Judul : Tari
Oleh : Ratna Hana Matsura feat Adnando Syafiq
Wajah Lina menegang. Matanya melotot seolah tak percaya dengan pandangannya sendiri.
“Tidak mungkin!” pekiknya sendiri.
Berkali-kali dia mengucek mata. Memastikan bahwa pandangannya salah. Tapi Tari masih di sana tersenyum menatapnya.
“B-b-ag-ai-ma-na ... bi-sa—,” Lina terbata-bata.
“Apa kabar, Lin?” sapa Tari ramah.
Lina memundurkan langkah, menyandarkan tubunya di tembok kamar dengan
perasaan campur aduk tak karuan. Takut, cemas, serta marah bercampur
menguasai raga. Napasnya naik turun, mencoba mengontrol jiwa.
“Pergi! Pergi!” usir Lina sambil menutup mata.
Setelah menunggu beberapa menit, Lina membuka mata secara perlahan.
Tidak ada. Lina sungguh lega. Tari sudah tak nampak lagi. Semua pasti
hanya ilusinya. Atau halusinasi yang mulai menggila.
Ketakutannya pun sedikit berkurang. Kini dia duduk di meja belajarnya.
Membolak-balik buku pelajaran matematika karena esok akan ada ulangan
harian.
“Lin, makan malam dulu, yuk!” panggilan sang ibu membuat
Lina segera beranjak dari tempat duduknya. Dia segera melesat menemui
ibunya.
Namun ..., jantung Lina langsung berdetak tak karuan melihat siapa yang ikut duduk manis di meja makan.
Lina menelan ludah. Pandanganya nanar, kakinya lemas seketika.
“Kenapa melamun, Sayang. Ayuk duduk,” ucap ibunya lembut. Namun Lina segera menepisnya dengan kasar.
“Pergi ..., kenapa kau masih di sini?” tanya Lina menatap langsung Tari yang asyik menekuni makanannya.
“Lina, tenangkan dirimu,” ucap ibunya hati-hati. Tak tahu kenapa anaknya tiba-tiba berteriak histeris.
“Tari, Bu ..., Tari—,”
Lina kini menangis sesenggukan. Sang ibu memeluknya erat.
“Ibu tahu perasaanmu, Sayang. Kamu kangen padanya, ya?” sang ibu menepuk-nepuk punggungnya.
Tari mentapnya tersenyum menang. Seolah berkata “ Aku akan mengganggu hidupmu.”
“Aku mau kembali ke kamar, Bu.”
Lina langsung menutup pintu. Mendekam di kamar mengingat kejadian waktu
lalu. tumpang tindih kejadian yang hanya diketahuinya sendiri.
~*~
“Aku kembali, Lin. Bukankah kau merindukanku?” tiba-tiba Tari sudah ada di depannya. Muka Lina langsung pias dan ketakutan.
“Kau sudah mati, Tar. pergilah ke alammu sendiri.”
“Jangan mengada-ada. Aku masih hidup, Lin. Di sini—.” Tari menunjuk dada Lina.
Lina mengingat kejadian lalu. Ketika dia menyaksikan sendiri, Tari yang
tertabrak mobil. Dia tidak mungkin salah. Lagi pula dia bahkan ingat
betul pemakaman pun sudah dilakukan. Bahkan dia sempat sakit
berbulan-bulan setelahnya.
Tari mendekat berusaha berkontak
fisik. Dengan cepat Lina menepis tangan Tari. Namun terlambat, Lina
kini sudah mencekeram lengannya dengan kuat.
“Apa yang mau kau lakukan?” Lina berontak tapi Tari makin beringas. Mereka jungkir balik di lantai saling adu kekuatan.
Duar ... duar ...!
Tiba-tiba pentir menyambar-nyambar. Sosok Tari sudah hilang dari
pandangan. Meski Lina sudah mengedarkan pandangan Tari sudah tak
ditemukan. Kenapa ini terjadi padanya?
Kau sudah mati kenapa
masih menggangguku? Tanya Lina sendiri. Dia mengacak-acak rambutnya
sendiri. Konsenstarsinya telah buyar hingga tak lagi bisa meneruskan
belajar. Apalagi sambil menahan lapar karena tak jadi makan malam.
“Semua karenamu, Tar. Kau jahat.” Lina sesenggukan. Dia memeluk erat
kaki yang tengah ditekuknya. Pandangannya tertuju pada rintik hujan yang
semakin membuatnya ingat kejadian lalu yang buatnya gila.
Teriakan. Kemarahan hingga tabrakan. Kepedihan juga luka yang tak terhapuskan.
~*~
Sejak kemunculan Tari, sosok Lina berubah. Tatapan yang dulu terlihat
ceria kini berubah muram. Kalau dulu selalu murah senyum dia menjadi
pemarah. Tiba-tiba suka berteriak sendiri sambil menyebut nama Tari.
Teman-temannya pun perlahan menjauhi Lina. Dia kembali ke habit awal.
Menjadi gadis aneh yang menakutkan. Suka sekali menyerang teman-temannya
secara tiba-tiba.
“Bagaimana? Bukankah hanya aku yang peduli
padamu?” Tari sudah muncul di hadapan Lina. “Mereka mulai menjauhimu,
kan?” Tari tertawa.
“Kau jahat, itu karenamu, Tar. Kau jangan menggangguku.” Lina murung. Dia duduk menunduk di bangkunya.
Cemoohan pun kembali menerpa. Kenapa dia selalu diperlakukan seperti itu? Lina sungguh tak mengerti.
Ah, semua memang gara-gara Tari. Semua kebahagiaan selalu dia rebut acap kali Lina akan mendapati. Kemarahan Lina memuncak.
“Aku harus melakukan sesuatu.” Tekadnya sendiri.
Matanya menyala-nyala. Siap melakukan sesuatu yang dianggap benar. Dia
harus memperjuangkan kebahagiaannya. Dia tak mau harus selalu dibawah
ketiak Tari yang suka seenaknya.
Sejak kecil Tari selalu mendominasi. Menguasai semua hidup Lina. Siapa yang tak muak? Apa-apa diatur tak boleh ini itu.
Aku akan mengambil kebebasanku, ucap Lina dalam hati. Bagaimanapun caranya bahkan untuk melenyapkanmu.
~*~
Lina memicingkan mata, tangannya memegang erat pisau dapur yang biasa
digunakan ibunya untuk memotong ikan. Di hadapannya Tari, terikat tangan
juga kakinya. Meski dalam keadaan seperti itu, Tari masih juga memasang
senyum menakutkan seperti sebelumnya.
"Kau takkan berhasil membunuhku!" seru Tari lalu tertawa.
Lina berteriak geram, "Diam!" Ujung suaranya bergetar. Digenggamnya
semakin kuat pisau di tangan. Dia dan Tari kini berhadapan.
~*~
Usai memperkenalkan diri, Tari diminta untuk duduk di bangku paling
belakang sebelah kanan, karena cuma itu satu-satunya tempat duduk yang
masih kosong.
Tari melangkah cepat, nyaris berlari hingga tas
punggungnya berulang kali menumbuk belakang dan menghasilkan
bunyi-bunyian yang berasal dari tumbukan antara barang-barang bawaan
Tari ke sekolah.
Di meja paling belakang sebelah kanan Tari
berhenti. Segera dia memasukkan tas ke dalam laci, menggeser kursi ke
belakang, menghempaskan pantat, dan menariknya ke posisi semula. Setelah
merasa duduknya sudah cukup nyaman, Tari lalu memalingkan pandangan
pada gadis berambut hitam tergerai yang duduk di sebelahnya.
"Tari!" seru Tari sambil mengulurkan tangan. Tak lupa memasang senyum semanis mungkin.
Gadis yang diuluri tangan itu hanya diam. Matanya menatap lurus ke arah
Tari, namun terlihat tanpa ekspresi. Tiga detik kemudian gadis itu
berpaling. Kembali menatap tulisan-tulisan pada buku LKS di tangannya.
Tari tersenyum kecut, menarik tangannya yang masih melambai di depan dada.
Kali ini sepertinya agak sulit. Gadis itu amat pendiam, tidak seperti gadis sebelumnya. Pikir Tari.
Akhirnya sepanjang jam pelajaran itu Tari habiskan hanya dengan diam.
Tidak dengan mengobrol seperti yang selama ini dia lakukan dengan teman
sebangkunya di sekolah lama. Apalagi teman sebangkunya seperti benci
akan kehadirannya.
~*~
"Kau takkan berhasil ...," ucap Tari sambil menyeringai. Tatapannya tajam ke arah Lina.
"Hentikan!" Lina memekik kencang lantas mengayunkan pisaunya ke dada Tari.
Darah segar mengaliri tangan Lina. Di hadapannya sudah tak ada Tari,
melainkan gambaran dirinya sendiri dengan dada yang bersimbah darah.
Lina kini terbaring di depan cermin dengan menggenggam pisau dapur yang menancap di dadanya.
Srobyong, Maros 19 April 2015
No comments:
Post a Comment