Kazuhana El Ratna Mida
Sejak
kecil aku, tumbuh dan bermain bersama dengan saudara sepupu yang semuanya
laki-laki. Hal itu membuat aku sedikit tomboy.
Kubahiskan
banyak waktu dengan membuntuti mereka. Ikut bermain sehingga aku selalu pulang
petang dan dimarahi ibu. aku juga cukup bandel dan suka bermain sesuka hati.
mengikuti kakak sepupuku, Umam yang mengajari salto yang sering aku tiru. Juga
diajari memanjat oleh Amin dan Johan, sepupuku yang lain.
Di halaman
rumah biasanya mereka berkumpul dan mengajakku bermain. Tentu aku menyambut
dengan senang hati. Kebiasaan salto dan memanjat itu tumbuh hingga dewasa. Aku
tidak takut dan berani ketika harus naik ke atap rumah dan malah menikmati
dengan memetik buah rambutan yang bisa aku capai dengan tangan.
“Ayo lagi Fa,”
teriak Amin menyuruhku mengambil rambutan. Dengan semangat kukumpulakan dan
kulempar pada dia dan Johan yang ada di bawah.
****
“Fa, mau ikut main tidak?” suara kak Umam
sudah aku dengar. Hari ini hanya aku dan kak Umam. Amin dan Johan tidak bisa
datang ikut bermain bersama.
Segera aku
pamit pada ibu untuk bermain denganya. Aku dan dia berjalan beriringan menuju
rumah kakek kami yang rumahnya tidak jauh dari sini.
Ketika sampai
di rumah kakek, kulihat pamanku—Jaiz sedang membawa gerobak yang akan digunakan
untuk mengambil kelapa ke kebun. Kak Umam semangat sekali untuk ikut, dan
mengejakku ikut serta.
Aku mengangguk
saja. Kupikir itu pasti seru dan asik jika naik di gerobak itu. segera aku dan
kak Umam naik dengan semangat.
“Paman kami
ikut ya, nanti kami bantu untuk mengambil kelapa,” izin kak Umam.
“Ya, boleh tapi
hati-hati, kamu juga mau ikut Fa?” paman menatapku.
“Ikut! Ikut!”
ucapku dengan semangat.
“Ya, sudah,
jaga Ifa ya Mam,” pesan paman yang aku dengar.
Akhirnya
gerobak pun dijalankan. Aku dan kak Umam menikmati berada di atas gerobak
dengan senang.
Kubantu paman
dengan riang. Yang terpenting bisa naik gerobak kalau pulang.
“Kamu
kelihatannya suka sekali,”kak Umam berkomentar.
“Ha-ha-ha,” aku
tertawa lebar.
“Iya, Kak, naik
gerobak seperti naik ayunan,” aku menjelaskan. Kak Umam hanya tersenyum maklum.
“Tapi,
hati-hati ya, jangan jingkrak-jingkran di atas gerobak nanti jatuh lho,” kak
Umam memepringatkanku.
Aku mengangguk
setuju. Awalnya aku mengikuti sarannya. Namun,ketika pada putaran ke dua kami
menuju kebun. Aku sudah lupan pesan yang kak Umam katakan. Aku terlalu senang
dan berjingkrak-jingkrak di atas gerobak yang tengah berjalan.
Bruk!
Aku jatuh dari
gerobak, dan langsung menangis keras.masih sempat aku lihat kak Umam yang panik
dan langsung membawaku pulang.
“Apa yang
terjadi Umam?’
“Ifa, jatuh
Bulek, tadi sudah aku ingatkan, tapi ….”
“Tidak apa-apa
Umam,” Ibu menenangkan kak Umam yang merasa bersalah.
Ibu
menggendongku dan menidurkan aku di ranjang.
“Ifa, Ibu sudah
bilang,’kan? Jangan ceroboh! Coba lihat akibatnya, jadi jatuhkan?” ibu mentapku
yang kini menunduk.
“Sakit, ‘kan?”
Aku mengangguk,
merasa bersalah. Kecerobohan yang aku lakukan benar-benar fatal. Dari kejadian
itu aku harus masuk rumah sakit untuk perawatan. Aku juga jadi teringat dengan
kecerobohan lain ketika aku salto dan membuat pergelangan tanganku patah.
Sekarang aku
kapok, aku harus berhati-hati dan tidak ceroboh lagi. Boleh bermain tapi harus
hati-hati.
“Bagaimana mau
diulang lagi tidak?” ibu menatapku lembut.
Segera aku
menggeleng dengan cepat. Cukup untuk kali ini. Aku tak mau mengulang
kecerobohan lagi.
Srobyong, 6 November 2014.
No comments:
Post a Comment