Thursday 24 January 2019

6 Hal yang Membuat Ketagihan Nge-blog






Menjadi narablog   memang bukan mimpi panjang saya. Mimpi saya adalah menjadi seorang penulis. Namun saya tidak pernah menyesal pernah mengenal dunia blogging dan bersenang-senang di sana. Yang ada saya malah merasa senang dan bersyukur. Saya keranjingan dan bahkan bangga menjadi narablog di era digital.  Karena siapa sangka,  blog yang awalnya saya buat untuk sekadar suka-suka dan belajar menulis, kini menjadi sesuatu yang menyenangkan dan membawa manfaat. 

Bagaimana tidak? Berkecimpung dan menjadi blogger telah mengenalkan saya pada berbagai pengalaman yang menyenangkan.   Berikut adalah hal-hal menyenangkan yang pernah saya dapat ketika menjadi blogger:

  1. Dari Menulis di Blog sampai Menulis di Koran


Sekitar tahun 2014 saya mulai membuat blog dan menulis di sana. Dari menulis puisi, cerpen, cerita horor, cerita anak, komedi, artikel agama dan resensi.  Sering menulis di blog ternyata membuat kemampuan  menulis saya lebih terasa. Dari menulis blog, alhamdulillah saya berhasil menulis dan dimuat di berbagai  koran. Baik itu cerpen, cerita anak juga resensi.


Seperti di Koran Jakarta, Radar Lampung, Lampung Post, Kedaulatan Rakyat, Padang Eskpres, Radar Sampit, Radar Madura, Kabar Madura, Tribun Jateng, Jateng Pos, Analisa Medan, Minggu Pagi,  Republika, Harian Singgalang, Radar Banyuwangi, Banjarmasih Post, Malang Post, Duta Masyarakat, Haluan Padang, Radar Mojokerto, Rakyat Sultra, Solo Pos, Samarinda Pos, Kompas dan banyak lagi.

  1. Menerbitkan Buku Non-Fiksi dan Buku Anak


Selain berhasil tembus di koran, saya juga mulai merambah mengirim tulisan di penerbit. Kabar baiknya, ada dua naskah cerita anak saya berhasil terbit di Penerbit Visi Mandiri. Kemudian ada pula buku solo non-fiksi saya yang berhasil diterbitan di Quanta (Elex Media Komputindo).  Selain itu ada pula buku antologi yang terbit di Diva Pres, Indiva Media Kreasi, Elex Media Komputinto. Tidak ketinggalan ada pula buku duet yang terbit di Quanta dan Genta Hidayah.  Alhamdulillah.

  1. Menjadi Host Blogtour


Pernah dengan istilah host blogtour? Yup istilah ini berhubungan dengan ajang promosi  buku-buku terbaru yang disponsori  penulis  dan atau dari salah satu penerbit. Biasanya baik penulis atau penerbit akan menggandeng para blogger untuk bekerja sama untuk promosi buku baru mereka—dengan cara me-review & mengadakan giveaway.
Alhamdulillah selama menjadi narablog, beberapa kali saya terpilih menjadi host blogtour. Dan menurut saya ini sesuatu yang sangat menyenangkan. Dengan menjadi host blogtour, secara tidak langsung saya bisa menaikan trafic pembaca yang melihat halaman blog saya dan menambah jumlah folowers.    Di sisi lain saya juga mendapat kiriman buku gratis  dan bisa  mengenal lebih dekat dengan para penulis.

  1. Menjadi Pemenang dalam Lomba Resensi


Sebagaimana kita ketahui, beberapa penerbit sering melakukan lomba resensi buku.  Dan salah satu syarat yang sering dicantumkan adalah resensi harus diposting di blog. Dan bagi saya sebagai penikmat buku dan juga memiliki blog, tentu saja tidak melewatkan kesempatan itu. Apalagi dengan tawaran hadiah yang cukup menggiurkan, bagi seorang pecinta buku macam saya.

Di antara lomba yang pernah saya ikut :


Dari sekian lomba tersebut, alhamdulillah ada beberapa lomba resensi yang berhasil saya menangkan. Dan karena kemenangan itu, koleksi buku saya akhirnya bertambah bahkan berakhir bisa liburan juga. J

  1. Menjadi Pemenang dalam Lomba Blog
Selain sering mengikut lomba resensi buku, saya kadang suka mengikuti lomba blog dengan berbagai macam tema. Dari berbagai lomba yang saya ikuti, lagi-lagi saya harus bersyukur, karena ternyata tulisan saya bisa terpilih sebagai pemenang. Tentu saja hal itu semakin memacu semangat saya untuk terus menulis.

  1. Dapat Tawaran Baca Bareng dari  Penulis


Karena sering  menulis di blog, saya berkesempatan diajak kerjasama oleh beberapa penulis untuk promosi buku terbaru mereka.  Untuk cara kerjanya memang tidak seratus persen di blog. Karena awalnya saya harus promosi via twitter yang kemudian di lanjutkan di blog untuk sharing review lebih lengkap dan mengenal penulis lebih jauh. Namun tawaran ini malah membuat saya semakin mengenal penulis dan mengetahui tips dan trik menarik agar menjadi penulis yang produktif. Dan ini sangat membantu saya yang juga menyukai dunia literasi.

            Yup, inilah enam hal yang membuat saya  selalu senang dan tidak bosan ketika menjadi blogger. Apalagi di satu titik dengan kebiasaan saya yang mengepos tulisan—yang sedikit banyak adalah resensi, cerpen atau artikel—bisa menjadi jembatan untuk menyebarkan virus membaca dan menulis.

             Harapan di tahun 2019
           
Di tahun ini  saya berharap bisa menerbitkan lebih banyak buku anak.  Saya juga berharap tahun ini, saya  tetap konsisten dan produktif untuk menulis—baik di  koran, menulis buku juga menulis di blog, karena dengan menulis setidaknya saya bisa berbagi ilmu meskipun sedikit.

            “Berbagilah kebaikan meski itu hanya secuil  ilmu.   Tuliskan dan sebarkan, hingga orang-orang bisa membaca dan merenungkan, mengambil hikmah yang terkandung di dalam.  Karena berbagi tak melulu tentang uang.”
~Ratnani Latifah~
Srobyong, 24 Januari 2019

Saturday 19 January 2019

[Resensi] Kisah Roman dan Persaingan Paham Agama

Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 30 Desember 2018


Judul               : Kambing dan Hujan
Penulis             : Mahfud Ikhwan
Penerbit           : Bentang Pustaka
Cetakan           : Pertama, April 2018
Tebal               : viii + 380 halaman
ISBN               : 978-602-291-470-9
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

 “Tidak tepat menebar permusuhan di antara sesama Muslim, apalagi dalam satu desa.” (hal 107).

Novel “Kambing dan Hujan” selain terpilih sebagai Pemenang Sayembara Novel DKJ 2014, pada tahun 2015, novel ini juga menjadi Karya Sastra Terbaik versi Jakartabeat dan Buku Terbaik versi Mojok.co. Maka tidak heran jika buku ini kemudian dicetak ulang  dengan cover baru, karena masih diminati pasar. Apalagi dengan desain cover baru yang menurut saya lebih menarik daripada cover edisi pertama.

Mengangkat tema roman dan dipadukan dengan unsur kehidupan sosial politik, sebuah sejarah kampung serta tradisi keagamaan, membuat novel ini sangat menarik. Dengan gaya bercerita yang lugas, tidak rumit dan  mudah dipahami,  membuat novel ini memiliki nilai kelebihan tersendiri. Karena sebagaimana kita ketahui, novel yang diceritakan dengan gaya bahasa yang terlalu rumit, kadang hanya akan membuat pembaca bingung dan bosan.

Menceritakan tentang roman cinta antara Miftahul Abrar dan Nurul Fauzia yang terlahir dalam latar keluarga yang berbeda, meski pun sama-sama memeluk agama Islam dan tinggal di Tegal Centong.   Mif tumbuh di lingkungan keluarga dalam tradisi Islam modern, atau lebih dikenal dengan sebutan Muhammadiyah dan Fauzia lahir dan tumbuh dalam lingkungan  Islam tradisional, atau lebih sering disebut Nahdlatul Ulama (NU).   Tersebab perbedaan itu-lah, hubungan mereka terancam pupus.

Ada sebuah sejarah panjang kenapa kedua paham agama itu tidak bisa berdamai meskipun tinggal di tanah yang sama.  Bahkan ada garis pemisah bagi kedua paham itu. Jika penganut paham Muhammadiyah maka  tinggalya  di Centong Utara. Sedangkan   penganut paham Nahdliyin tinggalnya di Centong Selatan.  Keadaan itulah yang kemudian membuat Mif dan Fauzia pelan-pelan membuka sebuah tabir di masa lalu, untuk mengetahui dari mana akar ketegangan itu dimulai.  Yang ternyata sejarah panjang itu memiliki kaitan erat dengan Moek atau Fauzan, ayah Fauzia dan Is atau Kandar ayah Mif.

Pada awalnya Moek dan Is adalah dua sahabat yang tidak terpisahkan. Mereka sering mengembala kambing  dan belajar bersama.  Tempat favorit mereka saat bersama adalah Gumuk Genjik (hal 62).  Di sana mereka akan saling becerita apa saja.  Selain itu Is juga memiliki kebiasaan meminjam berbagai buku dari Moek. Bahkan ketika Moek melanjutkan pendidikan di pesantren, dia masih sering membawakan kitab agar bisa dibaca Is, yang kebetulan tidak bisa melanjutkan pendidikan, karena masalah biaya.

Namun suatu hari kemunculan Cak Ali, ternyata membawa perubahan besar pada Is. Hingga akhirnya kedekatannya itu telah membuat Is dan Moek tidak berada pada satu kubu. Is merupakan salah satu tokoh islam pembaharu bersma Cak Ali dan teman-temannya. Sedangkan Moek sejak awal dididik untuk melanjutkan perjuangan Islam tradisional di Centong.   Meski awalnya persahabatan mereka tetap seperti dulu, bahkan diam-diam saling mengagumi, namun lambat laun, keadaan lain telah menimbulkan kesalahpahaman yang berkepanjangan, hingga membuat mereka enggan berkomunikasi lagi.

Kenyataan itu tentu saja membuat Mif dan Fauzia bingung. Bagaimana mereka bisa bersatu jika kedua orangtuanya memiliki sejarah panjang seperti itu?  Sedangkan mereka memahami, kebiasaan di desa Centong. “Orang tua di Centong tidak akan memberika nakanya kepada orangtua atau keluarga yang tidak disukainya. Lebih-lebih yang tidak menyukainya.” (hal 26).

Di sinilah kesabaran dan kekuatan Mif dan Fauzia diuji. Mereka harus berjuang agar ayah mereka bisa berdamai. Karena dengan cara itulah hubungan mereka bisa disetujui.  Selain tokoh Moek dan Is, ada pula tokoh lain yang juga akan menghidupkan kisah novel ini bahkan akan membuat kita ikut emosi dan gemas.

Salut dengan penulis yang berani mengangkat tema tentang perbedaan paham agama antara Muhammadiyah dan Nu, yang memang sering terjadi di dalam masyarakat.  Secara keseluruhan novel ini benar-benar menarik dan memikat. Baik dari segi bercerita, penokohan, percakapan, sudut pandang adan alur cerita. Ending cerita yang dipilih penulis pun saya rasa sangat manusiai dan sangat pasa dengan segala probelamatika yang dihadapi.

Dan yang paling saya suka dari novel ini adalah nilai-nilai kehidupan serta nilai-nilai pembalajaran agama yang sangat banyak ditemukan dalam kisah ini. Kita diingatkan untuk menjadi pribadi yang saling memaafkan, cinta damai, rukun dan banyak lagi. Berbagai perbedaan paham agama dijabarkan dengan luar oleh penulis yang membuat wawasan wacana saya bertambah.

Srobyong, 6 Oktober 2018


[Resensi] Kisah Tentang Kehilangan dan Kesabaran

Dimuat di Jateng Pos, Minggu 23 Desember 2018



Judul               : The Motion of Puppets
Penulis             : Keith Donuhue
Penerjemah      : Linda Boentaram
Penerbit           : Qanita
Cetakan           : Pertama, Juni 2018
Tebal               : 408 halaman
ISBN               : 978-602-402-119-1
Peresensi         : Ratnani Latifah.  Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Mengambil tema horor psikologi, novel ini cukup menarik dan mencekam. Sejak awal kita akan digiring penulis untuk memecahkan sebuah kasus misteri yang penuh teka-teki. Kita akan dibuat penasaran tentang kebenaran apa yang ada di balik kasus misteri tersebut.  Tidak ada pertanda, tidak ada jejak, seolah sosok yang hilang itu, tidak pernah ada sebelumnya.  Selain harus berjibaku dengan rasa kehilangan, novel ini juga mengungkap tentang kesabaran, saat menerima ujian. 

Novel ini menceritan tentang pasangan suami-istri—Theo  dan Kay Harper yang datang ke Quebeck untuk bekerja.  Di mana Theo sedang menyelesaikan projek menerjemahkan biografi seorang fotografer. Dan Kay Harper menjadi pemain akrobat di pertunjukan sirkus.  Pada awalnya mereka sangat menikmati perjalanan tersebut. Mereka menyempatkan  mengelilingi kota tua Quebeck yang  indah. Di antara tempat yang paling Kay sukai adalah ketika mereka melihat toko mainan—Quatre Mains. Di sana Kay akan berlama-lama menandangi sebuah boneka rupawan yang berdiri di tudung kaca (hal 11).

Namun dalam sekejap mata, kebahagiaan pasangan pengantin baru itu, berubah menjadi tragedi. Kay Harper yang kala itu berpamitan untuk melakukan pertunjukan akrobat bersama teman-teman sirkusnya, tidak pernah kembali. Theo hanya mengetahui bahwa, kala itu Kay Herpen terakhir pergi bersama teman-temannya untuk pesta dan pulang sendirian, karena tidak mau diantar salah satu temannya, Reance yang terkenal mata keranjang.  Dan ketika Theo melaporkan kejadian itu,  dia malah dianggap telah membunuh istrinya sendiri (hal 77).

Di sisi lain, kita akan dihadapkan pada kehidupan Kay yang baru yang tidak terduga dan menegangkan. Karena tiba-tiba kita akan dihadapkan dengan kehidupan sekumpulan boneka yang hidup. Mereka berbicara laiknya manusia biasa. Hanya saja waktu kehidupan mereka yang berbeba. Mereka hanya bisa bergerak bebas di malam hari, agar tak ada seorang pun yang terlihat. Dan di salah Kay Harper berada. Dia menjadi sosok baru yang tidak pernah dia bayangkan.

Jika Kay mencoba beradaptasi dengan kehidupan barunya, Theo masih berusaha mencari keberadaan istrinya.  Dia merasa tidak bisa berdiam diri tanpa mengetahui bagaimana nasib istrinya. Hingga suatu hari, Egon, salah satu kenalan di Qubeck hadir membawa sebuah informasi yang janggal tentang Quatre Mains, namun menarik untuk diselidiki. Dibantu oleh  Mitchel—salah satu teman dosen Theo di kampus, mereka mencoba menyelidiki tentang boneka-boneka yang bergerak. 

Apalagi ketika tanpa sengaja mereka melihat sebuah pertunjukan yang memperlihatkan sebuah boneka yang sangat mirip dengan Kay. Namun yang jadi pertanyaan berhasilkah Theo menemukan boneka itu? Dan mungkinkah  Kay bisa berubah kembali menjadi manusia?

Sebuah kisah yang tidak terduga sampai akhir dan akan membuat kita sesak napas, karena rasa penasaran yang menggebu. Dengan gaya penulisan yang apik dan menarik, penulis berhasil mengeksekusi kisahnya dengan baik. Di mana penulis berhasil membuat pembaca, gregetan dan terkagum-kagum. Baik tentang kesetiaan Theo juga mitos boneka yang berbicara dan bergerak.  Ini tentang kisah cinta juga mitos kuno.

Hanya saja untuk ending kisah, saya merasa kurang puas. Bagaimana pun setelah perjuangan yang sangat panjang kita akan dihadapkan dengan sebuah kenyataan yang tidak pernah kita bayangkan. Namun lepas dari kekurangannya, buku ini tetap menarik dibaca. Apalagi bari para penikmat kisah misteri. Saya suka dengan tampilan cover yang bikin merinding. Sedih tapi juga menakutkan.

Selain itu, banyak kejutan yang akan kita temukan dari novel ini.  Misalnya berbagai kejutan yang tidak pernah kita duga dengan para tokoh pendamping di sini. Lalu sebuah kejadian yang sama, yang terjadi dialami seorang petugas polisi, tentang kasus kehilangan.  Dari novel ini kita bisa belajar tentang sikap tidak mudah menyerah, serta perlunya menghadapi ujian dengan penuh kesabaran.  Di sisi lain, kisah ini  juga menuntut kita untuk selalu waspada dan hati-hati dalam segala situasi.

Srobyong, 17 Agustus 2018

Friday 18 January 2019

[Resensi] Transplantasi Jantung dan Kisah Tentang Kemanusiaan

Dimuat di Padang Ekspres, Minggu 16 Desember 2018 


Judul               : The Boy Who Gave His Heart Away
Penulis             : Cole  Moreton
Penerjemah      : Indriani Gratika
Cetakan           : Pertama, Maret 2018
Tebal               : x + 307 halaman
ISBN               : 978-602-947-414-5
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Diambil dari kisah nyata, novel ini benar-benar syarat akan makna.  Kasih sayang orangtua, kesabaran, keikhlasan dan kemanusiaan, merupakan beberapa bagian yang bisa kita petik melalui kisah ini. Selain itu novel ini merupakan  pemenang “New York Festival Wordl’s Best Radion Award” kategori Penulisan, Medis dan Isu sosial. 

Orang tua mana yang tidak sedih, ketika mendapati kenyataan bahwa putranya tengah berada diambang kematian? Inilah kisah Marc dan Martin serta Linda dan Sue. Mereka tidak tinggal berada pada muara yang sama. Tempat tinggal mereka terpisah jarak beberapa ratus mil. Dari Scotlandia hingga Inggris. Namun ternyata takdir telah mendekatkan mereka dengan salah satu organ tubuh mereka.

Marc awalnya adalah pemuda berusia 15 tahun yang sangat sehat dan bugar. Dia sangat mecintai sepak bola, serta salah satu pemain bintang dalam tim sepakbola di setempat. Namun suatu hari mendadak dia ditemukan dalam keadaan tidak sehat dan divonis mengalami gagal hati. Tidak hanya itu organ-organ tubuh yang lain juga mengalami gangguan. Oleh karena itu, Marc harus dirujuk ke Royal Infirmary of Edinburgh (hal 8). Kenyataan itu tentu saja membuat Linda limbung.

Dijelaskan bahwa, Jantung Marc tidak sehat dan bengkak, serta hanya bisa bersenyut lemah hingga darahnya tidak bersirkulasi secara normal. Organ-organ tubuhnya kekurangan oksigen yang dibutuhkan sehingga mengalami kondisi gagal organ—hatinya mengering, kedua paru-parunya kondisi banyak darah. Marc benar-benar kritis (hal 17-18).  Dan salah satu cara agar bisa menyelematkan Marc adalah dengan transaplantasi jantung. Hanya saja kadang sangat sulit menemukan donor yang cocok.

Di sisi lain, tiga ratus mil ke selatan, Martin yang juga sama-sama penikmat sepak bola,  terlihat bugar dan  menikmati masa rejamanya dengan wajar. Akan tetapi pada suatu malam dia ditemukan tidak sadarkan diri, dan membuat ibunya, Sue kalang kabur.  Di mana disinyalir Martin mengalami pendarahan di otaknya, hingga  harus dibawa ke Nottingham, untuk menemui dokter spesialis (hal 35).

Di mana setelah pemeriksaan lebih lanjut, dokter yang menangani Martin—Harish Vyas menjelaskan, “Hasil  dari semua tes yang digabungkan bersamaan menunjukkan bawa batang otaknya telah berhenti berfungsi secara efektif. Dengan kata lain, Martin sudah mati otak.” (hal 73).  Dalam hukum Amerika jika semua fungsi otak sudah berhenti, maka seseorang dianggap sudah meninggal. Begitu juga di Inggris.  Lalu keluar korban memiliki dua pilihan, mendonorkan organ tubuh  untuk menolong orang lain atau tidak.

Hal itu juga yang berlaku bagi Sue. Di saat dia harus mengalami kesedihan karena harus menerima kematian anaknya yang sangat mendadak, dia harus berpikir jernih demi kemanusian—dalam artian peduli dengan  pasien lain yang mungkin membutuhkan donor tubuh dari anaknya.  Dan ternyata Marc adalah satu dari sekian orang yang menunggu donor dari Martin.

Kisah ini sangat menggetarkan hati. Penulis berhasil menghidupkan  kisah ini hingga seperti melihat secara nyata bagaimana kehidupan yang dialami Marc dan Linda, serta Martin dan Sue.  Pilihan sudut pandang yang diambil penulis juga menjadi nilai tambah tersendiri dalam kisah ini.  Sudut pandang orang ketiga bergantian masing-masing tokoh  di sini, membuat kita mengenal masing-masing tokoh lebih dekat.

Dalam novel ini saya dapat merasakan kesedihan, kebingungan, keputusasaan seorang ibu. di sisi lain saya juga dapat merasakan kesabaran dan keikhlasan yang harus mereka terima ketika melihat keadaan putra masing-masing.  Ini benar-benar kisah yang penuh haru. Belum lagi ketika takdir ternyata membuka peluang untuk saling bertemu dan berkenalan. Ini adalah momen yang sangat jarang terjadi  antara pendonor dan penerima donor.

Sedikit kesalahan tulis dalam novel ini tidak mengurangi keseruan cerita. Membaca kisah ini saya belajar tentang pentingnya usaha dan doa dalam setiap situasi. Selain itu kita diajak menjadi pribadi yang selalu ikhlas, sabar dan syukur.  Tidak ketinggalan adalah sikap saling tolong menolong dan peduli pada sesama.

Srobyong, 7 September 2018

Wednesday 9 January 2019

[Resensi] Semangat Belajar di Tanah Eropa

Dimuat di Tribun Jateng, Minggu 16 Desember 2018

Judul               : Diary La Sorbonne
Penulis             : Kualakata
Penerbit           : Bhuana Sastra
Cetakan           : Pertama, 2018
Tebal               : xiv + 201 halaman
ISBN               : 978-602-455-274-9
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Jangan pernah takut bermimpi dan memiliki harapan. Karena mimpi dan harapan merupakan  jalan untuk meraih sebuah kesuksesan. Tanpa mimpi kita tidak mungkin melakukan usaha dan bekerja keras. Soekarno pernah berkata, “gantungkan cita-citamu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.”

Buku ini menceritakan tentang perjalan dan pengalaman Kualakata ketika ingin belajar dan mengais ilmu di negara Eropa—tepatnya di Sarbonne University.  Siapa sih yang tidak ingin melanjutkan pendidikan di luar negeri? Di sana kita bisa mendapatkan banyak pengalaman dan kaya akan wawasan. Begitupula harapan yang dimiliki Kualakata. 

Terlahir dari keluarga yang  mayoritas adalah pendidik, hal itu membuat Kualakata memiliki semangat untuk belajar  yang sangat tinggi. Dia meyakini tidak peduli dari mana kita berasal, semua orang mampu menciptakan hal-hal besar (hal 4).  Didukung oleh almarhum dosennya, Monsieur Agoes Soeswanto, Kuala nekat untuk mulai mengejar impiannya untuk belajari di Paris.

Sembari les bahasa Prancis, dia mulai mendaftarkan diri untuk perkuliahan di Prancis. Dan dia diterima di Sarbonne University. Hanya saja dia menyadari  tantangan terberat yang harus dia pertimbangankan adalah masalah biaya. Sedangkan biaya hidup di Prancis jauh di atas standar hidup di Indonesia.  Untuk itulah Kuala mulai berburu beasiswa agar tetap bisa mengejar impiannya. 

Dia memilih mendaftarkan diri pada beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Dana Beasiswa). Karena menurutnya beasiswa ini  sangat mengayomi penerimanya.  Selain itu LPDP memang memiliki misi untuk menjadi lembaga penyedia biaya pendidikan terbaik di wilayah regional dan nasional.  Jadi setelah menerima beasiswa ini, dia tidak langsung menerima dana begitu saja.  Sebelum berangkat para penerima beasiswa ditempa dulu melalui Pelatihan Kepemimpinan selama seminggu.  Mereka dibekali tentang nasionalisme, bahwa mahasiswa yang kuliah di luar negeri, setelah ilmu dan pengalaman mencukupi, maka harus pulang untuk mengabdi kepada bangsa, tidak melupakan asal meskipun menjadi orang sukes di luar sana (hal 35).

Tantangan lain yang harus dia taklukkan lagi adalah permasalahan adat dan budaya yang berbeda, serta perbedaan iklim antara Indonesia-Parancis.  Apalagi selama ini Kuala belum pernah jauh dari tanah kelahirannya, Sidoarjo.  Namun dengan tekad bulat, Kuala yakin bisa melaluinya.  Apalagi di sana dia bisa belajar di tempat sastra dan seni melebur jadi satu.

Hanya saja untuk sistem belajar di Sarbonne, Kuala merasa kurang cocok.  Di Sarbonne umumnya memiliki dua sistem perkuliahan atau sistem kelas. Ada kelas TD (Travaux Dirige) –kelas kecil yang terdiri dari 20 mahasiswa, dan kelas besar disingkat CM (Cour Magistraux)—kelas yang terdiri dari puluhan sampai ratusan siswa. Sedang kelas yang diambil Kuala rata-rata CM.  Dengan bahasa prancis pas-pas-an, dia sering  kurang memahami materi, karena dosennya terlalu cepat dalam menyampaikan pembelajaran di kelas. Di sisi lain dia juga kesulitan untuk mencari teman. Namun hal itu tetap tidak membuat Kuala down dan minder. Dia memilih beradaptasi dengan  upgrade cara belajar dan bersosialisasi (hal 83).

Banyak suka dan duka yang pernah dialami Kuala selama belajar di Prancis. Tapi hal itu tidak menyusutkan niat dan minatnya untuk terus belajar. Dari kisah perjalannya, kita bisa mengambil keteladanan bahwa agar sukses belajar di negeri eropa atau di negeri manapun, kita harus memiliki pribadi yang ulet,  semangat, sabar dan tidak mudah menyerah.

Srobyong, 9 Desember 2018

[Review Buku] Pendidikan Karakter Anak Bangsa



Judul               : Indonesian Dream Story
Penulis             : Ririn Astuti Ningrum, dkk
Penerbit           : Visi Mandiri
Cetakan           : Pertama, Agustus 2018
Tebal               : 200 halaman
ISBN               : 978-602-5844-17-8

Pendidikan karakter harus ditanamkan kepada anak  sejak dini.  Dengan pendidikan karakter yang baik, maka anak akan tumbuh sebagai sosok yang berbudi luhur, memiliki moral yang baik dan taat agama.  Selain guru di sekolah, orangtua juga memiliki kewajiban untuk untuk menanamkan pendidikan karakter pada anak.  Di mana ada 18 karakter yang harus ditanamkan kepada anak,  sebagaimana yang telah ditetapkan Diknas—Dinas Pendidikan Nasional sejak tahun ajaran 2011.

Ada sikap religius, rasa ingin tahu, cinta tanah air, bersahabat, semangat kebangsaan, demokratis, gemar membaca, cinta damai, menghargai prestasi, tanggung jawab, peduli sosial, peduli lingkungan, jujur, tolerasnsi, displin, kerja keras, kreatif dan mandiri. Buku ini memuat 18 cerita, yang memuat unsur pendidikan karakter anak, yang dikemas dengan gaya bahasa yang sederhana dan mudah dipamahami anak. 

Misalnya cerita Sayyang Pattu’du di Kampung Kakek karya  Nurhawara yang mengajarkan kepada anak tentang sikap toleransi.  Di mana kita tidak boleh mengumpat ketika menyaksikan orang lain  mendapat musibah, tetapi kita harus memiliki empati. Dan sebagai warga Indonesia yang kaya akan adat dan budaya, kita juga harus menghormati acara suku lain dengan cara tidak mencela dan  bersikap santun.

Diceritakan bahwa Andi akan berkunjung ke rumah kakeknya yang berada di Topoyo, untuk melihat acara sayyang pattu’du atau kuda menari—sebuah tradisi dari suku Mandar. Tetapi ketika dalam perjalanan, ada sebuah kecelakaan yang menghambat perjalanannya. Andi marah dan sebal, karena khawatir akan terlambat datang ke rumah kakeknya. Tetapi ketika dia tahu bahwa korban kecelakan itu adalah putra Pak Mono, tetangga kakeknya yang selalu bersikap baik kepada dirinya, dan tidak segan membantu persiapan acara sayyang pattu’du, meski pun Pak Mono bukan berasal dari Suku Mandar. Andi jadi merasa bersalah. Dia pun meminta maaf dan berjanji akan menjadi anak yang selalu bersikap toleran seperti Pak Mono.

Sedang cerita Semangat Kebangsaan karya Afin Yulia, mengajarkan kepada anak untuk memiliki semangat kebangsaan. Indonesia memiliki banyak keragaman budaya. Di antaranya ada  banyak jenis makanan khas di Indonesia, tarian dan seni pertunjukan. Dan kita harus bangga dengan apa yang kita miliki oleh bangsa kita (hal 45). Tidak perlu malu mengenalkan kebudayaan kita kepada teman-teman atau tamu dari manca negara.

Menceritakan tentang Arin yang sangat semangat menyambut kedatangan sepupunya yang bernama Laura dari Amerika. Dia mengajak Arin jalan-jalan ke pasar, mengenalkan kepada sepupunya berbagai jajanan tradisional. Selain itu Arin juga mengajak Laura menonton pertujukan jaranan, teater  janger  dan pergi ke sanggar untuk belajar tari daerah.

Akan tetapi apa yang dilakukan Arin, ternyata diledek oleh teman-temanya. Arin dianggap ketinggalan zaman. Seharusnya Laura diajak jalan-jalan ke tempat pariwisata bukan ke pasar tradisional. Tapi Arin tidak memedulikan komentar temannya, yang terpenting Laura senang dan dia bangga mengenalkan keelokan budaya Indonesia.

Tidak kalah seru adalah cerita Candi di Negeri Atas Awan karya Tri Simiyati, yang mengajarkan kepada anak untuk cinta  tanah air. Kadang kala ada kebanggaan tersendiri bagi sebagian orang yang bisa jalan-jalan ke luar negeri. Padahal di negeri sendiri, banyak sekali pariwisata yang menarik dan bahkan mengandung nilai-nilai sejarah dan budaya, yang bisa menumbuhkan rasa cinta tanah air.

Menceritakan tentang Nasywa yang ingin berlibur keluar negeri. Tetapi, orangtuanya menyiapkan liburan ke Kompleks Candi Dieng di Wonosobo.  Nasywa awalnya sangat kecewa. Dia malu, kalau nanti harus menceritakan kepada temannya bahwa dirinya berlibur ke tempat entah berantah. Sedangkan temannya berlibur ke luar negeri. Akan tetapi ketika akhirnya Nasywa sampai di tempat tujuan, dia sangat kagum dengan  tempat wisata tersebut, karena dari sana dia bisa belajar banyak hal tentang sejarah dan budaya Indonesia.

Masih banyak cerita lain yang mengandung pendidikan karakter. Seperti Menyumbang Korban Bencana, yang mengajarkan peduli sosial. Sahabatku Kembali Bersekolah, yang mengajak anak untuk gemar membaca. Saudaraku Orang Papua yang mengajarkan cinta damai. Dan banyak lagi. Dilengkapi dengan ilustrasi yang menarik, hikmah cerita dan himbauan di akhir cerita, hal itu akan semakin membantu anak memahami pesan cerita.

Srobyong, 6 Oktober 2018