Tuesday 19 February 2019

[Traveling] Pesona Goa Tritip, Wisata Alam Memesona



[Dokumen pribadi]


Dialah alam, yang sahabat setia yang selalu ada,
meski kadang kita bertindak semena-mena.
Maka, mulailah untuk menghargai, rawatlah dengan sepenuh hati
~Ratnani Latifah~

            Jepara tidak hanya kaya akan pesona wisata pantai. Wisata alam pun banyak tersebar di berbagai wilayah Jepara. Misalnya Wisata Seribu Akar, Telaga Sejuta Akar, Udara Yoga, Sreni Indah, Wisata Tempur dan banyak lagi.

            Tidak ketinggalan ada pula wisata Goa Tritip yang memiliki pesona alam yang tidak kalah indah dari  wisata lainnya. Tertelak di di desa Ujungwatu, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Jepara, wisata ini juga menawarkan pesona alam yang indah.  Kalau ingin mengunjungi wisata ini, untuk akses jalannya cukup mudah. Karena masih berada di kompleks wisata Benteng Portugis. Tiket masuknya pun cukup murah. Per kepala hanya membayar Rp 5000,00.

            Kalau menurut sejarah, Goa Tritip ini awalnya tempat bertapa Mbah Joyo Kusumo. Dulu jika kita menyambangi tempat ini, kita bisa melihat sebuah perahu—yang konon dijadikan tempat bertapa Mbah Joyo Kusumo. Namun sekarang ini perahu itu sudah tidak ada karena dirusak oleh tangan-tangan jahil yang pernah ke sana.  Ketika kita berkunjung di wisata ini, kita akan disambut dengan pemandangan hijau pohon dan pegunungan yang indah. Dan bagi yang suka foto banyak banget spot-spot menarik yang bisa kita pilih.

            Keindahan alam itulah yang setidaknya membuat saya ingin menyambangi wisata Goa Tritip.  Apalagi setelah melihat foto-foto apik yang diposting di IG dengan tagar #GoaTritip yang menunjukkan pesona wisata tersebut.

            Maka setelah sempat tertunda-tunda, tanggal 20 Januari 2019, saya berkesempatan untuk melancong ke sana. Dan alhamdulillah hari itu perjalanan sangat lancar dan tanpa terhalau hujan, yang saat ini memang terus mengguyur di wilayah Jepara hampir setiap hari.

            Meski untuk menempuhnya saya harus tahan, karena lokasinya cukup jauh dari rumah saya. Yah, setidaknya untuk sampai di sana saya membutuhkan waktu sekitar satu setengah jam-an. Lupa hehhe.  Namun kepayahan itu terbayar ketika sudah sampai di lokasi tujuan.

            Yah, pemandangan yang disuguhkan di sana memang sangat memesona. Apalagi ketika kita sudah sampai di puncak—jadi kalau boleh jujur, saya tidak menyangkan kalau bertandang ke Goa Tritip ini laiknya melakukan pendakian.  Jadi kalau kalian barang kali setelah membaca ini juga pengen bertandang ke sana, persiapkan bekal yang cukup agar tidak ngos-ngosan ketika ke sana. J


            Oke kembali pada panorama wisata Goa Tritip, pertama-tama kita akan disambut suasana pegunungan yang menyejukkan. Di bagian paling bawah kita bisa menyapukan mata melihat pohon-pohon hijau nan tinggi. Kemudian setelah berjalan lebih jauh kita bisa menikmati pesona napak tilas Goa Tritip dan perahu. Setelah itu ada pula spot macam gardu pandang yang bisa kita gunakan untuk rehat sejenak.

[Dokumen pribadi] 



            Lebih jauh lagi nanti kita bisa bertemu dengan sebuah batu besar yang sering digunakan para wisatawan buat berselfie ria. Di sana kita sudah bisa menikmati pesona alam yang luar biasanya, lho. Tidak lama dari lokasi itu, maka puncak dari perjalanan sudah terlihat. Yah ... selaiknya yang sedang in saat ini di sana banyak sekali disediakan tempat gardu pandang yang apik dan menarik. Tinggal pilih yang kita sukai saja.  Dari atas sana kita bisa menikmati keindahan pantai yang membentang dari Pacitan Gua Manik—Bentang Portugis dan juga Pulau Mandalika. Asli adem banget.

[Dokumen pribadi] 


            Nah yang lupa tidak bawa bekal, di sana ada warung yang menyediakan jajan dan juga minuman. So, jangan sedih kalau lupa. Hheeh.

[Dokumen pribadi] 

            Setelah puas melepas dahaga di Goa tritip, maka saya tidak melewatkan untuk kembali menyambangi Benteng Portugis—meski sudah beberapa kali ke sana. Hheh. Eh... ternyata di sana sudah banyak sekali perubahan yang membuat wisata tersebut makin apik dan menarik. jadi nggak menyesal deh buat mampir. Spot-spotnya juga makin banyak untuk dipilih.

[Dokumen pribadi] 

Begitu pula ketika saya mampir ke Gua Manik Pecatu Prak, di sana juga sedikit banyak sudah dirombak dengan menghadirkan banyak sekali spot menarik yang pastinya untuk menarik para wisatawan untuk berkunjung. Untuk tikek masuknya per orang Rp5.000,00.
           
           
           
[Dokumen pribadi] 




Monday 11 February 2019

[Resensi] Agar Anak Tidak Kecanduan Gadget

Dimuat di Tribun Jateng, Minggu 30 Desember 2018


Judul               : Digital Parenthink
Penulis             : Mona Ratuliu
Penerbit           : Noura Books
Cetakan           : Pertama, Juli 2018
Tebal               : 202 halaman
ISBN               : 978-602-385-513-1
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Menjadi orangtua pada era digital memang penuh tantangan. Di mana kita dituntut untuk selalu update dengan berbagai hal dan bisa mengimbangi arus perkembangan zaman itu sendiri.  Karena melihat kondisi yang ada, perkembangan zaman sedikit banyak telah merubah cara berpikir dan tingkah laku anak. Pada masa dahulu, dengan terbatasanya teknologi, anak ditempa untuk memiliki daya juang yang cukup tinggi. Anak-anak lebih sering bermain permainan tradisional dan berkumpul untuk bersosialisasi.

Akan tetapi pada era digital,  ketika teknologi semakin canggih, kebiasaan lama itu pun mulai bergeser.  Saat ini anak-anak lebih menikmati berjibaku dengan gadget dari pada bermain permainan tradisional. Apalagi  dengan berbagai fitur menarik dan lengkap, anak merasa sudah cukup berteman dengan gadget. Dengan gadget saja, mereka sudah bisa melakukan banyak hal. Dari menonton youtube, bermain game, pesan makanan secara online, berselancar di dunia maya dan banyak lagi.

Pada beberapa hal keberadaan gadget memang telah memberikan banyak sekali manfaat. Namun di sisi lain, gadget juga memberi dampak buruk bagi pertumbuhan anak. apalagi jika dalam perizinan memakai gadget tanpa adanya bimbingan dari orangtua. Bahkan yang lebih parah, anak-anak bisa kecanduan gadget. Dalam artian waktu online anak lebih banyak daripada melakukan kegiatan lain. Anak lebih memilih bermain gagdet daripada berkumpul dengan keluarga, anak akan marah jika gadgetnya diminta.

Lalu bagaimana caranya agar anak tidak kecanduag gadget?  Buku ini sangat tepat dijadikan bahan bacaan. Di sini akan diuangkap dengan jelas dan detail tentang bagaimana caranya agar orangtua bisa meminimalis agar anak tidak kecanduan gadget.

Hal pertama yang bisa dilakukan orangtua adalah dengan memulai menjelaskan tentang dampak negatif bermain gadget. Salah satu pakar psikologi, menjelaskan ada delapan aspek perkembangan anak yang akan terpengaruh;  perkembangan motirik, fisik, moral, sosial, identifikasi gender, bahasa, neourologi dan kognitif.

Cara lain, kita bisa mulai mengenalkan kepada anak berbagai permainan yang tidak kalah seru, dari gadget.  Orangtua juga perlu membatasi pemakaian dan memberi bimbingan dalam pemakaian gadget. Namun,  jika anak sudah terlanjur kecanduan gadget, maka kita memerlukan tindakan detoks. Artinya kita perlu mengentikan  sama sekali penggunaan gadget dalam jangka waktu tertentu, sekitar 4-6 minggu (hal 82).

Selain sedikit hal ini, masih banyak penjelasan yang lebih jelas. Buku ini sangat patut dibaca bagi orangtua sebagai pedoman pola asuh anak. Dilengkapi dengan kisah nyata pengalaman dari beberapa orangtua. Hal ini akan membantu kita untuk melihat gambaran fenomen gadget yang memiliki banyak pengaruh dalam kehidupan saat ini.

Srobyong, 1 Desember 2018 

Sunday 10 February 2019

[Resensi] Roman Pemanjat Tebing dan Spiritualisme Kritis




[Sumber gambar : Pixiz] 


Judul               : Bilangan Fu
Penulis             : Ayu Utami
Penerbit           : Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal               : 572 halaman
Cetakan           : Kedua, Oktober 2018
ISBN               : 978-602-424-397-5

Setelah mendulang sukses dalam debut karyanya berjudul “Saman”—yang merupakan pemenang Sayembara Roman DKJ 1998—Ayu Utami kembali melahirkan sebuah karya tidak kalah menarik.    Di mana novel ini merupakan peraih “Khatulistiwa Literary Award 2008” .  Dan di tahun yang sama novel ini juga mendapat penghargaan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera).  Mengambil tema dasar tentang kisah roman pemanjat tebing yang dipadukan dengan tema spiritualisme kritis, kisah  yang ditawarkan penulis ini cukup menarik untuk dibaca.  

Sandi Yuda adalah seorang pemanjat tebing.  Baginya menjadi  pemanjat tebing adalah sebuah dorongan yang menunjukkan  bahwa dia adalah seorang yang unggul—lelaki yang tidak menyerah pada kegenitan, kecemasan, ketakutan ataupun bujuk-manja kemewahan kota.  Lelaki yang kuat dan merdeka.  Bersama teman-temannya dia mendaki  petebingan di desa Sewugunung dekat lereng watugunung.   Agar  pendakiannya berhasil, maka dia harus bisa membuka jalur pendakian dengan  memaku dan mengebor batu-batuan di tebing dengan penuh kehati-hatian. Dia memiliki kebiasaan bertaruh dengan hal-hal yang tidak biasa.

Ada pula Parang jati, seorang mahasiswa geologi yang juga suka memanjat tebing. Dan kebetulan dia tinggal di desa Sewugunung. Berbeda dengan Yuda yang memanjat dengan mengebor tebing, maka tidak dengan Parang Jati. Menurutnya dalam memanjat tebing, kita tidak boleh menyakiti bebatuan tebing dengan memaku dan mengebor. Karena itu akan merusak  keindahan alam itu sendiri. Parang Jati khawatir kebiasaan memanjat dengan cara itu lama kelamaan akan merusak dan bahkan memusnahkan bukit itu sebagaimana yang terjadi pada bukit citatah. Namun meski berbeda cara, mereka yang bertemu secara tidak sengaja malah mencari teman.

Marja adalah kekasih Yuda. Mereka memiliki hubungan unik namun saling memahami dan pengertian.  Hal itulah yang membuat hubungan mereka awet. Namun bagaimana ketika tiba-tiba Parang Jati hadir di antara mereka? Selain membahas tentang percintaan dua pemanjat tebing, novel ini juga mengulik perihal masalah keagamaan di tanah air secara  menarik dan menggelitik. Kemudian ada pula  kritik terhadap masalah masalah gerakan militer yang ada di pemerintahan.

Hemat saya secara garis besar melalui buku ini, Ayu Utami mencoba mengkritisi berbagai permasalahan yang ada di masa orde baru. Seperti sikap intoleran yang dan cara beragama yang terkesan formalitas—maksudnya agama yang dianut warga mengikuti apa yang diikuti oleh orang-orang kebanyakan atau orang-orang yang memiliki kuasa.  

Hanya saja dari segi bercerita dan gaya bahasa, buku ini cukup sulit untuk dicerna. Kita harus membaca beberapa kali agar memahami esensi yang disampaikan penulis. Karena dari segi cerita selain roman antara Yuda, Parang Jati dan Marja, novel ini lebih banyak memunculkan fragmen-fragmen yang berhubungan dengan masalah mitos, adat dan budaya  yang cukup detail ulasannya, di banding kisah itu sendiri.  Semisalnya masalah kisah Nyi Rorokidul dan atau pewayangan yang menggambarkan sosok Drupadi.

Jadi selama membaca novel ini, saya seperti membaca sejarah dan dongeng dari fragmen yang dimunculkan penulis. Namun lepas dari kekurangan yang ada, saya sangat salut dengan penulis yang mana demi menyelesaikan naskah ini, dia melakukan banyak riset bahkan ikut berlatih panjat tebing dan masuk sekolah panjat Tebing Skygers. Setidaknya dalam usaha menuntaskan novel yang konon idenya berasal dari kekasihnya (bernama Erik yang seorang pemanjat tebing) Ayu membutuhkan waktu 4 tahun untuk pencarian dan sembilan bulan untuk menuntaskan cerita.

Hal ini adalah bukti nyata dalam totalitas Ayu dalam membuat sebuah karya. Bahwa dia tidak main-main demi menghasilkan sebuah cerita yang bisa jadi akan memberi inspirasi bagi pembaca serta renungan yang mendalam. Misalnya kritik menarik tentang persamaan pemanjat tebing—khusunya penganut dirty climbing—dengan para pemeluk agama. Di mana pemanjat tebing ketika memiliki ambisi untuk berhasil, mereka akan berjuang keras agar bisa meraih ambisinya,  meski itu dia harus memaku dan mengebor tepian tebing sehingga merusak alam. Yang terpenting mereka berhasil sampai di atas.

Begitu pula seorang penganut agama. Agar agama yang dianutnya itu bisa tersiar ke semua orang, kadang ada oknum-oknum yang melakukan berbagai cara meski itu dengan kekerasan agar agamanya diterima. Padahal tentu saja cara itu merupakan cara yang salah.

Tapi ada juga  pemanjat tebing yang lebih memilih menyatu dan bersahabat dengan alam serta penganut agama yang dalam syiarnya memakai cara damai dan bersahabat.  Dan saya rasa kejadian semacam itu sampai sekarang pun masih bisa kita lihat dan memang berada di sekitar kita.

Yang saya sukai dari novel ini adalah nilai-nilai kehidupan yang cukup banyak bisa kita ambil pembelajaran. Misalnya dalam memanfaatkan teknologi, serta ajakan untuk lebih menghargai alam dengan merawat dan tidak merusaknya.

Srobyong, 10 Februari 2019