METODE MADRASAH JIWA
Dalam metode
madrasah jiwa, adalah akan di jelaskan bagaiman cara dalam memanejemen hati
atupun jiwa agar jiwa dan hati itu selalu bersih bersinar dan selalu dekat
dengan cahaya Rabbi. Karena jiwa yang jauh dari cahaya Ilahi akan redup dan
terpuruk dari rahmat Allah, tertinggal dan berkarat. Semoga Allah selalu member
petnjuk untuk kita semua.
A.
Ikhlas
Ikhlas
diwajibkan dalam agama. Dengan keikhlasan, iman menjadi sempurna. Ikhlas adalah
inti amal dan penentu diterima atau tidaknya suatu amal disisi Allah swt. Amal
tanpa ikhlas bagaikan kelapa tanpa isi, raga tanpa nyawa, pohon tanpa buah,
awan tanpa hujan, dan benih yang tidak tumbuh.[24]
Allah
berfirman:
Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.(az-zumar;11)
Ikhlas
adalah sebuah energi dari Ilahi yang mempunyai peran besar dalam kehidupan
manusia di muka bumi ini. Ikhlas merupakan sumber dari seluruh energy yang ada
di alam semesta ini denga intinya adalah manusia itu sendiri. Menurut pemahaman
tasawuf, ikhlas adalah merupakan ilmu yang tertinggi di alam semesta ini.
Untuk
memahami makna ikhlas diperlukan sebuah latihan yang tetunya diperlukan sebuah
latihan yang tentunya disadari oleh sebuah pemahaman serta keimanan dan
keyakinan yang utuh kepada Allah swt. Ditambah
dengan mental serta daya juang yang kuat untuk mencapainya. Ketika kita
dihadapkan oleh sebuah realita yang buruk dalam hidup ini, maka disinilah peran
ikhlas difungsikan. Bahkan disaat senang kita dituntun untuk selalu ikhlas.
Memang letak sulitnya dalam kehidupan ini adalah ketika manusia dituntut untuk
selalu ikhlas dalam keadaan suka maupun duka.
Ada
lima aspek ikhlas;[25]
1.
Ikhlas
dalam arti pemurnian agama dari agama-agama lain.
2.
Ikhlas
dalam arti pemurnian ajaran agama dari hawa nafsu dan ibadah.
3.
Ikhlas dalam arti pemurnian amal dari bermacam-macam
penyakit dan noda yang tersembunyi.
4.
Ikhlas
dalam arti pemurnian ucapan dari kata-kata tidak berguna, kata-kata batil, dan
kata-kata bualan, dan
5.
Ikhlas
dalam arti pemurnian akhlak dengan mengikuti apa yang diridoi Allah swt.
Begitu
luasnya makna ikhlas, sehingga para ahli sufi member berbagai interpretasi dari
hasil penceburan dirinya dalam lautan ikhlas, yakni bahwa dengan berjuang dalam
eksistensi ikhlas dalam kehidupan di dunia fana ini adalah merupakan salah satu
dari makna jihad untuk bertemu dengan Allah swt. Dengan begitu secara tersurat
dan tersirat mengatakan inilah sebuah ilmu tertinggi yang diberikan oleh
manusia, sebuah pemahaman yang hakiki di alam semesta ini.
Nabi
saw bersabda:
“sesungguhnya
Allah tidak akan melihat kepada postur kalian dan tidak pula kepada bentuk rupa
kalian. Akan tetapi, Dia akan melihat kepada hati kalian.” (HR. Muslim )[26]
Hati
ini dimaksudkan adalah sebuah hati yang
ikhlas ketika beribadah kepada Allah, hati hanya mengharap akan keridoan Allah
semata.
Ketahuilah,
sesungguhnya seorang muslim wajib menjaga keikhlasan dalam segala bentuk
interaksinya. Seharusnyalah seorang muslim menunjukkan semua interaksinya dengan
Rabbnya dalam syair-syair ibadah semata-mata untuk mengharap ridha Allah.
Termasuk juga interakasinya dengan dirinya sendiri, dalam mengurus dirinya,
menjaga kehalalan makanan, minuman, pakaian, dan lain sebagianya. Juga
interaksi dengan keluarga, dan saudara.
Ikhlas
dalam ajakan dan jihadnya melawan musuh-musuh Allah dan musuh-musuhnya, dalam
infaknya untuk mendapat ridho Allah, dan dalam segala bentuk kebaikan yang
disyari’atkan dan dianjurkan oleh islam.[27]
Ialah :
1.
Ikhlas
dalam Nasihat
Maksudnya
adalah menghendaki kebaikan pada orang yang dinasihati. Dalam menasihati
seseorang dia hanya mengharap akan ridho Allah.
2.
Ikhlas
dalam Mencari Ilmu
Menuntut
ilmu dan mengajarkannya pada manusia
pahalanya sanagt besar disisi Allah. Dan kedudukannya sangat besar disisi Allah
dengan syarat ikhlas hanya karena Allah.
Rasulullah
bersabda:
“ Barang siapa
mempelajari suatu ilmu yang semestinya digunakan untuk meraih ridho Allah,
tetapi dia tidak mempelajarinya kecuali untuk meraih harta dari dunia, maka ia
tidak akan mencium bau surge pada hari kiamat”
( HR. Abu Dawud
dan Ibnu Majah)
3.
Ikhlas
dalam Berdoa
“ Jika kamu
meminta, maka mintalah kepada Allah. Dan jika minta pertolongan, maka mintalah
pertolongan kepada Allah” (HR. Tirmidzi)
Ikhlas disini
adalah dalam keadaan apapun minta tolonglah kepada Allah, bukan pada yang
lainnya.
4.
Ikhlas
dalam Mengais Harta dan Menginfakkannya
5.
Ikhlas
dalam jihad
6.
Ikhlas
dalam Ghiroh.
Manfaat
dari jiwa yang ikhlas adalah[28]:
1.
Harapannya
ditujukan hanya kepada Allah
2.
Memiliki
semangat tinggi
3.
Ditolong
dari tipu daya iblis
4.
Orang
yang ikhlas akan selalu ditambahkan petunjuk oleh Allah
5.
Orang
yang ikhlas senantiasa akan mendapatkan naungan dari Allah di Hari Kiamat
6.
Bagi
orang-orang yang ikhlas, maka derajatnya akan dinaikkan dan dihapus satu kesalahan,
bagi yang sujud dengn ikhlas.
B.
Sabar
Firman Allah :
Firman Allah :
17. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah
(manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang
mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Luqman: 17)
Sabar
adalah menahan diri atau membatasi jiwa dari keingiannya demi mencapai sesuatu
yang baik atau lebih baik (luhur) atau menahan dalam kesempitan. Sabar juga
berarti menerima dengan penuh kerelaan ketetapan-ketetapan Tuhan yang tidak
terelaakan lagi. Imam al-Ghazali mendefinisikan sabar dengan memilih untuk
melakukan perintah agama, ketika dating desakan nafsu. Artinya kalau nafsu
menuntut kita untuk berbuat sesuatu, tetapi kita memilih kepada yang
dikehendaki oleh Allah, maka di situ ada kesabaran.[29]
Sabar
tidak identik dengan sikap lemah, menerima apa adanya atau menyerah, tetapi
merupakan usaha tanpa lelah atau gigih yang mengambarkan kekuatan jiwa
pelakunya sehingga mampu mengalahkan atau mengendalikan hawa nafsunya. Dari
sini, maka tidak salah kalau puasa dinamakan sabar, karena esensi puasa adalah
pengendalian diri yang berakhir dengan kemenangan. Sabar juga bukan berarti mengedepankan seluruh keinginan
sampai terlupakan di bawah sadar sehingga dapat menimbulkan kompleks-kompleks
kejiwaan, tetapi lebih kepada pengendalian keinginan yang dapat menjadi
hambatan bagi pencapaian sesuatu yang luhur (baik) dan atau mendorong jiwa
sehingga melakukannya mencapai cita-cita yang didambakan.[30]
Keampuhan
sabar dalam menunjang kesuksesan orang sudah dibuktikan oleh analisis psikologi
modern. Dalam buku Emotional Intelligence karya Daniel Goldman disebutkan bahwa
yang menentukan sukses tidaknya seseorang bukanlah kecerdasan intelektual, tapi
kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional ini dapat diukur dari kemampuan
manusia dalam mengendalikan emosi dan menahan diri. Dalam islam, disebut dengan
sabar.
Dalam
Alquran ditemukan beberapa konteks dalam bersabar:[31]
1.
Dalam
menaati ketetapan Allah
2.
Menanti
datangnya janji atau hari kemenangan
3.
Mengahadapi
ejekan(gangguan) orang-orang yang tidak percaya
4.
Menghadapi
kehendak nafsu untuk melakukan pembalasan yang tidak setimpal.
5.
Dalam
melaksanakan ibadah
6.
Dalam
menghadapi malapetaka
7.
Dalam
usaha memperoleh apa-apa yang dibutuhkan
8.
Dalam
al-Quran disebut dengan al-ba’sa’
Dari
beberapa konteks tersebut dapat disimpulkan bahwa ada tiga jenis sabar yaitu:
Ø Sabar dalam menghadapi musibah
Ø Sabar dalam melakukan ibadah
Ø Sabar dalam menahan diri untuk tidak melakukan maksiat
Pada
sisi lain, al-Quran menekankan sabar dalam tiga hal yaitu:
Ø Dalam usaha mencapai apa yang dibutuhkan
Ø Dalam menghadapi malapetaka
Ø Dalam peperangan dan perjuangan
Masing-masing
dari tiga kesabaran itu dapat diringkas lagi menjadi dua yaitu:[32]
Ø Sabar jasmani, yakni kesabaran dalam menerima dan melaksanakan
perintah-perintah keagamaan yang melibatkan anggota tubuh seperti ibadah haji,
peperangan, penyakit-penyakit jasmani.
Ø Sabar ruhani, yaitu kemampuan menahan hawa nafsu.
Sahabat
Ali berkata: “Allah menyayangi seseorang
yang mempergunakan kesabarannya sebagai kendaraannya dan takwa bekal
kematiannya.”
C.
Tawakal
Firman Allah
Firman Allah
Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya. )QS.At-Thalaq:3)
kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah
kepada Allah. (QS.Ali-imran:159)
kepada Allah
saja orang-orang mukmin bertawakkal. (QS.Ali-Imran :122)
Doa
Nabi Ibrahim as yang terakhir kali saat beliau dicampakkan ke dalam kobaran api
adalah:
“Hasbiyalloh-hu wa ni’mal wakiil” (cukuplah Allah sebagai penolongku dan Dialah sebaik-baik pelindung)[33]
“Hasbiyalloh-hu wa ni’mal wakiil” (cukuplah Allah sebagai penolongku dan Dialah sebaik-baik pelindung)[33]
Beberapa
arti tawakal yang diungkapkan oleh beberapa ulama. Diantarnya menurut :[34]
v Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa tawakal adalah yakin dan percaya
kepada Allah
v Abdullah bin Daud al-Kharaby megatakan bahwa tawakal adalah
berprasangka baik kepada Allah.
v Syaqiq bin Ibrahim mengatakan bahwa tawakal adalah ketenangan hati
dengan apa yang telah dijanjikan Allah kepada makhluk-Nya.
v Imam Ahmad bin Hambal, tawakal merupakan aktivitas hati, artinya
tawakal itu merupakan perbuatan yang dilakukan oleh hati, bukan sesuatu yang
diucapkan oleh lisan, bukan pula sesuatu yang dilakukan oleh anggota tubuh. Dan
tawakal juga bukan merupakan sebuah keilmuan dan pengetahuan.
v Ibnu Qayyim al-Jauzi, tawakal merupakan amalan dan ubudiyah hati
dengan menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah, tsiqah kepada-Nya,
berlindung hanya kepadaNya, dan ridho atas sesuatu yang menimpa dirinya,
berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikannya segala kecukupan bagi
dirinya, dengan melaksanakan sebab-sebab serta usaha keras untuk dapat
memperolehnya.
Derajat
dari orang- orang yang berlaku tawakal [35]adalah:
1.
Ma’rifat
kepada Allah swt dengan segala sifatNya, meliputi tentang kekuasaan-Nya,
keagunganNya,keluasan ilmuNya,keluasan Kekayaan Nya, dsb.
2.
Memiliki
keyakinan akan keharusan melakukan usaha.
3.
Adanya
ketetapan hati dalam mentuhidkan (mengesakan) zat yang di tawakali, yaitu
Allah.
4.
Menyandarkan
hati sepenuhnya hanya kepada Allah swt.
5.
Husnudzan
(berbaik sangka) terhadap Allah swt.
6.
Memasrahkan
jiwa sepenuhnya hanya kepada Allah.swt.
7.
Menyerahkan,
mewakilkan, mengharapkan, dan memasrahkan segala sesuatu hanya kepada Allah
swt.
Hakikat
tawakal adalah mengenal Tuhan beserta sifat-sifatNya, adanya ketetapan sebab musabab yang harus dijaga dan
dilaksanakan sebaik-baiknya, meggantungkan hati kepada Allah dan menyandarkan
segala urusan kepadaNya, lekatnya hati denga Tauhid, selalu berbaik sangka
kepada Allah, menyerahkan hati kepada Allah dengan sebaik-baiknya takwa,
berpasrah diri, dan ridha.
Manfaat
tawakal adalah :
1.
Realisasi
iman seorang hamba
2.
Mendapatkan
ketenangan dan ketentraman jiwa
3.
Allah
akan mencukupi semua urusan orang yang bertawakal
4.
Tawakal
adalah sarana untuk mendapatkan kebaikan dan menghindari kerusakan
5.
Menumbuhkan
rasa cinta Allah kepada hambaNya
6.
Menghasilkan
kemantapan dan kekuatan hati menghadapi musuh
7.
Menjadikan
lebih sabar dan tabah
8.
Menumbuhkan
percaya diri dan kemenangan
9.
Menggunakan
tekad dalam segala urusan
10.
Tawakal
membuka pintu rezki.
D.
Intropeksi
Diri
Intropeksi
diri adalah dimana kita mau memperbaiki diri dari segala hal yang pernah kita
lakukan. Mencoba memperbaiki sikap atau tingkah laku jika kita pernah melakukan
kesalahan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ
مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا
تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat); dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa
yang kalian kerjakan.[QS.al-Hasyr(59:18)]
Umar
bin Khaththâb Radhiyallahu anhu pernah memberikan nasihat,
"Hitung-hitunglah (amal) diri kalian sebelum kalian dihitung ! Timbanglah
(amal) diri kalian sebelum kalian ditimbang ! Perhitungan kalian kelak (di
akherat) akan lebih ringan dikarenakan telah kalian perhitungkan diri kalian
pada hari ini (di dunia).
Berhiaslah (persiapkanlah) diri kalian demi menghadapi hari ditampakkannya amal. Pada hari itu kalian dihadapkan (kepada Rabb kalian), tiada sesuatupun dari keadaan kalian yang tersembunyi (bagi Allah). [HR. At-Tirmidzi].
Berhiaslah (persiapkanlah) diri kalian demi menghadapi hari ditampakkannya amal. Pada hari itu kalian dihadapkan (kepada Rabb kalian), tiada sesuatupun dari keadaan kalian yang tersembunyi (bagi Allah). [HR. At-Tirmidzi].
Bahkan
al-Hasan menjadikan introspeksi diri sebagai tanda keimanan seseorang,
"Tidaklah anda jumpai seorang mukmin, kecuali dalam keadaan
menghitung-hitung dirinya: Apa yang ingin engkau lakukan? Apa yang ingin engkau
makan? Apa yang ingin engkau minum? Sebaliknya, orang fâkir akan terus berbuat
tanpa memperhitungkan dirinya."
Sehingga
introspeksi diri adalah salah satu tanda keimanan seseorang dan meninggalkannya
merupakan tanda kefasikan. Lebih dari itu, introspeksi diri menggambarkan
tingkat ketakwaan seseorang. Maimun bin Mahrân mengatakan, "Sesungguhnya
orang yang bertakwa akan lebih kuat menghitung-hitung dirinya bila dibandingkan
dengan penguasa zhalim dan sekutu dagang yang pelit."
Penguasa
yang zhalim sangat teliti mengawasi kekurangan yang terjadi dalam kekayaan
kerajaannya, bahkan melewati batas wewenangnya; Demikian juga relasi dan teman
bisnis yang pelit, ia sangat teliti dalam menghitung keuntungannya, tidak rela
sedikit pun keuntungannya dikurangi. Namun pengawasan ketat dua tipe manusia
ini bila dibandingkan dengan pengawasan ketat yang dilakukan orang yang bertakwa
kepada dirinya, maka didapati pengawasan orang yang bertakwa lebih ketat.
Introspeksi
diri dilakukan sebelum dan sesudah beramal. Sebelum beramal, hendaklah
seseorang berhenti sejenak dan merenungkan sampai nampak baginya pilihan
terbaik, antara dilakukan atau ditinggalkan.
Al-Hasan
menyatakan, "Semoga Allâh Azza wa Jalla merahmati seorang hamba yang
berhenti sejenak ketika hendak melakukan suatu. Apabila dilihat amalan itu
untuk dan karena Allâh, maka amalan tersebut dilakukannya. Apabila dipandang
bukan untuk dan karena Allâh, maka amalan tersebut ditinggalkannya.
Ketahuilah,
introspeksi diri setelah beramal itu ada tiga jenis :
1.
Introspeksi diri atas ketaatan yang telah ia
lakukan. Apakah ada kekurangannya ? Apakah sudah sesuai keinginan Allâh dan
tuntunan rasul-Nya ?
Misalnya, apakah shalat yang kita lakukan telah sesuai dengan tuntunan Rasulullah ? Baik lahir maupun batin. Ataukah hanya sebatas lahiriahnya saja ? Jauh dari kekhusyu'an bahkan ada unsur dunia di dalamnya ? Sejak takbiratul ihrâm sampai salam. Padahal kita diperintahkan shalat untuk mengingat Allâh !! Bukan mengingat yang lain. Sebagaimana firman-Nya :
Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. [QS.Thâhâ(20:14)]
Misalnya, apakah shalat yang kita lakukan telah sesuai dengan tuntunan Rasulullah ? Baik lahir maupun batin. Ataukah hanya sebatas lahiriahnya saja ? Jauh dari kekhusyu'an bahkan ada unsur dunia di dalamnya ? Sejak takbiratul ihrâm sampai salam. Padahal kita diperintahkan shalat untuk mengingat Allâh !! Bukan mengingat yang lain. Sebagaimana firman-Nya :
Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. [QS.Thâhâ(20:14)]
2.
Introspeksi diri atas setiap amalan yang
sebaiknya ditinggalkan.
Sebagai permisalan adalah kebiasaan sebagian orang yang merayakan malam tahun baru dengan bergadang semalam suntuk, membuat gaduh dengan suara petasan, klakson serta knalpot, serta berbagai bentuk gangguan terhadap orang lain, sampai akhirnya tidak bisa melaksanakan shalat Shubuh, karena terlalu letih. Dengan perbuatan seperti ini, sang pelaku minimal melakukan dua jenis dosa. Pertama, dosa menzhalimi orang lain yaitu telah mengganggu orang lain. Dosa jenis ini tidak akan diampuni oleh Allâh sampai orang yang terzhalimi memaafkannya. Kedua, dosa kepada Allâh, karena meninggalkan suatu yang diwajibkan, yakni shalat Shubuh berjamaah pada waktunya.
Sebagai permisalan adalah kebiasaan sebagian orang yang merayakan malam tahun baru dengan bergadang semalam suntuk, membuat gaduh dengan suara petasan, klakson serta knalpot, serta berbagai bentuk gangguan terhadap orang lain, sampai akhirnya tidak bisa melaksanakan shalat Shubuh, karena terlalu letih. Dengan perbuatan seperti ini, sang pelaku minimal melakukan dua jenis dosa. Pertama, dosa menzhalimi orang lain yaitu telah mengganggu orang lain. Dosa jenis ini tidak akan diampuni oleh Allâh sampai orang yang terzhalimi memaafkannya. Kedua, dosa kepada Allâh, karena meninggalkan suatu yang diwajibkan, yakni shalat Shubuh berjamaah pada waktunya.
3.
Introspeksi diri atas setiap amalan yang mubah
dan suatu kebiasaan. Kenapa dia melakukannya ? Apakah demi mencapai kesuksesan
akhirat ? Kalau ya, berarti dia telah beruntung. Ataukah demi kenikmatan dunia
yang sesaat ? kalau ini memotivasinya, malah alangkah ruginya.
Misalnya, makan
dan minum kita. Apakah hanya sekedar untuk memuaskan nafsu, ? Ataukah supaya
berbadan kekar lalu bangga dan sombong karenanya ? Semua ini akan sirna bersama
dengan datangnya ajal. Ataukah makan dan minum itu kita lakukan demi menjaga
stamina tubuh kita agar bisa beribadah dengan kuat dan khusyu' ? Apabila yang
pertama motivasi kita, niscaya yang kita dapatkan hanya secuil kenikmatan dunia
yang tidak berarti sama sekali bila dibandingkan dengan kenikmatan akherat.
Namun, jika yang kedua yang menjadi niat kita, maka dengan idzin Allâh Azza wa
Jalla, kita akan meraih kenikmatan dunia dan kesempurnaanya di akherat, alias
sukses dunia dan akherat.
Bertahap
kita lakukan introspeksi diri atas kewajiban kita. Jika kita dapati ada
kekurangannya, maka segera kita tutupi dengan memperbaiki atau menggantinya.
Inilah salah satu fungsi shalat sunnah rawâtib yang mengiringi shalat wajib
lima waktu.
Selanjutnya,
kita introspeksi diri atas larangan-larangan Allâh. Jika kita dapati diri kita
sudah terjerumus kedalamnya, maka segera diiringi dengan taubat, isthighfâr
serta berbagai amal ketaatan. Rasûlullâh bersabda :
“Iringilah perbuatan yang buruk dengan perbuatan baik, niscaya akan menghapuskan yang buruk”. [HR. Abu Dâwud, Ahmad dan lain-lain]
“Iringilah perbuatan yang buruk dengan perbuatan baik, niscaya akan menghapuskan yang buruk”. [HR. Abu Dâwud, Ahmad dan lain-lain]
Selanjutnya, kita juga introspeksi
diri atas kelalaian kita. Jika kita dapati diri ini sering melupakan Allâh Azza
wa Jalla, maka segera mengingat dan menyebut nama-Nya dengan berbagai lafadz
dzikir yang diajarkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Karena dzikir
akan menjadikan hidup tenteram dan bahagia. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
“Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”.[QS. ar-Ra'du(13:28)]
“Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”.[QS. ar-Ra'du(13:28)]
Yang
tidak kalah pentingnya adalah introspeksi diri atas pendengaran, pengelihatan,
tangan dan kaki kita. Organ-organ ini kita pergunakan untuk apa ? Karena siapa
? Dan dengan cara apa ? Karena Allâh Azaza wa Jalla berfirman :
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. [al-Isrâ'(17:36)]
Introspeksi
diri paling tidak akan mendatangkan dua manfaat. Pertama, tahu aib diri
sendiri. Sehingga tergerak untuk memperbaiki diri, karena ada rasa malu.[36]
E.
Pengendalian Jiwa
Jika
seseorang mencintai orang lain, ia akan memberikan sesuatu yang diingini oleh
orang yang dicintainya. Tabiat manusia akan segera menerima sesuatu dari yang
member dan menyibukkan cintanya untuk
menerimanya. Namun, banyak di antar kita yang tidak memperlakukan jiwa seperti
perlakuan itu ketika menerima perkara-perkara yang berhubungan dengan akhirat.
Dan jiwa memiliki tabiat menerima atau menolak pengaturan.
Terkadang,
jiwa menerima untuk melakukan hal-hal yang berhubungan dengan akhirat, seperti
membaca Al-Qur’an, shalat tahajud, zikir, membaca, menulis, atau menambah
kebaikan, dan amal-amal lain yang semisal degan hal-hal tersebut. Juga
terkadang menolak untuk melakukan semuanya. Karena itu, bagi orang yang berakal
harus bersemangat menggunakannya saat jiwa menerima untuk melakukan kebaikan
dengan sebaik-baiknya, agar tidak kehilangan kesempatan ketika jiwanya menolak
untuk melakukan amal-amal kebaikan di suatu waktu.[37]
Pengendalian
gerak jiwa ini tidak dilakukan, kecuali oleh sedikit orang. Fenomena ini
menjadikan Imam Ibnu al-Jauzi berusaha menjaga untuk megungkapakan kaidah besar
pengendalian jiwa dari ulama-ulama, orang-orang zuhud dan para dai. Karenanya
ia berkata, “Aku melihat sekelompok dari ulama, orang-orang zuhud, tidak
memahami makna pengendalian gerak jiwa, karena di antara mereka ada yang
memaknainya dengan melarang pada kesenangannya secara mutlak. Dan, ini salah
dilihat dari dua segi sebagai berikut.[38]
1.
Walau
banyak melarang jiwa dari kesenangan-kesenangannya, ia tetap memiliki syahwat
dan memberikan pelarangannya lebih tepat. Misalnya, melarang jiwa dari hal yang
mubah, sehingga terkenalah pelarangannya terhadap hal ini. Jiwa rela dengan
pelarangan ini, karena telah menghasilkan pujian dan lebih ringan dari itu, ia
melihat (dengan pelarangannya terhadap syahwat) bahwa ia diutamakan dari yang
selainnya yang tidak melarangnya.
2.
Kita
telah diperintahkan untuk menjaga syahwat. Diantara sebabnya adalah syahwat
melenceng dari perkara-perkara yang lurus, maka harus diberikan kepadanya
hal-hal yang meluruskannya. Kita sebagai wakil-wakil yang menjaganya, harus
melarangnya dari hal-hal yang berbahaya. Dan, berapa banyak kekerasan
mewajibkan kelunakan dan berapa banyak jiwa yang sempit, lari darinya sehingga
sulit untuk meluruskannya.
Demikianlah, jiwanya bersama pengontrolan geraknya. Dalam suatu
waktu diperlukan dengan lemah lembut dan di waktu lain dengan keras. Tergantung
keberadaannya. Inilah pengontrolan sirkulasi jiwa, perubahan jiwa, yang
meluruskan jiwa, dan meningkatkannya dari satu tingkatan ke tingkatan lain
dengan mudah dan ringan. Berapa banyak telah kita lihat orang-orang saleh yang
tidak kita ketahui, kecuali bertindak keras atau lembut, di mana di akhir
perkaranya menjadi lebih baik.
F.
Metode-Metode
Pendidikan Jiwa
Diantara
kumpulan perkataan yang berkaitan dengan pendidikan jiwa adalah yang dikatakan
seorang imam yang zuhud, Abu Sulaiman ad-Darani, “Perasaan hati yang halus
terbentuk dengan berteman bersama orang-orang yang takut kepada Allah,
mendatangkan cahaya hati dengan terus-menerus bersedih, berusaha memperoleh
pintu kesedihan dengan terus-menerus berpikir, berusaha memperoleh pemikiran
adalah di saat sendiri (khalwat), menjaga diri dari setan dengan menentang
kehendak hawa nafsu, berhias karena Allah dengan keihklasan dan benar dalam
beramal, mendapatkan ampunan dengan malu kepada-Nya dan merasakan
pengawasan-Nya, mendatangkan tambahan nikamat dengan bersyukur, dan
melanggengkan kenikmatan dengan takut kehilangan semua itu.”[39]
a)
Antara
‘Arasy dan Hati
Sesuatu yang wujud yang paling tampak, paling terang, paling mulia
paling tinggi, dan paling luas, baik zat maupun kedudukannya adalah ‘Arasy
Allahur-Rahman Azza wa Jalla. Karenanya pula, setiap yang lebih dekat
dengannya, ia lebih terang, lebih tampak, dan lebih mulia dari yang lainnya.
Seperti surga Firdaus, ia lebih bercahaya, lebih mulia dan lebih tinggi
daripada surge lainnya lantaran ia lebih dekat kepadanya, bahkan ia adalah atap
‘Arasy. Sebaliknya, setiap yang lebih jauh darinya akan lebih gelap dan lebih
sempit. Maka, sesuatu yang paling rendah dan hina adalah sesuatu yang paling
buruk, yang paling kotor dan paling jauh dari setiap kebaikan.[40]
Allah
Azza wa Jalla telah menciptakan hati sebagia tempat untuk
ma’rifat(mengenal)-Nya, sebagai tempat untuk mahabbah “cinta” dan “iradah”(kehendak)-Nya.
Hati adalah ‘Arasy bagi matsal ul-a’la sifat-sifat yang maha luhur berupa
makrifat, mahabbah, dan iradah-Nya. Allah swt berfirman,
Orang-orang
yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk; dan
Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.(an-Nahl:60)
Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian
mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah
lebih mudah bagi-Nya. dan bagi-Nyalah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di
bumi; dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(ar-Rum : 27)
Itulah
matsal ul-a’la yang bersemayam pada qalbu sang mukmin sebagai ‘Arasynya. Bila
qalbu tersebut tidak lebih suci, tidak lebih baik dan tidak sangat jauh dari
setiap noda dan kotoran, maka tidak patut menjadi tempat bersemayamnya
ma’rifatullah, mahabbah, dan iradah-Nya. Ia layak ditempati oleh sifat dunia
yang rendah, layak untuk ditempati oleh iradah dan cintanya dan keterikatan
dengannya sehingga kalbu tersebut menjadi sempit, sumpek dan gelap dan jauh dari
kesempurnaannya. Maka, jadilah kalbu manusia terbagi menjadi dua: kalbu yang
merupakan ‘Arasy Allah ar-Rahman yang memiliki cahaya, kehidupan, kebahagiaan,
dan sebagai lumbung segala kebajikan, dan kalbu yang merupakan ‘Arasy setan
yang sumpek, gelap, mati, penuh kedukaan, dan kesusahan. Hati yang kedua ini
sedih karena masa lalunya dan duka terhadap masa datangnya serta susah
menjalani masa kininya.[41]
Imam al-Hakim
dan yang lainnya telah meriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda
اِذَا دَخَلَ النُّوْرُ الْقَلْبَ اِنْفَسَحَ
وَ اَنْشَرَحَ قَالُوا فَمَاعَلاَمَةُ ذَلِكَ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ :
اَلاِنَابَةُ اِلَى دَارِالْخُلُوْدِ وَالّتَجَانِيْ عَنْ دَارِ
الْغُرُوْرِوَالْاِسْتِعْدَادُ لِلْمَوْتِ قَبْلَ نُزُوْلِهِ(رواه الترمذي)
Jika kalbu dimasuki nur, maka ia akan lapang dan lega.
Mereka bertanya, ‘Apa tanda-tandanya wahai Rasulullah?’ Rasulullah saw.
menjawab, ‘Yaitu inabah’kembali’ kepada negeri kekekalan dan menjauh dari
negeri yang penuh tipuan dan main-main serta bersiap-siap menghadapi kematian
sebelum datang.(HR. at-Tirmidzi)
Nur atau cahaya yang masuk ke kalbu tersebut tidak
lain ialag matsal ul-a’la yang menjadikannya terang dan luas. Bila tidak
dimasuki olehnya yang terdiri atas ma’rifatullah dan mahabbahNya, maka ia
menjadi sempit dan gelap.
b)
Memperbaiki Hati
Bagaimana hati seseorang dapat dicerahkan sementara gambar dunia ini
terlukis dalam cermin hatinya? Atau, bagaimana ia akan dapat berangkat menuju
kepada Allah, kalau ia sendiri masih terbelenggu syahwatnya? Atau bagaimana ia
ingin menghadap kepada Allah bila ia sendiri belum suci dari tindakan-tindakan
dosa akibat kelengahannya (terhadap Tuhan)? Atau bagaimana ia dapat memahami
rahasia gaib padahal ia belum bertobat dari segala kesalahannya?
(Ibnu Atha’illah)[42]
Menurut Al-Ghazali, hati ditakdirkan untuk memantulkan
cahaya rahasia-rahasia Ilahi. Yang dengannya Allah membukakan tabir-tabir
misteri, realitas-realitas yang tersembunyi dibalik dunia material kita yang
kompleks.
Menurut Robert Frager-syaikh sufi dan profesor
psikologi pada Institute of Transpersonal Psyhology, California-hati adalah
sebuah kuil yang ditempatkan Tuhan di dalam diri setiap manusia. Sebuah kuil
untuk menampung percikan Ilahi di dalam diri kita. Ia mengutip sebuah hadits
terkenal, di mana Tuhan berkata “ Aku, yang tak cukup ditampung oleh langit dan
bumi, akan tertampung di dalam hati seorang yang beriman yang tulus.” Karena
itulah, tegasnya, kuil di dalam diri kita ini lebih berharga daripada kuil
tersuci sekalipun di muka bumi ini. Maka, jika kita melukai hati manusia
lainnya dosanya lebih besar daripada merusak sebuah tempat suci di dunia ini.[43]
Mengingat
sangat pentingnya hati dalam diri manusia, maka keniscayaan bagi kita untuk
menjaganya agar ia selalu dalam keadaan bersih. Caranya seperti dikemukakan
Rabi’ah Al-Adawiyah, menyegel hati kuat-kuat sehingga tidak memberikan
kesempatan bagi selain Allah. Kondisi seperti ini hanya bisa dicapai jika kita
telah menjadi hamba pecinta Allah sejati. Yakni dalam kata-kata Fakhruddin Iraqi: “ agar pecinta hanya mencintai-Nya
saja, hanya membutuhkan-Nya.” Dengan demikian, kita tidak boleh membut Allah
cemburu karena hati kita berpaling dari Nya. Memang sangat berat menjaga
stabilitas hati ini. Karena ia mudah berubah.
Tepat gambaran
yang diberikan Syaikh Fadhalala Haeri untuk hati sebagai “banyak profil, satu
wajah”. Banyak sekali sifat yang bisa dijumpai pada diri
seseorang-kekanak-kanakan, lugu, agresif, penurut, matrealistis,
spiritualistis, petualang, perenung, spontan, dan sebagainya. Semua jenis ini,
dan masih banyak lagi lainnya, berlabuh dalam hati. Hal ini bisa menyebabkan
hati mempunyai sifat bolak-balik dalam menentukan suatu ketetapan.[44]
c)
Mengharap
Ampunan
Mengharap
ampunan adalah penguat dasar kelima yang dibangun oleh zahid, Hatim al-Asham
dalam tawakal, tepatnya ketika ia berkata, “ Dan aku megetahui bahwa aku tidak
lepas dari pandangan Allah di mana pun aku berada, maka aku malu kepada Nya
(jika melakukan kejahatan dan tidak berbuat kebaikan).” Terus-menerus merasa
berada dalam pengawasan Allah akan memperoleh perasaan malu kepada Allah ta’ala
dan menahan diri dari hal-hal yang dibenci Allah ta’ala, sehingga seorang hamba
mengharapkan ampunan Allah swt.[45]
d)
Tentram
Bersama Allah
Engkau harus
tahu bahwa salah satu dampak dari mahabbah adalah merasa akrab, dan hakikat
keakraban adalah kegembiraan hati karena tersingkapnya kedekatan, keindahan,dan
kesempurnaan Allah swt. Sedangkan
hakikat dekat dengan Allah, menurut sebagian ulama, adalah hilangnya
merasakan segala sesuatu dari hati dan tunduknya nurani kepada Allah.[46]
Abu Husain
al-Wariq menyatakan, “ Ketentraman kepada Allah tidak akan terjadi, kecuali ia
bersama dengan takzim. Dan setiap orang yang berada dalam tahap tersebut,
hatinya runtuh dalam pengagungan kepada Allah selagi takzim bertambah,
bertambah pula uns-Nya dan bertambah pula takzim dan haibahnya.”
e)
Menambah
Nikmat dan Melanggengkannya
Allah swt berfirman dalam kitabNya,
“Sesungguhnya
jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS.Ibrahim: 7)
Syukur tidak
terbatas pada lisan atau ucapan, tetapi disempurnakan dengan amal.
Allah swt. berfirman,
Allah swt. berfirman,
“Bekerjalah,
hai keluarga Dawud untuk bersyukur (kepada Allah).” (QS.Saba’:13)
Nikmat bisa
bertambah tapi tidak langgeng karena ‘ujub(berbangga diri) dan melupakan yang
member kenikmatan dan menahannya, yakni Allah swt..Maka, mengintropeksi jiwa
dan memperhatikan hak bersyukur atas-Nya pada nikmat ini, harus disertai
dengan:
Ø Pengakuan terhadap keutamaan Allah
Ø Daya dan kekuatan Nya
Ø Ketundukan kepada Allah ta’ala
Ø Memberikan hak Allah yang diketahui
Ø Tidak sewenang-wenang terhadap makhluk
Ø Dan selalu takut, minimal atas karuni nikmat yang akan
mengakibatkan hilangnya kenikmatan itu.
Semua ini
mengantarkan, denga izin Allah, pada kelanggengan nikmat selama seorang hamba
sukses dalam memilih yang mudah dan tenang, yakni bersama Allah swt. dan berada
di jalan Nya.[47]
Menunggu Bab 4
No comments:
Post a Comment