisa mendapatkan kembali obatku itu, sehingga sedikit berkurang rasa sakit yang menjangkitku.
            Aku berjalan melewati jalan setapak di kompleks rumah sakit, menikmati udara di pagi hari. Aku melihat betapa beruntungnya orang-orang yang berada di hadapanku ini, yang belalau lalang di jalan ini. meraka mendapat nikmat sehat, bisa bebas melakukan apapun yang disukai. Menikmati hidup dengan senyum ceria yang dimiliki. Lalu aku? Aku terjebak disini, dengan sakit yang ku derita. Yang datang tiba-tiba, dan kemudian merenggut segala kebahagianku.
            Tanpa kusadari, aku mulai menagis di bangku taman ini. aku merasa ini tidak adil. Kenapa harus aku yang mengidap sakit ini?
            Padahal aku sudah membuat planning untuk semua, untuk kegiatan yang akan aku lakukan. Rencana-rencana yang telah aku susunpun kacau berantakan. Aku harus merelakan semua mimpi yang ku miliki. Menghapusnya dari memoriku.
            “Dea? Dea? Kau dari mana saja?” suara yang sangat ku kenal kini menghampiriku, berjalan kearahku.
            “Dea kau ini membuatku takut saja, kau jangan keluar sendirian dong, kalau mau jalan-jalan bilang, aku akan menemanimu.” Risa memarahiku. Tapi, sebenarnya dia sangat baik, dia masih saja memperhatikanku, menemaniku disela kesibukan yang dimilikinya.
            “Aku bosan Ris, di kamar sendirian, tidak bisa pergi kemana-mana, aku ingin seperti dulu Ris, kita bersama-sama kemanapun yang kita inginkan.”
            “Aku ingin menikmati hidup yang bebas yang tidak tergantung akan obat, tidak terkurung seperti ini, kenapa harus aku Ris? Kenapa Ris. Aku ingin sehat aku ingin bebas Ris.” Aku terisak.
            “Dea, yang sabar ya, kamu pasti sembuh, kamu pasti bisa kembali seperti dulu, makanya kamu harus rajin perawatan, nanti kita bisa bersama lagi. Kamu mau ya dirawat di rumah sakit, biar cepat sembuh.” Risa mencoba membujuk. Dia sahabatku yang selalu peduli denganku, bahkan ketika aku terpuruk. Dia dengan sabar selalu menemani perawatanku. Dia selalu menghiburku kala aku sedang down, seperti saat ini. Risa merangkul pundakku. Tadi dia pasti sangat khawatir, karena aku keluar sendirian.
            “Dea, jangan pergi sendirian, kenapa kau tidak bangunkan ibu.” Ibu menghambur memelukku.
            “Maafkan Dea ibu.” Aku ikut terisak.
            Aku kembali dalam isolasi ruangan yang sebenarnya sangat aku benci. Tapi, aku tidak ada pilihan lain. Aku harus dirawat jika ingin segera pulih.
            Aku masih ingat dengan jelas, hari itu aku sangat bahagia setelah kelulusan sekolahku, aku dan Risa menikmati pesta syukuran yang kami adakan, kami menyusun rencana yang akan kami lakukan setelah ini. Kami sepakat untuk kuliah di tempat yang sama. Rasanya senang ketika kami benar-benar diterima di universitas yang sama.
            “Wah, asyik kita bakal bersama lagi.” Ucap Risa dan aku kegiran. Kami bersorak riang.
            Menjalani hari-hari pertama sebagai mahasiswa, menambah lagi kenangan kebersamaan kami. Kami seperti saudara kembar yang tidak terpisahkan. Risa selalu menjagaku karena aku yang memang memiliki tubuh yang rentan. Sejak awal kami berteman Risa sudah tahu, bahwa aku sering pingsan dengan tiba-tiba. Apalagi jika benar-benar kecapaian.
            Tapi, tak kusangka kebersamaanku dengan Risa berakhir saat itu. Tiba-tiba aku pingsan saat berada di kelas. Merasakan sakit yang luar biasa di kepalaku. Padahal, seingatku aku sudah minum obat pereda nyeri yang ku miliki. Obat sementra yang bisa menekan penyebaran tumor otak yang aku derita.
            Sejak kapan pastinya penyakit ini mengerogotiku, aku sungguh tidak tahu. Seingatku, aku sudah sering merasakan sakit kepala ketika aku masih di bangku SMP. Setiap aku terlalu tertekan dengan pelajaranku, pusing itu menyerangku.
            “Dea, kau baik-baik saja.” Risa mengguncang-guncang tubuhku. Aku pingsan.
            Risa segera membawaku kerumah sakit, menghubungi keluargaku. Dia nampak begitu cemas dan sedih. Menungguiku hingga aku bangun dari tidurku.
            “Syukurlah Dea kau baik-baik saja,” dia menghambur kedalam pelukanku.
            “Terimaksih Risa,” ucapku tulus, aku tersenyum, meyakinkah dia bahwa aku baik-baik saja.
            “Terimakasih sobat, we are best friend forever,” aku tersenyum.
            “friend forever,” Risa memelukku.
            Aku  tersenyum, merasa senang, sekarang aku sudah merasa ringan, tidak ada lagi beban. Ada rasa lega yang menyusup dalam dada. Aku tidak lagi harus mersakan rasa sakit yang sama. Aku terbebas. Aku ingin berterimakasih pada Risa , sahabat baikku. Selama ini dia selalu menemani dan mendukungku. Menghiburku dikala aku lemah.
            Risa terimakasih untuk semua, semangatmu membuatku untuk terus maju, melawan rasa sakit ini untuk bertahan slalu. Aku senang kau menjadi sahabatku, tetap tersenyum Risa, jangan menangis, raihlah mimpimu, karena  itu juga mimpi bagiku. Aku berdoa untuk mu, aku sudah lelah dan ingin tidur sekarang, sehat selalu Risa.
            Empat tahun berlalu, kau masih datang mengunjungiku, menceritakan semua tentang kegiatan dan kesibukkanmu. Menceritakan cita-cita yang dulu kita mimpikan bersama.
            “Lihatlah Dea, sebentar lagi aku berhasil, dan aku akan berusaha keras, mencari  obat untuk penyakitmu, agar aku tidak lagi melihat orang lain kehilangan seseorang yang disayanginya,” ucap Risa.
            Risa beranjak dari nisanku, meninggalakanku dalam gundukan tanah. 


No comments:

Post a Comment