Saturday 19 January 2019

[Resensi] Kisah Roman dan Persaingan Paham Agama

Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 30 Desember 2018


Judul               : Kambing dan Hujan
Penulis             : Mahfud Ikhwan
Penerbit           : Bentang Pustaka
Cetakan           : Pertama, April 2018
Tebal               : viii + 380 halaman
ISBN               : 978-602-291-470-9
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

 “Tidak tepat menebar permusuhan di antara sesama Muslim, apalagi dalam satu desa.” (hal 107).

Novel “Kambing dan Hujan” selain terpilih sebagai Pemenang Sayembara Novel DKJ 2014, pada tahun 2015, novel ini juga menjadi Karya Sastra Terbaik versi Jakartabeat dan Buku Terbaik versi Mojok.co. Maka tidak heran jika buku ini kemudian dicetak ulang  dengan cover baru, karena masih diminati pasar. Apalagi dengan desain cover baru yang menurut saya lebih menarik daripada cover edisi pertama.

Mengangkat tema roman dan dipadukan dengan unsur kehidupan sosial politik, sebuah sejarah kampung serta tradisi keagamaan, membuat novel ini sangat menarik. Dengan gaya bercerita yang lugas, tidak rumit dan  mudah dipahami,  membuat novel ini memiliki nilai kelebihan tersendiri. Karena sebagaimana kita ketahui, novel yang diceritakan dengan gaya bahasa yang terlalu rumit, kadang hanya akan membuat pembaca bingung dan bosan.

Menceritakan tentang roman cinta antara Miftahul Abrar dan Nurul Fauzia yang terlahir dalam latar keluarga yang berbeda, meski pun sama-sama memeluk agama Islam dan tinggal di Tegal Centong.   Mif tumbuh di lingkungan keluarga dalam tradisi Islam modern, atau lebih dikenal dengan sebutan Muhammadiyah dan Fauzia lahir dan tumbuh dalam lingkungan  Islam tradisional, atau lebih sering disebut Nahdlatul Ulama (NU).   Tersebab perbedaan itu-lah, hubungan mereka terancam pupus.

Ada sebuah sejarah panjang kenapa kedua paham agama itu tidak bisa berdamai meskipun tinggal di tanah yang sama.  Bahkan ada garis pemisah bagi kedua paham itu. Jika penganut paham Muhammadiyah maka  tinggalya  di Centong Utara. Sedangkan   penganut paham Nahdliyin tinggalnya di Centong Selatan.  Keadaan itulah yang kemudian membuat Mif dan Fauzia pelan-pelan membuka sebuah tabir di masa lalu, untuk mengetahui dari mana akar ketegangan itu dimulai.  Yang ternyata sejarah panjang itu memiliki kaitan erat dengan Moek atau Fauzan, ayah Fauzia dan Is atau Kandar ayah Mif.

Pada awalnya Moek dan Is adalah dua sahabat yang tidak terpisahkan. Mereka sering mengembala kambing  dan belajar bersama.  Tempat favorit mereka saat bersama adalah Gumuk Genjik (hal 62).  Di sana mereka akan saling becerita apa saja.  Selain itu Is juga memiliki kebiasaan meminjam berbagai buku dari Moek. Bahkan ketika Moek melanjutkan pendidikan di pesantren, dia masih sering membawakan kitab agar bisa dibaca Is, yang kebetulan tidak bisa melanjutkan pendidikan, karena masalah biaya.

Namun suatu hari kemunculan Cak Ali, ternyata membawa perubahan besar pada Is. Hingga akhirnya kedekatannya itu telah membuat Is dan Moek tidak berada pada satu kubu. Is merupakan salah satu tokoh islam pembaharu bersma Cak Ali dan teman-temannya. Sedangkan Moek sejak awal dididik untuk melanjutkan perjuangan Islam tradisional di Centong.   Meski awalnya persahabatan mereka tetap seperti dulu, bahkan diam-diam saling mengagumi, namun lambat laun, keadaan lain telah menimbulkan kesalahpahaman yang berkepanjangan, hingga membuat mereka enggan berkomunikasi lagi.

Kenyataan itu tentu saja membuat Mif dan Fauzia bingung. Bagaimana mereka bisa bersatu jika kedua orangtuanya memiliki sejarah panjang seperti itu?  Sedangkan mereka memahami, kebiasaan di desa Centong. “Orang tua di Centong tidak akan memberika nakanya kepada orangtua atau keluarga yang tidak disukainya. Lebih-lebih yang tidak menyukainya.” (hal 26).

Di sinilah kesabaran dan kekuatan Mif dan Fauzia diuji. Mereka harus berjuang agar ayah mereka bisa berdamai. Karena dengan cara itulah hubungan mereka bisa disetujui.  Selain tokoh Moek dan Is, ada pula tokoh lain yang juga akan menghidupkan kisah novel ini bahkan akan membuat kita ikut emosi dan gemas.

Salut dengan penulis yang berani mengangkat tema tentang perbedaan paham agama antara Muhammadiyah dan Nu, yang memang sering terjadi di dalam masyarakat.  Secara keseluruhan novel ini benar-benar menarik dan memikat. Baik dari segi bercerita, penokohan, percakapan, sudut pandang adan alur cerita. Ending cerita yang dipilih penulis pun saya rasa sangat manusiai dan sangat pasa dengan segala probelamatika yang dihadapi.

Dan yang paling saya suka dari novel ini adalah nilai-nilai kehidupan serta nilai-nilai pembalajaran agama yang sangat banyak ditemukan dalam kisah ini. Kita diingatkan untuk menjadi pribadi yang saling memaafkan, cinta damai, rukun dan banyak lagi. Berbagai perbedaan paham agama dijabarkan dengan luar oleh penulis yang membuat wawasan wacana saya bertambah.

Srobyong, 6 Oktober 2018


3 comments: