[Dokumen pribadi]
Dialah alam, yang sahabat setia
yang selalu ada,
meski kadang kita bertindak
semena-mena.
Maka, mulailah untuk menghargai,
rawatlah dengan sepenuh hati
~Ratnani Latifah~
Jepara
tidak hanya kaya akan pesona wisata pantai. Wisata alam pun banyak tersebar di
berbagai wilayah Jepara. Misalnya Wisata Seribu Akar, Telaga Sejuta Akar, Udara
Yoga, Sreni Indah, Wisata Tempur dan banyak lagi.
Tidak
ketinggalan ada pula wisata Goa Tritip yang memiliki pesona alam yang tidak
kalah indah dari wisata lainnya.
Tertelak di di desa Ujungwatu, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Jepara, wisata ini
juga menawarkan pesona alam yang indah.
Kalau ingin mengunjungi wisata ini, untuk akses jalannya cukup mudah.
Karena masih berada di kompleks wisata Benteng Portugis. Tiket masuknya pun
cukup murah. Per kepala hanya membayar Rp 5000,00.
Kalau
menurut sejarah, Goa Tritip ini awalnya tempat bertapa Mbah Joyo Kusumo. Dulu
jika kita menyambangi tempat ini, kita bisa melihat sebuah perahu—yang konon
dijadikan tempat bertapa Mbah Joyo Kusumo. Namun sekarang ini perahu itu sudah
tidak ada karena dirusak oleh tangan-tangan jahil yang pernah ke sana. Ketika kita berkunjung di wisata ini, kita
akan disambut dengan pemandangan hijau pohon dan pegunungan yang indah. Dan
bagi yang suka foto banyak banget spot-spot menarik yang bisa kita pilih.
Keindahan
alam itulah yang setidaknya membuat saya ingin menyambangi wisata Goa Tritip. Apalagi setelah melihat foto-foto apik yang
diposting di IG dengan tagar #GoaTritip yang menunjukkan pesona wisata
tersebut.
Maka
setelah sempat tertunda-tunda, tanggal 20 Januari 2019, saya berkesempatan
untuk melancong ke sana. Dan alhamdulillah hari itu perjalanan sangat lancar
dan tanpa terhalau hujan, yang saat ini memang terus mengguyur di wilayah
Jepara hampir setiap hari.
Meski
untuk menempuhnya saya harus tahan, karena lokasinya cukup jauh dari rumah
saya. Yah, setidaknya untuk sampai di sana saya membutuhkan waktu sekitar satu
setengah jam-an. Lupa hehhe. Namun kepayahan
itu terbayar ketika sudah sampai di lokasi tujuan.
Yah,
pemandangan yang disuguhkan di sana memang sangat memesona. Apalagi ketika kita
sudah sampai di puncak—jadi kalau boleh jujur, saya tidak menyangkan kalau
bertandang ke Goa Tritip ini laiknya melakukan pendakian. Jadi kalau kalian barang kali setelah membaca
ini juga pengen bertandang ke sana, persiapkan bekal yang cukup agar tidak
ngos-ngosan ketika ke sana. J
Oke
kembali pada panorama wisata Goa Tritip, pertama-tama kita akan disambut
suasana pegunungan yang menyejukkan. Di bagian paling bawah kita bisa
menyapukan mata melihat pohon-pohon hijau nan tinggi. Kemudian setelah berjalan
lebih jauh kita bisa menikmati pesona napak tilas Goa Tritip dan perahu. Setelah
itu ada pula spot macam gardu pandang yang bisa kita gunakan untuk rehat
sejenak.
[Dokumen pribadi]
Lebih
jauh lagi nanti kita bisa bertemu dengan sebuah batu besar yang sering
digunakan para wisatawan buat berselfie ria. Di sana kita sudah bisa menikmati
pesona alam yang luar biasanya, lho. Tidak lama dari lokasi itu, maka puncak
dari perjalanan sudah terlihat. Yah ... selaiknya yang sedang in saat ini di
sana banyak sekali disediakan tempat gardu pandang yang apik dan menarik. Tinggal
pilih yang kita sukai saja. Dari atas
sana kita bisa menikmati keindahan pantai yang membentang dari Pacitan Gua
Manik—Bentang Portugis dan juga Pulau Mandalika. Asli adem banget.
[Dokumen pribadi]
Nah
yang lupa tidak bawa bekal, di sana ada warung yang menyediakan jajan dan juga
minuman. So, jangan sedih kalau lupa. Hheeh.
[Dokumen pribadi]
Setelah
puas melepas dahaga di Goa tritip, maka saya tidak melewatkan untuk kembali
menyambangi Benteng Portugis—meski sudah beberapa kali ke sana. Hheh. Eh...
ternyata di sana sudah banyak sekali perubahan yang membuat wisata tersebut
makin apik dan menarik. jadi nggak menyesal deh buat mampir. Spot-spotnya juga
makin banyak untuk dipilih.
[Dokumen pribadi]
Begitu pula ketika saya mampir ke Gua Manik Pecatu Prak, di sana juga sedikit banyak sudah dirombak dengan menghadirkan
banyak sekali spot menarik yang pastinya untuk menarik para wisatawan untuk
berkunjung. Untuk tikek masuknya per orang Rp5.000,00.
[Dokumen pribadi]
|
Tuesday 19 February 2019
[Traveling] Pesona Goa Tritip, Wisata Alam Memesona
Label:
Benteng Portugis,
Donorojo,
Explore Jepara,
Goa Tritip,
Gua Manik Pecatu Park,
Traveling,
Ujung Batu
Lokasi: Srobyong-Mlonggo
Srobyong, Mlonggo, Jepara Regency, Central Java, Indonesia
Monday 11 February 2019
[Resensi] Agar Anak Tidak Kecanduan Gadget
Dimuat di Tribun Jateng, Minggu 30 Desember 2018
Judul : Digital Parenthink
Penulis : Mona Ratuliu
Penerbit : Noura Books
Cetakan : Pertama, Juli 2018
Tebal : 202 halaman
ISBN : 978-602-385-513-1
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara
Menjadi orangtua pada era digital memang penuh
tantangan. Di mana kita dituntut untuk selalu update dengan berbagai hal
dan bisa mengimbangi arus perkembangan zaman itu sendiri. Karena melihat kondisi yang ada, perkembangan
zaman sedikit banyak telah merubah cara berpikir dan tingkah laku anak. Pada
masa dahulu, dengan terbatasanya teknologi, anak ditempa untuk memiliki daya
juang yang cukup tinggi. Anak-anak lebih sering bermain permainan tradisional
dan berkumpul untuk bersosialisasi.
Akan tetapi pada era digital, ketika teknologi semakin canggih, kebiasaan
lama itu pun mulai bergeser. Saat ini
anak-anak lebih menikmati berjibaku dengan gadget dari pada bermain
permainan tradisional. Apalagi dengan
berbagai fitur menarik dan lengkap, anak merasa sudah cukup berteman dengan gadget.
Dengan gadget saja, mereka sudah bisa melakukan banyak hal. Dari
menonton youtube, bermain game, pesan makanan secara online, berselancar di
dunia maya dan banyak lagi.
Pada beberapa hal keberadaan gadget memang
telah memberikan banyak sekali manfaat. Namun di sisi lain, gadget juga
memberi dampak buruk bagi pertumbuhan anak. apalagi jika dalam perizinan
memakai gadget tanpa adanya bimbingan dari orangtua. Bahkan yang lebih
parah, anak-anak bisa kecanduan gadget. Dalam artian waktu online anak
lebih banyak daripada melakukan kegiatan lain. Anak lebih memilih bermain
gagdet daripada berkumpul dengan keluarga, anak akan marah jika gadgetnya
diminta.
Lalu bagaimana caranya agar anak tidak kecanduag
gadget? Buku ini sangat tepat dijadikan
bahan bacaan. Di sini akan diuangkap dengan jelas dan detail tentang bagaimana
caranya agar orangtua bisa meminimalis agar anak tidak kecanduan gadget.
Hal pertama yang bisa dilakukan orangtua adalah
dengan memulai menjelaskan tentang dampak negatif bermain gadget. Salah
satu pakar psikologi, menjelaskan ada delapan aspek perkembangan anak yang akan
terpengaruh; perkembangan motirik,
fisik, moral, sosial, identifikasi gender, bahasa, neourologi dan kognitif.
Cara lain, kita bisa mulai mengenalkan kepada anak
berbagai permainan yang tidak kalah seru, dari gadget. Orangtua juga perlu membatasi pemakaian dan
memberi bimbingan dalam pemakaian gadget. Namun, jika anak sudah terlanjur kecanduan gadget,
maka kita memerlukan tindakan detoks. Artinya kita perlu
mengentikan sama sekali penggunaan
gadget dalam jangka waktu tertentu, sekitar 4-6 minggu (hal 82).
Selain sedikit hal ini, masih banyak penjelasan yang
lebih jelas. Buku ini sangat patut dibaca bagi orangtua sebagai pedoman pola
asuh anak. Dilengkapi dengan kisah nyata pengalaman dari beberapa orangtua. Hal
ini akan membantu kita untuk melihat gambaran fenomen gadget yang memiliki
banyak pengaruh dalam kehidupan saat ini.
Srobyong, 1 Desember 2018
Label:
Mona Ratuliu,
Noura Books,
Review buku,
Tribun Jateng
Lokasi: Srobyong-Mlonggo
Srobyong, Mlonggo, Jepara Regency, Central Java, Indonesia
Sunday 10 February 2019
[Resensi] Roman Pemanjat Tebing dan Spiritualisme Kritis
[Sumber gambar : Pixiz]
Judul :
Bilangan Fu
Penulis :
Ayu Utami
Penerbit :
Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal :
572 halaman
Cetakan :
Kedua, Oktober 2018
ISBN :
978-602-424-397-5
Setelah mendulang sukses dalam debut karyanya berjudul
“Saman”—yang merupakan pemenang Sayembara Roman DKJ 1998—Ayu Utami kembali
melahirkan sebuah karya tidak kalah menarik.
Di mana novel ini merupakan peraih “Khatulistiwa
Literary Award 2008” . Dan di tahun
yang sama novel ini juga mendapat penghargaan Majelis Sastra Asia Tenggara
(Mastera). Mengambil tema dasar tentang
kisah roman pemanjat tebing yang dipadukan dengan tema spiritualisme kritis,
kisah yang ditawarkan penulis ini cukup
menarik untuk dibaca.
Sandi Yuda adalah seorang pemanjat tebing. Baginya menjadi pemanjat tebing adalah sebuah dorongan yang
menunjukkan bahwa dia adalah seorang
yang unggul—lelaki yang tidak menyerah pada kegenitan, kecemasan, ketakutan ataupun
bujuk-manja kemewahan kota. Lelaki yang
kuat dan merdeka. Bersama teman-temannya
dia mendaki petebingan di desa Sewugunung
dekat lereng watugunung. Agar pendakiannya berhasil, maka dia harus bisa
membuka jalur pendakian dengan memaku
dan mengebor batu-batuan di tebing dengan penuh kehati-hatian. Dia memiliki
kebiasaan bertaruh dengan hal-hal yang tidak biasa.
Ada pula Parang jati, seorang mahasiswa geologi yang
juga suka memanjat tebing. Dan kebetulan dia tinggal di desa Sewugunung.
Berbeda dengan Yuda yang memanjat dengan mengebor tebing, maka tidak dengan
Parang Jati. Menurutnya dalam memanjat tebing, kita tidak boleh menyakiti
bebatuan tebing dengan memaku dan mengebor. Karena itu akan merusak keindahan alam itu sendiri. Parang Jati
khawatir kebiasaan memanjat dengan cara itu lama kelamaan akan merusak dan
bahkan memusnahkan bukit itu sebagaimana yang terjadi pada bukit citatah. Namun
meski berbeda cara, mereka yang bertemu secara tidak sengaja malah mencari
teman.
Marja adalah kekasih Yuda. Mereka memiliki hubungan
unik namun saling memahami dan pengertian.
Hal itulah yang membuat hubungan mereka awet. Namun bagaimana ketika
tiba-tiba Parang Jati hadir di antara mereka? Selain membahas tentang
percintaan dua pemanjat tebing, novel ini juga mengulik perihal masalah
keagamaan di tanah air secara menarik
dan menggelitik. Kemudian ada pula kritik
terhadap masalah masalah gerakan militer yang ada di pemerintahan.
Hemat saya secara garis besar melalui buku ini, Ayu
Utami mencoba mengkritisi berbagai permasalahan yang ada di masa orde baru. Seperti
sikap intoleran yang dan cara beragama yang terkesan formalitas—maksudnya agama
yang dianut warga mengikuti apa yang diikuti oleh orang-orang kebanyakan atau
orang-orang yang memiliki kuasa.
Hanya saja dari segi bercerita dan gaya bahasa, buku
ini cukup sulit untuk dicerna. Kita harus membaca beberapa kali agar memahami
esensi yang disampaikan penulis. Karena dari segi cerita selain roman antara
Yuda, Parang Jati dan Marja, novel ini lebih banyak memunculkan fragmen-fragmen yang
berhubungan dengan masalah mitos, adat dan budaya yang cukup detail ulasannya, di banding kisah
itu sendiri. Semisalnya masalah kisah
Nyi Rorokidul dan atau pewayangan yang menggambarkan sosok Drupadi.
Jadi selama membaca novel ini, saya seperti membaca
sejarah dan dongeng dari fragmen yang dimunculkan penulis. Namun lepas dari
kekurangan yang ada, saya sangat salut dengan penulis yang mana demi
menyelesaikan naskah ini, dia melakukan banyak riset bahkan ikut berlatih
panjat tebing dan masuk sekolah panjat Tebing Skygers. Setidaknya dalam usaha
menuntaskan novel yang konon idenya berasal dari kekasihnya (bernama Erik yang
seorang pemanjat tebing) Ayu membutuhkan waktu 4 tahun untuk pencarian dan
sembilan bulan untuk menuntaskan cerita.
Hal ini adalah bukti nyata dalam totalitas Ayu dalam
membuat sebuah karya. Bahwa dia tidak main-main demi menghasilkan sebuah cerita
yang bisa jadi akan memberi inspirasi bagi pembaca serta renungan yang
mendalam. Misalnya kritik menarik tentang persamaan pemanjat tebing—khusunya
penganut dirty climbing—dengan para pemeluk agama. Di mana pemanjat
tebing ketika memiliki ambisi untuk berhasil, mereka akan berjuang keras agar
bisa meraih ambisinya, meski itu dia
harus memaku dan mengebor tepian tebing sehingga merusak alam. Yang terpenting
mereka berhasil sampai di atas.
Begitu pula seorang penganut agama. Agar agama yang
dianutnya itu bisa tersiar ke semua orang, kadang ada oknum-oknum yang
melakukan berbagai cara meski itu dengan kekerasan agar agamanya diterima. Padahal
tentu saja cara itu merupakan cara yang salah.
Tapi ada juga pemanjat tebing yang lebih memilih menyatu dan
bersahabat dengan alam serta penganut agama yang dalam syiarnya memakai cara
damai dan bersahabat. Dan saya rasa
kejadian semacam itu sampai sekarang pun masih bisa kita lihat dan memang
berada di sekitar kita.
Yang saya sukai dari novel ini adalah nilai-nilai
kehidupan yang cukup banyak bisa kita ambil pembelajaran. Misalnya dalam
memanfaatkan teknologi, serta ajakan untuk lebih menghargai alam dengan merawat
dan tidak merusaknya.
Srobyong, 10 Februari 2019
Label:
Ayu Utami,
Penerbit KPG,
Review buku
Lokasi: Srobyong-Mlonggo
Srobyong, Mlonggo, Jepara Regency, Central Java, Indonesia
Subscribe to:
Posts (Atom)