Sunday 14 September 2014

Sahabatku



Sahabatku
Ratna Hana Matsura


            Pagi ini suasana kelas sangat gaduh. Maklumlah sang guru sedang keluar dan hanya meninggalkan tugas. Membiyarkan kami asik mengutak atik rumus matematika. Saat itu aku sedang asyik mengerjakan soal, ketika tiba-tiba Umi, temanku mengambil tip x milik kawan sebangkuku, Lailah. Umi yang mengambil tanpa izin membuat Lailah marah, hingga kau ikut menjadi korban karena amarahnya. Waktu itu kami  masih kelas satu MTs. sehingga ketika kami marahan dengan teman, kita mendiamkan dan tidak mau satu kelompok dengannya. Itu adalah awal pertemuanku dengan Umi dan Lilik yang bisa dibilang sedikit ricuh dan salah paham.
            “Kenapa Harus marah si La, mungkin tadi kamu tidak dengar ketika dia meminjam.” Aku mencoba menjelaskan.
            “Sudahlah lupakan saja kemarahanmu, bukankah sebaiknya kita berbaikan, kita ini satu kelas, jadi harus kompak.” Ujarku meyakinkan.
            Pada awalnya Lailah tidak setuju, dia bersikeras dengan pendiriannya. Padahal aku tidak ingin membuat masalah dengan teman-teman baruku.  Tapi, setelah aku jelaskan panjang lebar, kamipun berbaikan dengan Umi, juga Lilik teman sebangkunya.
            Waktu terus bergulir, dari salah paham dan pertengkaran kecil itu, malah membuat kami dekat. Kami sering saring tentang masalah pelajaran. Apalagi ternyata kami memiliki kesamaan hobi dalam menonton acara Televisi. Sehingga kami sangat nyambung ketika berbagi cerita. Dan lagi rumah kami memiliki jalur yang sama, jadi setiap pulang sekolah kami berbarengan saat menuggu Bus.
            Saat itu sedang booming drama Taiwan Meteor Garden, aku, Umi, Lili, dan Nurul adalah paling heboh ketika membicarakan drama itu, Lailah hanya bisa menyimak karena dia tidak bisa menonton karena dia berada di pondok.
            “Wah semalam ceritanya keren sekai, Hua che lai terus saja membela San chai, Tao ming tse jadi uring-uringan.” Aku sudah berkumpul dengan ketiga temanku itu. Kami asyik membicarakan idola kami.
            “Hai, aku sudag membeli album baru mereka.” Nurul datang-datang sudah pamer kaset F4 terbaru. Kami mengerubunginya. Kami berjanji untuk bermain kerumahnya. Melihat bersama drama favorit kami.
            Waktu bergulir dengan cepat. Kami sudah naik ke kelas dua Mts. dan kami berempat masih kompak sampai sekarang. Kalau dulu kami membicarakan F4, sekarang kami sedang deman Avril Lavigne, penyanyi tomboy yang sangat digilai Nurul. Begitupun ketika kami sudah naik ke kelas 3. Kami tetap bersama dan selalu berbagi cerita. Kami semakin kompak. Meski kadang ada salah paham yang segera diluruskan.
            Tapi, ketika sudah mau masuk Madrasah Aliyah, kami harus merelakan kepergian Nurul. Dia tidak lagi satu sekolah. Dia memilih meneruskan sebuah SMA islam di jepara. Dan kami bertiga tetap berada di Yayasan yang sama ketika di MTs, yaitu di  MA Haysim Asy’ari Bangsri. Dan atas ketentuan Tuhan kami bertiga kembali satu kelas, di kelas Immersion. Walaupun ketika itu hubungan kami sedikit renggang. Lilik sibuk dengan dunianya yang baru. Dan kini hanya tinggal aku dan Umi. Tapi, Alhamdulilah saat kelas tiga kami kembali kompak. Rasanya sangat senang sekali.
            Persahabatan kami terus berlanjut meski kami sudah berpisah. Lilik meneruskan Kuliah di Semarang. Sedangkan aku dan Umi kuliah di Jepara.Tidak aku sangka pertemuan yang ricuh itu menjadikanku bertemu dengan para sahabat yang luar biasa. Mereka ada dan selalu membatu dalam suka duka. thanks you girls.


Terimakasih Sahabat



Terimakasih Sahabat

            Sakit yang aku rasa semakin membuatku ngilu. Entah sejak kapan rasa ini menjalar diseluruh tubuhku. Menjadi racun yang terus mengerogoti kekebalan tubuh ini. aku terbangun dari tidurku. Masih kurasakan pening di kepalaku. Semakin lama rasa sakit ini menyiksaku. Aku menjadi lemah dan tak bergairah. Setiap sakit ini muncul, rasanya inginku benturkan saja kepala. Biar tidak ku rasakan lagi sakit yang menyiksa ini.
            “Dimana ya obatku?” aku mencoba mencari obat yang seringku konsumsi untuk sekedar menghilangkan nyeri yang ku rasakan ini.
            Aku membuka setiap laci yang  ada, melihat kesemua pejuru ruangan, namun aku tidak menemukan benda kecil itu. Padahal saat ini aku sangat membutuhkannya. Entah di mana aku tadi meletakkanya. Aku lupa, tapi biasanya aku selalu menaruhnya di sampingku, bahkan selalu dalam genggaman tanganku. Aku mencoba mencari lagi, namun hasilnya nihil.
            Aku mulai menagis merasakan sakit yang luarbiasa di kepalaku ini. aku harus cepat menemukannya. Beruntung aku bisa mendapatkan kembali obatku itu, sehingga sedikit berkurang rasa sakit yang menjangkitku.
            Aku berjalan melewati jalan setapak di kompleks rumah sakit, menikmati udara di pagi hari. Aku melihat betapa beruntungnya orang-orang yang berada di hadapanku ini, yang belalau lalang di jalan ini. meraka mendapat nikmat sehat, bisa bebas melakukan apapun yang disukai. Menikmati hidup dengan senyum ceria yang dimiliki. Lalu aku? Aku terjebak disini, dengan sakit yang ku derita. Yang datang tiba-tiba, dan kemudian merenggut segala kebahagianku.
            Tanpa kusadari, aku mulai menagis di bangku taman ini. aku merasa ini tidak adil. Kenapa harus aku yang mengidap sakit ini?
            Padahal aku sudah membuat planning untuk semua, untuk kegiatan yang akan aku lakukan. Rencana-rencana yang telah aku susunpun kacau berantakan. Aku harus merelakan semua mimpi yang ku miliki. Menghapusnya dari memoriku.
            “Dea? Dea? Kau dari mana saja?” suara yang sangat ku kenal kini menghampiriku, berjalan kearahku.
            “Dea kau ini membuatku takut saja, kau jangan keluar sendirian dong, kalau mau jalan-jalan bilang, aku akan menemanimu.” Risa memarahiku. Tapi, sebenarnya dia sangat baik, dia masih saja memperhatikanku, menemaniku disela kesibukan yang dimilikinya.
            “Aku bosan Ris, di kamar sendirian, tidak bisa pergi kemana-mana, aku ingin seperti dulu Ris, kita bersama-sama kemanapun yang kita inginkan.”
            “Aku ingin menikmati hidup yang bebas yang tidak tergantung akan obat, tidak terkurung seperti ini, kenapa harus aku Ris? Kenapa Ris. Aku ingin sehat aku ingin bebas Ris.” Aku terisak.
            “Dea, yang sabar ya, kamu pasti sembuh, kamu pasti bisa kembali seperti dulu, makanya kamu harus rajin perawatan, nanti kita bisa bersama lagi. Kamu mau ya dirawat di rumah sakit, biar cepat sembuh.” Risa mencoba membujuk. Dia sahabatku yang selalu peduli denganku, bahkan ketika aku terpuruk. Dia dengan sabar selalu menemani perawatanku. Dia selalu menghiburku kala aku sedang down, seperti saat ini. Risa merangkul pundakku. Tadi dia pasti sangat khawatir, karena aku keluar sendirian.
            “Dea, jangan pergi sendirian, kenapa kau tidak bangunkan ibu.” Ibu menghambur memelukku.
            “Maafkan Dea ibu.” Aku ikut terisak.
            Aku kembali dalam isolasi ruangan yang sebenarnya sangat aku benci. Tapi, aku tidak ada pilihan lain. Aku harus dirawat jika ingin segera pulih.
            Aku masih ingat dengan jelas, hari itu aku sangat bahagia setelah kelulusan sekolahku, aku dan Risa menikmati pesta syukuran yang kami adakan, kami menyusun rencana yang akan kami lakukan setelah ini. Kami sepakat untuk kuliah di tempat yang sama. Rasanya senang ketika kami benar-benar diterima di universitas yang sama.
            “Wah, asyik kita bakal bersama lagi.” Ucap Risa dan aku kegiran. Kami bersorak riang.
            Menjalani hari-hari pertama sebagai mahasiswa, menambah lagi kenangan kebersamaan kami. Kami seperti saudara kembar yang tidak terpisahkan. Risa selalu menjagaku karena aku yang memang memiliki tubuh yang rentan. Sejak awal kami berteman Risa sudah tahu, bahwa aku sering pingsan dengan tiba-tiba. Apalagi jika benar-benar kecapaian.
            Tapi, tak kusangka kebersamaanku dengan Risa berakhir saat itu. Tiba-tiba aku pingsan saat berada di kelas. Merasakan sakit yang luar biasa di kepalaku. Padahal, seingatku aku sudah minum obat pereda nyeri yang ku miliki. Obat sementra yang bisa menekan penyebaran tumor otak yang aku derita.
            Sejak kapan pastinya penyakit ini mengerogotiku, aku sungguh tidak tahu. Seingatku, aku sudah sering merasakan sakit kepala ketika aku masih di bangku SMP. Setiap aku terlalu tertekan dengan pelajaranku, pusing itu menyerangku.
            “Dea, kau baik-baik saja.” Risa mengguncang-guncang tubuhku. Aku pingsan.
            Risa segera membawaku kerumah sakit, menghubungi keluargaku. Dia nampak begitu cemas dan sedih. Menungguiku hingga aku bangun dari tidurku.
            “Syukurlah Dea kau baik-baik saja,” dia menghambur kedalam pelukanku.
            “Terimaksih Risa,” ucapku tulus, aku tersenyum, meyakinkah dia bahwa aku baik-baik saja.
            “Terimakasih sobat, we are best friend forever,” aku tersenyum.
            “friend forever,” Risa memelukku.
            Aku  tersenyum, merasa senang, sekarang aku sudah merasa ringan, tidak ada lagi beban. Ada rasa lega yang menyusup dalam dada. Aku tidak lagi harus mersakan rasa sakit yang sama. Aku terbebas. Aku ingin berterimakasih pada Risa , sahabat baikku. Selama ini dia selalu menemani dan mendukungku. Menghiburku dikala aku lemah.
            Risa terimakasih untuk semua, semangatmu membuatku untuk terus maju, melawan rasa sakit ini untuk bertahan slalu. Aku senang kau menjadi sahabatku, tetap tersenyum Risa, jangan menangis, raihlah mimpimu, karena  itu juga mimpi bagiku. Aku berdoa untuk mu, aku sudah lelah dan ingin tidur sekarang, sehat selalu Risa.
            Empat tahun berlalu, kau masih datang mengunjungiku, menceritakan semua tentang kegiatan dan kesibukkanmu. Menceritakan cita-cita yang dulu kita mimpikan bersama.
            “Lihatlah Dea, sebentar lagi aku berhasil, dan aku akan berusaha keras, mencari  obat untuk penyakitmu, agar aku tidak lagi melihat orang lain kehilangan seseorang yang disayanginya,” ucap Risa.
            Risa beranjak dari nisanku, meninggalakanku dalam gundukan tanah. 


[Puisi] Kebranian Syuhada

Kebranian Syuhada

Dentum peluru melahap
Mengoyak jiwa dalam kubangan anyir
Sungguh biadab Israil
Meluluh lantakkan para syuhada

Merebut bumi tanpa rasa
Hancurkan warga tak berdosa
Jerit tangis tak ada guna
Hati zionis mati rasa

Kalut hati tercipta
Melihat saudara tersiksa
Namun, kian aku terngangah
Melihat keberanian
Gaza Mental baja

Tegap berdiri di laga
Menantang nyawa
Menunggu surga
Duhai,pendekar Allah
Keberanianmu sungguh luar biasa

Selaksa hati ini berdoa
Semoga kasih menjamah dalam dekapNya
Beradu wangi penduduk langit
Menjamu para syuhada

9 September 2014
Kazuhana El Ratna Mida

[Puisi] Kotak Puzzle

Kotak Puzzle

Terdampar dengan materi
Pelipis terasa ngeri
Bergumal dengan sketsa penuh warnawarni
Terjebak dalam lini tumpukan menghakimi


Menilik rentetan kata
Serasa ingin buang muka
Namun, apalah daya
ketika diri tak mengerti
setiap landasan yang di beri
 
Semua masih berupa kotak puzzle
Yang perlu aku cermati
Tuk menemukan jawaban dalam batas waktu yang menemani


Srobyong, 13 september 2014
Kazuhana El Ratna Mida

Sunday 7 September 2014

[Puisi] Waktu

Waktu

Dalam kurun waktu yang terbelenggu
Aku menunggu
Masih dengan kepercayaan
Waktu akan menghampiri

Cerita ini masih aku gali
Masih aku mencari jati diri
Menunggu ending dalam kilatan senja di hati
Dengan kesadaran diri, agar tak merasa sakit hati

Semua memiliki waktu
Kesempatan
Keberkahan
Keajaiban

Coretan rasa yang menjalar
Beharap setapak itu dijamah kembali
Mengulurkan kepedulian untuk merangkai kasih
bersama deretan panjang ungkapan hati

7 September 2014
Kazuhana El Ratna Mida

[Puisi] Mimpi

Mimpi

Aku bermimpi
Aku berharap
Adakah salah jika hati meminta
Derai kasih dari Sang Pencipta
Tentang cerita indah menuju surga

Kazuhana El Ratna Mida
7 September 2014

[Puisi] Gejolak Hati

Gejolak Hati

Sepi tak bertepi
Aku rindu dengan cahaya Ilahi
Rresap hati masih terpatri
Dalam naungan gejolak hati

7 September 2014
Kazuhana El Ratna Mida