Saturday 6 February 2016

[Resensi] Kisah Penantian Cinta Berbalut Dakwah


10 tahun lalu Ayat-Ayat Cinta  hadir memberi warna baru pada dunia literasi.  Bahkan membuat saya semakin jatuh cinta pada genre religi. Kemunculan novel tersebut memberi dampak dengan munculnya novel-novel yang hampir serupa. Memang saat itu novel yang ditawarkan Habiburrahman El Shirazy yang lebih dikenal dengan panggilan Kang Abik, memiliki keunikan tersendiri, menawarkan sebuah cinta religi yang sarat makna.  Jadi pantaslah seketika novel itu  laris manis hingga kemudian ada pihak produser yang akhirnya mengankat cerita itu dalam layar lebar. 

Flash back pada novel pertama, akhirnya Fahri bersatu dengan Aisha, gadis keturunan  Turki—Jerman  yang pintar juga cantik jelita dan hidup berbahagia. Sebuah ending yang mungkin pasti banyak disetujui pembacanya. Mengingat perjungan hidup Fahri cukup berliku.  Dia hampir dihukum mati karena fitnah dari  gadis yang pernah ditolongnya—karena cinta gadis itu tidak berbalas.  Lalu ada juga Maria—seorang Kristen Koptik juga tetangganya,  yang ternyata memendam cinta teramat banyak pada Fahri. Maria sangat beraharap bisa menikah dengan Fahri.

Dan sekarang sekarang kisah antara Fahri dan Aisha ternyata ada kelanjutannya. Ketika pertama ada kabar terbitnya novel ini, saya sungguh tidak sabar membaca kelanjutan ceritanya. Saya sungguh penasaran bagaimana kelanjutan dari kisah pasangan ini.

Pada sekuel ke dua ini, cerita dimuali dengan Fahri yang sekarang telah tinggal di  Edinburgh, Scotlandia dan mengajar  di University of Edinburgh. Pernikahannya dengan Aisha telah merubah kehidupannya dulu. Tapi meski begitu dia tetaplah sosok Fahri yang selalu peduli pada orang-orang disekitarnya. Dia hidup bersama Paman Hulusi, asisten rumah tangganya.

Sebuah kejadian yang tidak pernah terduga membuat Fahri harus kehilangan Aisha. Aisha dan Alicia pergi ke Palestina tanggal 2 November 2007. Tapi setelah tanggal 4 November Aisha hilang seperti ditelan bumi. Namun pada tanggal  29 Januari 2008 jasad Alicia ditemukan dengan kondisi yang mengenaskan. (hal. 118-119) Berbagai cara telah dilakukan Fahri untuk mencari tahu keberadaan Aisha, tapi hasilnya nihil. Itulah yang kemudian membuatnya selalu terlarut dalam kesedihan ketika mengingat Aisha. Untuk menghilangkan kesedihannya dia menenggelamkan diri dengan penelitian, mengajar dan bisnis yang dulu dikelolanya dengan Aisha.

Fahri juga sibuk untuk memulihkan citra Islam. Dia tidak ingin Islam dianggap sebagai setan, moster atau teroris. Sebagaimana pendapat yang dimiliki Keira tetangganya. Gadis pemain biola itu entah kenapa sangat membenci Fahri. Tidak cukup Keira, bahkan Fahri juga disebut sebagai amalek oleh Baruch dan teman-teman Yahudinya. (hal. 293) Untuk memulihkan anggapan sepihak itu, Fahri melakukan diskusi terbuka membahas tentang amalek.  (hal. 421) Fahri juga menerima undangan debat tentang permasalah agama dari Oxford. Dia adalah pakar studi Islam sebagai wakil University of Edinburgh.  (hal. 421)

Fahri benar-benar berada pada masa gemilang karirnya. Tapi tidak dengan rumah tangganya. Dia masih terpaku pada Aisha. Beberapa kali Fahri ditawari untuk menikah lagi. Namun dia belum mantap.  Apalagi dia merasa ada seseorang yang entah kenapa selalu mengingatkannya pada Aisha—Sabina tuna wisma yang pernah ditolongnya. Hanya saja Sabina itu berwajah buruk dan memiliki suara yang serak. Sampai pada suatu ketika kehadiran Hulya berhasil mencairkan hati Fahri.  Apakah akhrinya Fahri menikah dengan Hulya atau tetap menunggu Aisha? Dan sebenarnya Aisha memang masih hidup atau sudah meninggal?  Temukan jawabannya di dalam buku ini.

Novel ini sangat menarik dan membuat saya uring-uringan sendiri. Kenapa Aisha harus memiliki nasib seperti itu? Kenapa porsi Aisha dalam buku ini sangat sedikit? Saya juga bertanya-tanya mungkinkah ada seorang perempuan yang mau merelakan suaminya untuk dimadu? Kecuali untuk orang-orang tertentu memang. Banyak kekesalan yang menyusup dalam dada. Tapi mungkin itulah kehebatan Kang Abik dalam mengaduk-aduk emosi pembacanya.

Sejak ada info akan diterbitkan Ayat-Ayat Cinta 2 saya sudah sangat penasaran sekali. Beberapa kali ikut GA mengadu keberuntungan tapi nyatanya belum beruntung, saya pun akhirnya membeli karena sudah sangat penasaran bagaimana kelanjutan kisah Fahri dan Aisah. Alhamdulillah ketika keinginan kuat, ada rezeki dari Allah. 

Alasan yang membuat novel ini sangat menarik adalah :

Cover

Kebetulan saya penikmat warna cokelat, jadi ketika melihat cover untuk pertama kalinya entah kenapa langsung terpikat. Bangunan yang memikat juga Al-Quran dan mawar merah. Menarik saja. Memang kita tidak bisa menilai dari covernya saja. Tapi cover yang cantik biasanya akan selalu menarik para pembaca untuk membeli.

Cerita yang Sudah Mengikat

Karena ini sekuel, sebagai pembaca Ayat-Ayat Cinta pertama, maka saya pun punya keinginan untuk mengetahui kisah selanjutnya. Memang dalam Novel ini kalaupun tidak membaca novel pertama tetap bisa mengikuti, tapi akan lebih baik jika membaca sejak awal sehingga tahu kenapa Fahri begitu mencinta Aisha dan sejarah panjang hingga mereka bisa bersama.

Dan novel ini memiliki kekuatan untuk mengajak pembaca untuk larut dalam cerita. Meski tergolong tebal dan mungkin membuat malas pada awalnya, tapi ketika sudah mulai membaca, maka daya magnet akan membuat kita tidak berhenti sampai menghabiskan ceritanya.

Setting

Dari pengalaman membaca karya Kang Abik, saya melihat kecenderungan mengangkat setting luar negeri dengan penjabaran yang sangat detail. Dan saya sangat suka itu, jadi ketika membaca seolah diajak berpetualangan ke tempat baru. Merasa ikut berperan serta ikut menjejakkan kaki di sana. Gaya bercerita ketika menjelaskan latar di suatu tempat sangat mudah dicerna. Membius.

Tokoh

Masalah tokoh yang diangkat, memang terkesan sangat perfect. Pintar, suka menolong dan begitu loman. Tapi entah kenapa saya tetap suka meski kadang selalu bertanya-tanya, adakah orang seperti Fahri? Mungkin ada, tapi 1 : 1000. Yah, mungkin ini adalah semacam sebuah harapan jika memang ada tokoh seperti itu, maka Indonesia pasti akan sangat hebat dan Islam bisa menjadi lebih baik lagi dengan memiliki cendiakan seperti itu. Mengharumkan nama negara dan agama.

Kang Abik memang tidak mengatakan secara langsung betapa sempurnanya tokoh yang dibuat, tapi dilihat dari penjabaran tingkah laku yang ada dan memakai percakapan tokoh, itu sangat menunjukkan betapa sempurnanya karekater yang dibuat.  Juga mengenai tokoh-tokoh yang menyebalkan yang sukses membuat kita ikut membenci karena penjabaran yang dibuat penulis sangat lihai. Seperti Paman Hulusi, melihat bagaimana sikap dan ucapannya saja kadang saya ingin sekalai memarahinya sambil berkata, “Bisa diam tidak?” pasang muka sangar, hehhheh.

Tema

Tema ke-Islaman memang tema yang sederhana, tapi dari yang sederhana itu, Kang Abik mengemasnya dengan luar biasa. Penjabaran tentang dunia Islam dalam pandangan orang-orang non-muslim juga pandangan orang Islam itu sendiri.  Kita jadi tahu bagaimana orang menilai Islam selama ini. Namun Fahri berusaha menunjukkan bahwa Islam bukanlah seperti angapan kebanyakan orang. Islam bukanlah teroris. Jika mungkin ada kejadian bom atau teror atas nama Islam, itu hanyalah oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Fahri menunjukkan bahwa Islam sejatinya agama yang lemah lembut, damai, penuh kasih sayang dan memiliki toleransi tinggi. Serta merupakan agama yang dirahmati Allah. 

Selain itu Fahri juga mematahkan anggapan orang-orang Yahudi fanatik yang menganggam kaum Islam sebagai amalek—Orang-orang bodoh yang seperti keledai. Fahri menjelaskan anggapan salah itu dengan menjabarkan lewat kitab-kitab mereka sendiri yang dipahami setengah-setengah.  Juga membandingkan dengan AL-Quran. Fahri mengakui bahwa Bani Israel memang kaum yang terpilih dan istimewa, tapi jika itu memang mengikuti ajarah Allah, tapi jika mereka membangkang maka keistimewaan itu akan hilang. (hal. 437-438)

Selain itu dijelaskan pula dalam debat yang dilakukan Fahri di Oxford tentang masalah keagamaan. Salah satu Profesor bernama Mona Bravmann yang hadir mengatakan bahwa segala agama itu sama. Dia mempercayai bahwa semua agama memang sama. Jadi dia menikmati ketika ikut menjalankan ibadaha orang Muslim, juga ketika harus ikut ke gereja atau mengikuti ajaran Yahudi. Hal ini dia dasarkan dari sebuah syair karya Ibn Arabi. (hal. 564)

Jika proferos perempuan itu mengimani semua agama, maka berbeda dengan Profesor  Alex Horten mengatakan bahwa hidup akan lebih baik tanpa agama—Atheisme. Kalau tidak ada agama, baik itu Islam,  Kristen, Yahudi, Hindu atau Budha dan ribuan kepercayaan  lainnya, dunia akan terasa damai. Sebab manusia sudah otomatis tidak saling membedakan. Tidak perlu ada masjid, gereja, sinagog, kuil, candi dan sejenisnya. (hal. 568)

Inilah tantangan yang harus Fahri patahakan, dia harus menjelaskan bahwa kedua pendapat itu salah. Fahri mengatakan, “Kita tidak perlu memerkosa agama-agama itu untuk disama-samakan. Tidak perlu. Yang penting dan perlu, adalah membangun kedewasaan dalam beragama. Para pemeluk-pemeluk agama harus menghayati ajaran agamanya dengan sungguh-sungguh, sereligus-religiusnya dan sedekat-dekatnya mereka dengan Tuhannya, sehingga jiwa mereka menjadi bersih. Lalu hendaknya mereka bergama secara dewasa! Dari situ akan tercipta toleransi yang hakiki, toleransi yang anggun.” (hal. 574)

Genre  dan Pesan

Rata-rata buku karya Kang Abik memang bergenre religi. Karena itus saya sebagai penikmat langsung suka saja. Karena saya yakin dari buku ini saya akan mendapat banyak ilmu baru. Dan seperti dugaan saya, seperti pada buku-buku yang digarap dulu, di sini pun bertebaran ilmu yang bisa diambil manfaatnya.  Di antaranya :

“Prinsipnya, jika bisa cepat berkualitas kenapa harus berlama-lama dan mengulur-ngulur waktu.” (hal. 23)

“Kebencian jangan kita balas dengan kebencian.” (hal. 34)

“Kita tetangga, harus saling membantu.” (hal. 38)

“Perbuatan yang masih diperselisihkan tidak boleh diingkari. Yang boleh diingkari adalah perbuatan yang telah disepakati keharamannya.” (hal. 168)

Pada dasarnya bersahabat itu jauh lebih membahagiakan daripada terus membenci dan buruk sangka. (hal. 188)

“Terkadang apa yang kita tidak sukai ternyata baik di mata Allah, dan terkadang apa yang kita sukai tidak baik di mata Allah.” (hal. 218)

“Islam tertutup oleh umat Islam. Cahaya keindahan Islam tertutupi oleh perilaku buruk umat Islam. Dan perilaku-perilaku itu sama sekali tidak mencerminkan ajaran Islam.  Tidak juga bagian dari ajaran Islam. (hal. 388)

“Menasihati orang lain  itu mudah, tetapi mengamalkan pada diri sendiri tidak mudah.” (hal. 401)

“Ada kalanya diam itu baik. Bahkan terbaik. Diam itu emas. Itu adalah diam di saat yang memang kita harus diam. Dan diam kita bukan sebuah kemungkaran baru, melainkan sebuah kebaikan. Tapi ada kalanya diam mengubah kita menjadi setan bisu. Itu adalah di saat seharusnya kita angkat suara dan bicara demi menjelaskan mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi kita diam saja. Saat kita diam saja di kesempatan kita harus bicara tentang kebenaran, kita telah menjelma setan bisu. Kau harus tahu kapan saatnya kau diam dan kapan kau harus bicara, bahkan tidak boleh diam sekejap pun.” (hal. 566)

“Kita tidak perlu memerkosa agama-agama itu untuk disama-samakan. Tidak perlu. Yang penting dan perlu, adalah membangun kedewasaan dalam beragama. Para pemeluk-pemeluk agama harus menghayati ajaran agamanya dengan sungguh-sungguh, sereligus-religiusnya dan sedekat-dekatnya mereka dengan Tuhannya, sehingga jiwa mereka menjadi bersih. Lalu hendaknya mereka bergama secara dewasa! Dari situ akan tercipta toleransi yang hakiki, toleransi yang anggun.” (hal. 574)
Adanya agama adalah untuk menjadi pedoman hidup  bagi manusia. Menjadi aturan, hukum dan norma bagi kehidupan manusia. (hal. 580)

“Islam mengajakan kita untuk bersikap adil dan baik kepada siapa saja, apalagi tetangga.” (hal. 688)

Hanya saja dalam novel yang bersih dari tpyo ini, saya agak terganggung dengan kata sejurus yang hampir di setiap kalimat selalu ada kata itu.   

Lalu pada beberapa kalimat percakapan, ada kesalahan dalam kata sapaan. Padahal pada percakapan yang lain sapaan itu sudah sesuai kaidah. Sapaan (mas) yang biasanya ditulis memakai awalan huruf kapital—Mas. Tapi ini diawali huruf kecil (mas). Seperti yang tertera pada;

  • Halaman 73 “Benar, mas. Dan terpaksa, saya kayaknya akan pulang tanpa membawa gelar Ph. D Ekonomi Islam di UK. Mau bagaimana lagi? Saya ini diktiers, mas.”
  • Halaman 75; “Pujakesua, mas.”, “Kalau itu sejak dulu, mas.
  • Halaman 109,“Apakah yahudi-yahudi yang tadi mengucapkan kata amalek  itu juga kelompok ortodoks seperti Goldstein, mas?"
  • Halaman 162, “Sudah, mas. Naik Virgin Trains dari Stasiun Waferley Edinburgh jam 10.51 sampai di Stasiun Gwynedd Bangor jam 16.42 seharga 112 Poundsterling, mas.”
  • Halaman 166 dan “Mas, kalau dalam fiqih mu’amalah ada baiknya kita juga menyimak dengan saksama Madzhab Hanafi, bukan membatasi pada madzhaf Syafi’i, mas. ...” [dalam kalimat ini juga ada ketidakkonsistenan dalam penulisan madzhab, pertama di tulis diawali kapital yang kedua tidak]
  •  Halaman  172. “Mau bisnis apa lagi, mas? Bikin cabang Agnina?”


Saya menemukan juga ketidakkonsistenan dalam pemanggilan Fahri dari Sabina. Sejak awal Sabin selalu memangil Fahri dengan sebutan Tuan Fahri. Cek di halaman 229 Tapi pada  halaman 398 Sabina memanggil Fahri dengan sebutan Hoca. Dan pada halaman 510 Sabina kembali memanggil Fahri dengan Tuan.

Lalu pada pertemuan di rumah sakit Sabina sudah mengatakan dia ilegal pada Fahri. “Saya takut  polisi akan datang menangkapku. Saya ilegal di sini.”  (hal. 201)  Tapi pada  halaman selanjutnya  Fahri malah kembali bertanya padahal sudah diberi tahu. “Saya tidak tahu Anda di sini legal atau ilegal.” (hal. 230)

Dalam kalimat ini, “Saya takut  polisi akan datang menangkapku. Saya ilegal di sini.”  (hal. 201)   ada ketidakkonsistenan dalam pengucapak aku dan saya.

Ada pada sebuah bab disebutkan Sabina sedang shalat dalam gubuk di tengah sawah. (hal. 469) Saya rasa jika setting berada di Edinburgh sedikit tidak sinkron, kecuali setting di Indonesia dengan hamparan sawah yang luas. Dan saja juga merasa pada alur cerita terkesan lambat.

Ending cerita sejak awal sebenarnya sudah bisa ditebak, karena clue yang diberikan sangat kentara. Tapi  ada twist lain yang memang tidak saya duga, bahwa akan ada kejadian seperti itu.  Hal itu membuat saya tidak bisa berhenti membaca, Kang Abik sangat  hebat dalam menggiring pembaca untuk menamatkan bukunya.


Untuk keseluruhan cerita saya sangat terhibur dan menikmatinya. Kang Abik sangat lihai dalam mengolah cerita. Dari beberapa buku yang saya baca dari karya Kang Abik, memang selalu kental dengan unsur agamanya. Dan saya sangat suka. Setelah Ayat-Ayat Cinta dulu, saya juga membaca novelnya yaitu Ketika Cinta bertasbih, novel ini pun ada dua bagian juga sudah difilmkan. Lalu saya juga membaca Bumi Cinta dan Api Tauhid. Kesemuanya ini memiliki kesamaan, bahwa tokoh yang selalu dibuat Kang Abik, adalah para penuntut ilmu dari indonesia dengan segala kebaikan, taat pada Allah, penghafal Al-Quran dan memiliki semangat juang tinggi.  Juga merupakan para pejuang yang ingin mengenalkan Islam ke seluruh dunia.

Lepas dari segala kekurangan novel ini, tetap tidak ada alasan untuk tidak menyelesaikan cerita ini. Perpaduan antara cinta, kasih sayang, tolong menolong dan perjuangan menegakkan agama Allah. Novel yang sarat makna ini recomended untuk dibaca. Apalagi bara pembaca yang haus akan pengetahuan baru tentang Islam yang berhubungan perbandingan antar agama dan amalek

Spesifikasi Buku

Judul               : Ayat-Ayat Cinta 2
Penulis             : Habiburrahman El Shirazy
Editor              : Syahruddin El-Fikri
Penerbit           : Republika Penerbit
Tahun terbit     : November 2015
Cetakan           : Empat, Desember 2015
Halaman          : vi + 690 halaman
ISBN               : 978-602-0822-15-0

9 comments:

  1. Replies
    1. Makasih Mbak sudah berkenan mampir ^^. Recehannya nanti langsung banyak biar bisa beli buku ini

      Delete
  2. saya baru mau beli buku ini.. jadi nggak baca dulu resensinya ah.. hehe..

    ReplyDelete
  3. Oke Mbak Linda, beli dulu baru baca review-nya, eh. Hhehh. Memang buku ini recomended banget. Banyak ilmu yang bisa diserap. ^^

    ReplyDelete
  4. Ayat-Ayat Cinta 3, 10 tahun lagi juga kah?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, kalau itu siapa yang tahu ^_^ Nanya Kang Abik hehhhhe

      Delete
  5. Ayat-Ayat Cinta 3, 10 tahun lagi juga kah?

    ReplyDelete
  6. Lengkap! Detail sangat, Mbak Ratna. Masih ada typo, dimaklumi. :D Kenapa nggak dikirim ke email media, mbak?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih Mbak Leli sudah mampir. Masih ada typo ya, hadeh :3. Soalnya ini kepanjangan kalau di kirim ke media Mbak. hehh

      Delete