Kazuhana El Ratna Mida
Dini terkesiap. Matanya membelalak melihat pemandangan yang
membuat jantungnya berdetak tak karuan. Gelisah, ngeri dan ingin lari.
Tapi kaki itu tak mau diajak kompromi, membuat dia masih berdiri tegak
tak bisa berlari.
Sekujur tubuh Dini dialiri keringat. Tubuhnya menengang,
ketika makhluk cantik itu berjalan mendekat. Makhluk itu melayang-layang
dengan senyumnya mencekam. Dini memejamkan mata. Entah apa yang akan
menerpanya.
“Din! Ngapain kamu menutup mata begitu? Katanya mau ke kamar mandi, trus kembali siaran, kok lama sekali,” gerutu Mona.
Dini membuka mata. Makhluk tadi yang dilihatnya sudah hilang tinggal sosok Mona yang membuatnya lega.
“Sejak kapan kamu ke sini?” tanya Dini bingung.
“Aku kali yang harus tanya, katanya ke kamar mandi kok
malah berdiri di lorong ini. Tuh ditunggu buat nerusin siaran,” Mona
menarik tangan Dini tanpa memberi kesempatan untuk menjelaskan.
Sesampai di tempat siaran dia langsung mendapat teguran.
Dini hanya diam. Mungkinkah mereka akan percaya ketika dia menjelaskan
apa yang dilihatnya? Sudahlah!
Dini pun mulai meneruskan siaranya. Meski sebenarnya masih
ada ketakutan yang menyelimuti. Semoga tadi itu hanya halusinasi. Namun
betapa Dini kaget, ketika dia menatap keluar jendela, wajah itu mucul
mendadak. Sontak Dini berdiri dan memundurkan langakah membuat, Mona
yang juga ada di sana kaget.
“Kenapa, Din?”
“Tidak ada, aku cuma kaget,” bohong Dini.
Dia kembali pada posisinya dan menyelesaikan tugasnya. Mungkin dia terlalu lelah dan butuh istirahat segera.
Tepat jam dua belas dini hari, siaran baru selesai. Dini
bergegas meraih tas dan berpamitan pulang. Sedari tadi tengguknya terus
merinding tak karuan. Kenapa suasana kantor yang biasanya aman mendadak
horor?
“Kamu kenapa sih, Din? Hari ini aneh banget,” celetuk Mona.
“Memang kamu percaya kalau aku bilang di sini ada hantu,” ucap Dini Menatap Mona. Mona langsung terbahak.
“Jangan aneh kamu, Din. Di zaman modern seperti ini. Masak takut dengan hantu.”
Dini memang tahu Mona, dia tipe seorang yang tidak percaya
akan hal mistis seperti ini. Dia lebih suka melihat realita yang ada.
Segala film horror yang ada dikiranya hanya fiktif belaka. Karena apa?
Ya, karena dia belum sekali pun melihatnya. Dia baru bisa percaya hantu
itu ada jika mereka menampakkan diri dihadapnnya.
“Terserah kamu, Mon, kalau tidak percaya. Aku duluan.” Dini
meninggalkan Mona yang masih mematung melihat dia sudah memacu sepeda
motor.
Jalan sepi cukup membuat aman Dini untuk memaju motornya
dengan kecepatan tinggi. Inilah kenapa. Dia paling malas kalau mendapat
jatah siaran malam.
Untunglah sekarang dia sudah sampai di rumah. Paling tidak
ini tempat aman yang jauh dari jangkauan hantu. Setelah membersihkan
diri, Dini pun merebahkan tubuh lelahnya.
***
“Kenalkan, aku Mutia. Produser baru yang akan menggantikan
Surya.” Wanita cantik itu mengulurkan tangan pada Dini. Meski bingung
Dini tetap membalas uluran tangan itu dan menyebutkan namanya.
Gadis itu mirip seseorang yang pernah dia lihat tapi di
mana? Dini berpikir keras. Tapi usahnya gagal dia tidak ingat. Mungkin
hanya dejavu yang dia rasa.
Dini tidak tahu kalau ada produser baru. Apalagi dipasangakan dengan dirinya. Selama ini dia sudah cocok dengan Surya.
Kenapa harus Mutia yang menggantikan Surya? Wanita ini
sungguh aneh dengan segala tingkah lakunya. Dini juga merasa tidak
nyaman. Seolah ada bahaya yang mengintainya.
“Ikutlah denganku!” tiba-tiba Mutia menarik tangan Dini dengan kasar.
“Hei! Apa yang kalau lakuakan?” protes Dini.
“Sudah tidak usah banyak bicara. Ikut saja!” bentaknya.
Dini akhirnya menurut saja. Seperti dugaannya wanita ini sangat aneh.
Sudah begitu sangat kasar, kontras dengan perawakan cantik dan anggun
yang dimilikinya.
Dia membawa Dini ke atap gedung kantor Soraya Radio, 91.07 FM.
“Kenapa kita ke sini?” tanya Dini tidak mengerti.
Bukannya menjawab Mutia malah semakin mempererat gengaman tangannya pada Dini.
“Lepaskan! Kau sudah keterlaluan,” marah Dini.
Dia sudah tidah tahan.
Mutia kini menatap Dini. Sorot mata benci terjelas di sana. Dia memposisikan Dini di pinggir gedung bertingkat lima. Tangan itu siap mendorong Dini dengan segera.
“Jangan harap kamu bisa lepas dariku,” ucap Mutia dengan senyum bringasnya. Dia mendorong tubuh Dina agar jatuh.
“Hai, apa salahku padamu? Bukankah kita baru bertemu, kenapa kau ingin membunuhku?” Dini sungguh bingung.
Mutia mencengkeram lengan Dini kuat. Matanya menyala merah.
Seketika Dini ingat siapa cewek itu di depannya. Dia makhluk yang sama
yang pernah dia lihat sebelumnya.
“Tidak!” teriak Dini.
****
Jantung Dini berpacu cepat. Keringat dingin menjalar
keseluruh tubuh. Mimpi buruk yang baru saja menyapa, membuatnya lemas
tak berdaya. Dini menarik napas, mencoba mengatur detak jantung yang
masih kembang-kempis.
“Ya, Allah. Semoga ini bukan pertanda buruk,” doanya.
Dini melangah menuju kamar mandi, membasuh muka. Semoga kesegaran yang tercipta mampu membantunya membuang gelisah yang mendera.
Dini menatap kaca besar di kamar mandi. Sekelebat bayang
berbaju merah melintas di belakangnya, yang terpantul dari kaca besar
itu. Dia terkesiap. Mungkinkah dia masih di alam mimpi?
Dini mundur beberapa langkah. Mencari sosok dia yang tadi
mencoba menampakkan diri. Namun hasilnya nihil. Dia hanya menakut-nakuti
ternyata. Dini meninggalkan kamar mandi dengan banyak tanya.
Dia duduk lemas di kasurnya. Siapa wanita itu? Kenapa dia
datang dan ingin membuhnya. Wanita yang dia lihat beberapa kali di radio
tempat dia bekerja. Di lorong menuju kamar mandi.
Dan sejak itu Dini selalu bermimpi buruk di kejar-kejar
hantu, atau dikutuk. Dini merasa tersiksa karena tidak bisa tidur
nyeyak.
Pasalnya baru memejamkan mata, wanita itu mucul menyeringai
dan ingin mencbik-cabik dirinya. Belum lagi, ketika dia terdampar di
lorong menuju toilet kantor yang membuatnya ingin muntah. Beberapa kali,
Dini terbangun dan berada di sana. Aneh. Padahal dia yakin, semalam
tidur pulas di rumah.
Ada kejadian apa di sana?
****
Lagi-lagi dia selalu dapat jatah siaran malam. Ingin
menolak tapi, itu tidak professional. Dengan masih menyimpan takut
karena mimpi buruk. Dia sebisa mungkin menghindari pergi ke kamar mandi.
Karena di sanalah tempat paling sering dia melihat wanita
bergaun merah dengan sorot benci ingin menerkam dirinya. Kenapa hanya
dia yang diteror di sini?
Dini memasuki ruang siaran dan tak menemukan siapa pun di
sana. Apa maksud dari semua ini coba? Ke mana para crew dan produdernya.
Kalau tahu begini mending dia tidak masuk kerja.
Dini duduk di ruanganya cukup lama. Menimbang-nimbang antara pulang dan tetap bertahan.
“Pulang saja, deh,” putusnya akhirnya.
Namun baru beberapa langkah, kembali dia dikejutkan dengan senyum khas milik wanita berbaju merah. Dini reflex mundur seketika.
Dini berlari menjauh dari sosok itu yang mengaku bernama
Mutia. Wanita yang dulu ada dimimpinya yang katanya produser baru
pengganti Surya. Kini mimpi itu seolah menjadi nyata.
Dengan sigap Dini harus segera lari dan menjauh dari hantu
gila itu. Dia tak mau mati konyol gara-gara kesalahan yang tidak dia
tahu.
“Kau tidak bisa lari, Dini,” ucapnya sudah berada di hadapan Dini.
Jantung Dini berdetak tak menentu bagaimana dia bisa
mengalahkan hantu ini? Apalagi tenaganya juga sudah letih sedari tadi,
berlari tak juga dia temukan pintu keluar. Ah, bagaimana ini?
Lelah dan resah menggelayuti Dini sekarang ini. Dia
terjebak di sini. mata Dini terbelalak ketika membaca pesan singkat
bahwa kantor hari ini libur.
Lalu siapa yang tadi menelepon dia untuk segera ke kantor segera.
Wanita berbaju merah itu tersenyum penuh kemenangan dia bisa menjebak Dini ke mari. Pantas saja kantor sangat sepi sedari tadi.
Dini menelan ludah. Dia telah terjebak di sini. Rasa letih
karena sedari tadi beralari ke sana-ke mari telah menguras semua energi.
Dia pasrah ketika kuku panjang miliki wanita berbaju mereh
menancapkanya di kaki Dini. Darah mengalir deras dari kakinya. Setelah itu semua gelap.
****
Masih Mona ingat dengan jelas kala dia melihat Dini yang
nampak senang sekali, setelah sekian lama mencari pekerjaan sambilan
untuk memenuhi kebutuhan kuliah yang makin meninggi, akhirnya kini dia
diterima bekarja di salah satu radio ternama—radio Soraya 91.07 FM yang
dulu sering dia dengarkan.
Siapa sangka Dini bisa diterima di sana, kini dia tak lagi
menjadi pendengar seperti biasa. Tapi menjadi penyiar seperti mimpinya
dulu di sekolah. Dini bekerja dengan semangat tinggi, menikmati setiap
esensi rasanya menjadi penyiar. Di sanalah, dia hidup sekarang, dengan
segala rasa berbaur hingga merubah dirinya menjadi sesuatu yang luar
biasa.
*****
“91.07 FM, soraya radio. Oke guys bareng aku lagi Dini, di
acara nightmare seasion. Kalian bisa reguest lagu kesukaan kalian dan
menceritaka tentang pengalaman mimpi buruk yang membuat kalian bergidik
ngeri. Sebagai lagu pembuka, aku putarkan lagu My Chemical Romance
‘Welcome to the Black Parade’,” Dini mulai siaranya malam itu Dini menikmati lagu, sambil membaca novel yang tadi dia bawa.
Lumayan sambil menunggu iklan juga. Jadi tidak bosan.
Kerja di sini sangat menyenangkan. Teman-temannya baik dan ramah. Dini
jadi sangat betah. Dia yang minim pengalaman banyak belajar dari para
senior.
“Baca Novel, apaan Din? Sepertinya keren,” Mona yang baru
datang langsung nyamperin Dini. Mereka lumayan dekat di sini. maklum
sama-sama anak baru juga.
“Iya, keren banget. Ntar kalau dah kelar aku pinjamin.”
Hari-hari pertama kerja semua berjalan lancar. Dini sangat
bersuyukur. Meski baru pertama kali terjun dalam dunia kepenyiaran,
hasilnya tidak terlalu buruk untuk pemula. Ratting untuk acarnya pun
lumayan tinggi. Ini, mah namanya prestasi.
Namun sejak dia menjadi penyiar nightmare, hidupnya berubah
menjadi gelap. Selalu dibayangi kematian dan mimpi buruk hingga membuat
dia ambruk.
Teror silih berganti menghantui. Membuat Dini menjadi
berbeda. Dia yang dulu ceria menjadi sosok pendiam dan suka menghilang.
Suka berteriak sendirian lalu tertawa kembali. Kataya ada makhluk jahat
yang selalu membuntuti.
“Jangan ngacoh deh, Din. Di sini tidak ada hantu,” ucap Mona meyakinkan.
“Percayalah Mon, dia ada dan ingin membunuhku,” terangnya ingin meminta pertolongan pada Mona.
Karena kasihan Mona pun mengizinkan dia menginap di rumah.
Dan Mona sungguh kaget, ketika melihat Dini dalam sosok lainya. Dua
jiwa dalam raga yang sama.
Sahabatnya telah dimasuki makhluk lain yang mengaku bernama
Mutia—penunggu kantor tempat kami bekerja. Mitos tentang hantu di
lorong menuju kamar mandi ternyata benar adanya. Hantu itu mati karena
dia di bunuh di sana oleh pacarnya yang berselingkuh dengan kawanya,
hingga dia bergentayangan ingin balas dendam. Jadilah mereka—Mutia dan
Dini saling membunuh untuk mempertahankan raga secara utuh. Saling tarik
menarik ingin menguasai.
Entah kenapa Dini yang dia pilih ternyata setelah Mona
selidiki, Dini memiliki wajah yang mirip dengan selingkuhan pacarnya.
Karena itu Mutia ingin membunuhnya, atau menguasai jiwa Dini sekalian.
Mona menatap Dini yang duduk menunduk di kamar tempat dia di rawat sekarang. Wajahnya pias, terlihat sedih.
“Pergi! Pergi!” ucap Dini selalu tatkala berkaca melihat
satu lagi jiwa yang bersemanyam di sana, yang suka bergentayangan ketika
malam tiba. Berubah menjadi sosok Dini yang bersiaran tengah malam.
Mona bergidik ngeri. Ternyata ada makhluk lain yang tak
kasat mata. Mungkin adia harus mengundurkan diri dari radio itu setelah
kejadian ini.
Srobyong, 16 April 2015.
Atau bisa simak langsung di
No comments:
Post a Comment