Thursday 26 June 2014

AKU INGIN

 AKU INGIN

Kazuhana El Ratna Mida




            Aku menghela nafas panjang, dan menyandarkan diri di tembok. Hari ini dia aneh sekali, kenapa ya? Ingatanku melambung pada kejadian yang baru saja terjadi. Aku tidak habis pikir dengan sikapnya yang dingin, tiba- tiba berubah secepat itu. Padahal kemarin dia baik sekali padaku. Apa yang telah membuatnya berubah? Ah! Aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Dia yang biasanya sangat peduli padaku, mendadak menjauh. Tidak menyapa bahkan, seulas senyum pun tidak tersungging untukku. Tatapan mata elang nya itu sudah menusuk tepat di ulu hati.

Aku membuka jendela kamar lebar-lebar, mencoba melupakan kejadian itu dan mencari suasana baru. Tapi ketika sedang asyik menikmati matahari senja, pandanganku menangkap sosoknya yang sedang duduk santai diatap rumahn sambil bermain gitar. Aku jadi teringat dengan awal dari pertemuan kami, benar-benar mirip. Aku yang waktu itu kesal dan sedang merasa suntuk, aku menumpahkan kemarahan dengan berteriak keras, sampai- sampai aku tidak mendengar ketika dia memanggil. Aku baru tersadar akan kehadirannya  ketika dia melempar batu kecil kearahku.

“Lagi suntuk ya? Mau dengerin lagu nggak!” Teriaknya. Dia langsung memainkan gitarnya tanpa menunggu persetujuan dariku. Tapi tidak kusangka suara dan permainan gitarnya sangat bagus. Aku sangat menikmatinya. Itulah awal dari kedekatan kami, dan aku sangat senang sekali ketika tahu, aku kan satu sekolah dengannya. Maklumlah aku orang baru di perumahan ini.

“Terima kasih ya, permainan kamu bagus sekali, aku jadi terhibur,“ Aku berucap tulus. Kekesalanku seolah luntur setelah mendengar permainannya.

“Baguslah kalau kamu senang, permainanku jadi tidak sia- sia.”

Dia bangkit dari tempatnya dan berlalu pergi. Aku memandang kesekeliling mencari sosoknya.

“ Hai, tersenyum seperti itu lebih manis tahu,” Disa melambaikan tangannya dari bawah.

Pertemuan yang tidak disengaja itu pun, akhirnya malah menjadi kebiasaan. Aku selalu menunggunya di sana untuk melihat permainan gitarnya dan sepertinya dia pun tidak keberatan dengan kehadiranku. Malahan dengan sabar dia mau mengajari bermain gitar. Aku sangat senang sekali. Tidak peduli dengan ucapan orang yang mengatakan kalau dia itu bandel dan suka seenaknya, yang aku tahu dia baik sekali.

Mendadak dia memberikan gitarnya begitu saja, dan berlalu pergi meninggalkan aku sendirian di atap rumah.
“Tolong bawakan dulu gitarku, besok kita latihan lagi,“  ucapnya, dan berlalu menghilang dari pandanganku.

Aku sampai tidak sempat menanyakan apapun. Sebenarnya mau ke mana dia? Aku sangat ingin tahu. Pandanganku kini beralih pada gitar yang ada di tangan. Baiklah aku akan menjaganya dengan sangat baik.

Aku merebahkan tubuh di kasur dengan senyum mengembang. Kuamati gitar yang tepat berada di samping guling. Di sana terukir jelas huruf besar bertuliskan Ryu. Ya itulah namanya. Orang yang selalu baik, dan mau berteman denganku. Aku jadi sangat mengaguminya. Kalau waktu itu tidak bertemu Ryu, aku pasti masih kesal dan uring-uringan. Karena sebenarnya aku sangat tidak ingin pindah di kota ini. Gara-gara harus pindah, mau tak mau harus meninggalkan teman-teman, juga sahabat terbaikku. Tapi semua itu berubah ketika bertemu Ryu.

“Kireina!” panggilan itu membuyarkan aku dari lamunan panjang.

Buru- buru aku mendekati jendela untuk mengetahui sumber suara yang memanggil.

“Ryu, ada apa? Apa urusanmu sudah selesai?“ aku bertanya secara bertubi-tubi, habis senang sekali bisa melihatnya Ryu lagi. Entah, mungkin aku mulai menyukainya.

“Begitulah, o iya kamu mau ini? Tadi aku menang taruhan basket, tapi tidak tahu mau aku berikan pada siapa, buatmu saja“ Ryu melemparnya kearahku.

“O ... terima kasih,” ucapku agak kaget. Ryu hanya melambaikan tangannya dan berlalu.

“Bagaimana dengan gitarmu?“ aku baru ingat.

“Besok akan kuambil.“

Aku memandangi gantungan kunci panda di tangan, ini hadiah dari Ryu. Senangnya, ini bagus sekali. Aku akan terus menyimpannya. Ini hadiah pertama yang kudapat, tanpa tersadar senyum mengembang di wajah. Entah mengapa aku merasa bahagia sekali. Perasaan aneh ini tiba-tiba begeolak di hati.


***
Aku senang sekali, pagi yang cerah sudah menanti, dengan begitu bisa segera bertemu dengan Ryu lagi. Jadi tidak sabar untuk menantikannya. Bisa berangkat sekolah bersama, artinya aku bisa berlama- lama dengannya. Aku tersenyum senang. Tiba-tiba oneesan[1] memanggilku. Memberitahu, kalau Ryu sudah menunggu. Hem! Baru saja dipikirkan dia sudah muncul. Buru-buru aku merapikan pakaian dan menyambar tas, tidak lupa gitar milik Ryu.

Berjalan di samping Ryu seperti ini, membuatku senang sekaligus deg-degan. Aku harap, bisa terus berlama-lama dengannya, tapi itu tidak mungkin karena setelah belokan ini, kami akan sampai di sekolah. Masalahnya aku tidak satu kelas dengan Ryu, malahan dia berada satu tingkat lebih tinggi dariku. Dia memiliki banyak penggemar cewek di sini. Dia slalu mendapat banyak hadiah seperti saat ini.

“"aku masuk kelas dulu ya."

“Aku anterin saja.”

Ryu menarik tanganku dari kerumunan. Dia terus saja mengenggamg erat tangan ini, dia baru melepasnya ketika kami sudah sampai di kelasku.

"Maaf ya soal yang tadi , ini coklatnya buat kamu saja."

“Ini kan untuk mu?” aku tidak mengerti dengan pikirannya.

"Aku tidak suka yang manis-manis."

Ryu meraih tanganku dan meletakkan coklat itu begitu saja. Dia itu apa-apaan sih semaunya saja. Bilang tidak suka yang manis, padahal kemarin aku memberinya coklat dan dia kelihatan senang sekali. Aneh sekali.


****
Aku memandangi gantungan kunci itu lagi, karena setiap melihatnya aku jadi teringat dengan senyum Ryu yang manis itu. Tiba-tiba, aku teringat dengan coklat pemberian Ryu. Aku jadi berpikir, kalau cewek yang tadi memberikan coklat itu tahu, bahwa coklatnya malah berada di tanganku, dia pasti akan marah dan sedih. Seharusnya Ryu harus lebih menghargai pemberian orang lain. Akhirnya kuputuskan untuk mencari Ryu.

"Ryu aku tidak bisa menerima coklat ini," aku mengembalikannya.

“Kenapa Kau juga tidak suka?”

“Bukan begitu, kalau mereka tahu coklat pemberian mereka diberikan pada orang lain, mereka pasti sedih.”

"Kalau begitu aku buang saja, tidak ada yang mau, 'kan?"

Aku diam terpaku melihat ulahnya. Sifat seperti ini yang tidak aku suka darinya. Dia jahat sekali, rasanya jadi ingin memarahinya, tapi aku tidak bisa melakukannya mulut ini seolah beku. Aku menunduk menahan amarah dan pergi meninggalkannya.

"Rei kau marah padaku, ya? Kenapa dari tadi kau diam saja."

Ryu menunggu di depan gerbang sekolah. Aku masih diam dan tidak mempedulikan ucapannya. Entah kenapa aku marah sekali padnya, kejadian yang baru terjadi sepertinya masih membekas dihati.

“Rei jangan tiba- tiba diam seperti itu, kalau kau marah bilang saja, maki-maki aku atau pukul sekalian.”

Akhirnya aku menumpahkan segala amarah yang terus bergejolak, tidak peduli dengan pendapatnya tentang aku nanti, yang terpenting sudah jujur dan mengingatkannya. Aku tidak suka sifat Ryu yang egois dan tidak menghargai orang lain. Aku hanya ingin melihat Ryu yang baik yang selama ini aku kenal.

"Arigatou ne[2], terima kasih sudah memperhatikanku."

Ryu mendekapku, tidak menyangka dia akan melakukan itu, jantungku pasti berdegup lebih kencang dari biasanya dan mukaku pasti memerah, aku tidak bisa membayangkan semerah apa muka ini.

Kami kemudian memutuskan untuk jalan-jalan dulu. Ryu pernah berjanji untuk menemaniku memutari kota Tokyo ini , memamerkan keindahan kota ini agar aku betah untuk tinggal disini. Senangnya! Dan lagi aku senang sudah berbaikan dengan Ryu.

“Kau jangan marah lagi padaku ya? Jangan tiba- tiba mendiamkan aku. Aku takut kalau kau semakin menjauh,“ ucapan Ryu yang spontan itu membuatku kaget dan juga senang.

“Ini untukmu, tenang saja ini bukan pemberian orang, aku membelinya sendiri ko."

Kotak kecil yang terbungkus rapi itu sudah berpindah ke tanganku. Ryu kenapa dia baik sekali, dan membuatku semakin menyukainya saja. Curang dia selalu bisa menarik simpatiku. Tanpa kusadari kristal di kelopak mata ini mulai membasahi pipi. Aku terharu.

“ Kau ini, kenapa malah menangis? Tidak pantas tahu, kau akan lebih manis kalau tersenyum."

Perlahan Ryu menghapus air mataku dengan lembut.

Tempat terakhir yang kami kunjungi adalah Tokyo Tower.[3] Aku senang bisa ketempat ini dengan Ryu. Di sini kota Tokyo terlihat sangat jelas, semua bisa dilihat dengan mata telanjang. Tokyo seperti miniature kecil bila dilihat dari atas, cantik sekali. Aku jadi ingin berlama-lama di sini karena sejak dulu aku ingin sekali ke Tokyo Tower.

“Wah bagus sekali. Terima kasih, ya, sudah mengajakku ke tempat ini, aku sangat menyukainya."


 Aku benar-benar tulus berterima kasih pada Ryu, makanya aku memperlihatkan senyum termanis padanya.
"Sudahku duga kau pasti akan senang."

 
Ryu berada di sampingku dan ikut menyaksikan keindahan kota Tokyo.

"Berjanjilah kau akan terus tersenyum seperti ini untukku. Karena setiap aku melihat  senyummu, aku menjadi tenang."


Begitu sampai di rumah, aku tidak sabar ingin membuka kotak kecil pemberian Ryu. Dalam kurun waktu yang dekat dia sudah dua kali memberi hadiah. Apa isinya kali ini? Aku jadi penasaran. Wow! Ini bagus sekali.


 *****
Sengaja aku menunggu Ryu, biasanya dia akan keluar dan bermain gitar, tapi dari tadi menunggu, dia tidak  juga muncul. Dia pergi ke mana sih tumben banget, padahal aku ingin sekali melihatnya. Mau berterima kasih dengan hadiah yang dia berikan. Sakali lagi aku mengintip dari balik jendela, memastikan kalau Ryu benar-benar tidak datang. Aku menjadi kecewa, tapi sentuhan halus di pundak, membuyarkan kegelisahannku.

Aku mengiyakan saja ketika ibu menyuruhku mengantarkan kue kerumah Ryu. Tadi ibu memang mrmbuat kue banyak sekali, jadi sebagian di berikan kepada para tetangga. Dan kalau ke rumah Ryu, aku bisa sekalian menanyakan keadaan Ryu kepada keluarganya.

“Ryu, ya? Dia kalau terkena hujan pasti sakit, Rei, tenggok saja di kamarnya,” ucap Ibu Ryu.

Hujan? Oh my God,  aku baru ingat kemarin kami hujan-hujanan setelah dari Tokyo tower, mau bagaimana lagi saat itu,  kami tidak membawa payung. Kalau aku tahu Ryu akan sakit, mungkin aku akan mengusulkan untuk menunggu hujan reda.

“Ryu, apa  kau baik-baik saja?” tanyaku langsung begitu memasuki kamar Ryu, tapi batang hidung Ryu tidak kutemukan di tempat tidurnya.

"Ryu, apa yang kau lakukan?" tanyaku ketika melihatnya yang akan keluar jendela.

Aku bisa menangkap kekagetak Ryu ketika melihatku di kamarnya. Ia jadi mengurungkan niatnya keluar dari jendela, dan duduk bersila di atas tempat tidur.

"Ada apa ke sini?"

“Kudengar kau sakit, apa sekarang sudah baikan?”

"Kau lihat sendiri, kan? Aku sudah cukup baik," ucapnya santai, namun setelah itu dia malah batuk berat, dasar! Wajahnya saja masih pucat, masih saja bisa bilang sudah baikan.

"Sebenarnya aku ingin  menanyakan sesuatu, tapi lain kali saja deh, kamu istirahat saja."

Aku sudah mau beranjak meninggalkan Ryu, tapi tiba-tiba dia menarik tanganku.

"Mau tanya apa? Tanyakan saja."

Aku menggeleng dan tersenyum. Menyarankan dia untuk istirahat saja agar segera cepat sembuh.
"Kau di sini saja menemaniku."



Ryu kembali menarik tanganku, dia menarik hingga aku tepat dipelukannya, dia mendekap dari belakang. Detak jantungku terasa berpacu semakin cepat.

"Kau tahu ketika pertama melihatmu, aku langsung menyukaimu. Aku ingin hanya kamu yang ada di hati dan terus berada di sampingku," Ryu berbisik di telingaku. Betapa aku senang mendengarnya.

Aku tidak tahu harus berbicara apa. Kaget dan juga senang mendengar isi hatinya, perasaanku menjadi campur aduk, antara percaya ini kenyataan atau mimpi. Ryu menyatakan suka padaku. Aku tidak pernah menyangka. Kupikir cinta ini bertepuk sebelah tangan. Mendadak aku sadar, aku sudah terlalu lama di sini, ibu pasti menungguku.

"Maaf, Ryu, aku harus pulang sekarang."

"Lalu apa kau juga menyukaiku?"

Aku tersenyum dan mengiyakan pertanyaan dari Ryu, kulihat senyum terukir di wajahnya, ketika aku keluar dari kamarmya. Perasaanku kini sedang berbunga-bunga.

"Tanjobe omedeto gozaimasu."[4]


Aku memberikan Syal dan switer yang kubuat untuk Ryu. Hari ini adalah ulang tahun Ryu, dan saat ini kami akan merayakannya berdua.

****
Aku terbuyar dari lamunan panjang, Ryu masih terlihat di tempat yang sama dan tetap bermain gitar. Dia fokus pada gitarnya, dan sama sekali tidak memperhatikan kesekeliling. padahal hati ini sangat merindukannya.

Aku terkejut melihat Ryu yang sudah tidak ada berada di tempatnya, cepat sekali dia menghilang, lalu diam-diam aku mengikutinya.
Aku tidak bisa melupakannya, banyangan Ryu masih membayang-bayangi hidupku, walaupun dia tidak peduli padaku, aku akan tetap menyukinya. Aku hanya ingin untuk terakhir kalinya melihat dia tersenyum.

Aku ingin mendengar ungkapan cinta darinya sekali lagi, agar bisa bilang kalau aku juga sangat mencintainya. Aku ingin sekali lagi mengulang kebersamaan kami yang cukup singkat, mendengarkan Ryu bernyanyi sambil bermain gitar, bercanda dan tertawa.

Aku ingin dia mendekapku untuk terakhir kalinya, mengecup keningku dan merasakan lagi gengaman hangat dari tangannya.

Tapi, apa aku bisa? Keinginan itu hanyalah sebuah angan, dan masa lalu. Ryu tidak mungkin berpaling lagi padaku, semua sudah berakhir. Namun kenapa aku belum bisa merelaknnya? Ryu benarkah kau sudah melupakanku? Tidak adakah tersisa rasa lagi untuk ku? Apa cinta yang dulu ada telah memudar?

Andai aku bisa, ingin sekali bertanya pada Ryu, tapi setiap kali mendekati, dia selalu menjauh dan meninggalkan aku, dia seoalah tidak merasakan keberadaanku, padahal aku ingin mengucapkan kata perpisahan untuknya. Agar bisa tenang ketika harus meninggalkannya. Aku tahu hubungan kami sudah tidak ada harapan lagi, karena saat ini aku sudah tidak lagi bersatu dengan raga dan makam yang baru di kunjungi Ryu adalah pemakamanku.


Srobyong, 30 Januari 2008

 Kazuhana El Ratna Mida


[1] Oneesan: Kakak perempuan dalam bahasa jepang
[2] Arigatou: terimakasih
[3] Tokyo Tower: Menara Tokyo (東京タワー Tokyo Tower) adalah sebuah menara di Taman Shiba, Tokyo, Jepang. Tinggi keseluruhan 332,6 m dan merupakan bangunan menara baja tertinggi di dunia yang tegak sendiri di permukaan tanah. Berdasarkan peraturan keselamatan penerbangan, menara ini dicat dengan warna oranye internasional dengan warna putih di beberapa tempat. Bangunan sekelilingnya lebih rendah, sehingga Menara Tokyo bisa dilihat dari berbagai lokasi di pusat kota.
Menara Tokyo terkenal sebagai simbol kota Tokyo dan objek wisata daripada fungsinya sebagai menara antena pemancar TV analog (UHF/VHF), TV lokal digital, dan radio FM. Selain itu, perusahaan KA East Japan Railway menggunakan menara ini untuk meletakkan antena radio sistem darurat kereta api, dan sejumlah instrumen pengukuran dipasang oleh Kantor Lingkungan Hidup Metropolitan Tokyo.

[4] Tanjobe omedetou gozaimasu : selamat ulang tahun

No comments:

Post a Comment